Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 31 Jan 2023

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Penggunaan Kawasan Hutan yang Disalahartikan

Baca di App
Lihat Foto
BARRY KUSUMA
Taman Nasional Gunung Leuser.
Editor: Egidius Patnistik

TAJUK Rencana harian Kompas, pada 5 Juni 2023 mengulas tentang kelanjutan pembangunan jalan yang menembus hutan lindung di Aceh yang diberi judul “Hutan Dibelah Tanpa Lelah”.

Pemerintah Aceh menyebut bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan izin pemakaian hutan untuk pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Jantho (Aceh Besar) – Lamno (Aceh Jaya) sehingga tahun depan proyek bisa dilanjutkan lagi untuk tujuh kilometer ruas jalan.

Proyek itu disebut bagian dari pembangunan Jalan Ladia Galaska (akronim dari Lautan India (Meulaboh)-Gayo Alas (Takengon-Blangkenjeran)-Selat Malaka (Peureulak) yang memicu pro dan kontra. Proyek jalan tembus itu membelah Kawasan Ekosistem Leuser dengan alasan membuka keterisolasian wilayah pedalaman Aceh.

Baca juga: Hutan Konservasi, Jenis, dan Perbedaannya dengan Hutan Lindung

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), organisasi yang mengadvokasi isu lingkungan, menyoroti izin dari KLHK pada April 2023 yang diterbitkan setelah hutan dibuka pemda.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketentuan Terkait Pemanfaan Hutan

Terlepas adanya pro dan kontra tentang pembangunan jalan di Aceh tersebut, mari kita cermati terlebih dahulu istilah atau pengertian pengelolaan hutan di Indonesia. Pasal 21 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan, pengelolaan hutan meliputi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.

Pemanfaatan kawasan hutan merujuk pada pemanfaatan areal negara itu dalam ruang lingkup kegiatan usaha kehutanan. Sementara, penggunaan hutan merujuk pada pemakaian di luar kehutanan, seperti pembangunan jalan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan, perkebunan, permukiman, pencetakan sawah baru, pembangunan ibu kota negara (IKN) baru seperti Nusantara dan sejenisnya.

Mekanisme yang ditempuh dalam penggunaan kawasan hutan ada dua, yakni pelepasan kawasan hutan yang nantinya akan diubah menjadi HGU/HGB/HP oleh Kementerian ATR/BPN dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan KLHK.

Untuk kegiatan pembangunan non-kehutanan demitujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pembangunan jalan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan, dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan mekanisme yang ditempuh melalui IPPKH.

Sementara untuk kegiatan pembangunan non-kehutanan seperti perkebunan, permukiman, pencetakan sawah baru, pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara, dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dengan mekanisme yang ditempuh melalui pelepasan kawasan hutan.

Dalam konteks pembangunan jalan di Aceh yang dimaksud di atas, ada dua hal yang perlu diluruskan dan diletakkan pada porsi yang sebenarnya agar tidak terjadi misleading.

Pertama, secara regulasi, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Jadi pembangunan jalan menembus hutan lindung di Aceh diperbolehkan/diizinkan, namun dilaksanakan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.

Selain pembangunan jalan, kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Baca juga: Perbedaan Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, dan Taman Nasional

Mekanisme yang ditempuh dalam membangun jalan dalam kawasan hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan KLHK.

Kedua, lain halnya dengan pembangunan jalan di kawasan konservasi, semisal Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, memang perlu diperdebatkan. Panjang jalan yang tembus dan membelah Kawasan Ekosistem Leuser itu disebut pemerintah 496,5 kilometer; yang berkembang menjadi lebih dari 1000 kilometer seiring pengembangan oleh pemerintah daerah.

Jangan Ganggu Zona Inti

Hal yang perlu dipahami dalam sebuah kawasan taman nasional, zona inti merupakan kawasan yang mendapat perlindungan paling tinggi (high protected priority), karena mempunyai keunikan dan memperoleh perlakukan khusus.

Keunikan TN Gunung Leuser yang mempunyai luas 1.094.692 ha, lebih dari 70 persen adalah kekayaan faunanya (satwa) (792.785 ha) yang merupakan gabungan dari enam suaka margasatwa (SM) yakni SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi.

Luas zona inti TN Gunung Leuser 619.184,80 ha atau 56,56 persen dari total luas kawasan taman nasional. UU Nomor 5/1990 Pasal 32 dalam penjelasannya menyatakan, zona inti sebagai bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Jelas bahwa dalam pembangunan jalan yang menembus TN Gunung Leuser tidak diperbolehkan mengganggu atau memanfaatkan zona inti taman nasional.

Meskipun secara tersurat tidak ada regulasi yang dapat membenarkan adanya pembangunan jalan nasional/provinsi/kabupaten yang menembus kawasan taman nasional, namun secara tersirat dalam zona pemanfaatan dimungkinkan adanya pembangunan jalan tersebut.

Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan bentuk-bentuk jasa terhadap lingkungan lainnya, seperti bidang pendidikan, penelitian, hingga kebudayaan.

Untuk kepentingan pariwisata dalam zona pemanfaatan dibutuhkan pembangunan jalan. Meski zona inti dapat diubah sebagian menjadi zona pemanfaatan, namun revisi zona inti tersebut harus mendapat kajian yang mendalam berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivity of ecology).

Fakta membuktikan bahwa beberapa kawasan taman nasional yang dibuka akses jalannya untuk masyarakat melalui zona inti, sedikit banyak akan mengganggu keunikan flora maupun fauna yang dilindungi. Contoh nyata dan pernah terjadi di Taman Nasional Rawa Opa Watomohai (TNRAW) di Sulawesi Utara.

Akses jalan dari Tinanggea ke Bukit Pampea dan Lanowulu membelah kawasan sabana yang menjadi grazing area (tempat makan) bagi rusa yang hidup di TNRAW. Grazing area tersebut dapat dipastikan merupakan sebagian kawasan zona inti dari TNRAW.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi