Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Garuda Indonesia Jatuh di Jepang, 3 Orang Tewas

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/Frank Peters
Ilustrasi kecelakaan pesawat
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan 865 jatuh dan terbakar di Bandara Fukuoka, Jepang pada 13 Juni 1996.

Akibat insiden ini, tiga orang dilaporkan tewas dan puluhan lainnya luka-luka. 

Pesawat jenis Douglas DC-10 dari pabrikan McDonnell Douglas ini dijadwalkan terbang dengan rute penerbangan Fukuoka-Denpasar-Jakarta.

Namun pesawat gagal lepas landas di landasan pacu 16 Bandara Fukuoka karena terbakar dan terbelah menjadi tiga bagian. 

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Garuda DC-10 Terbakar dan Terbelah Tiga di Fukuoka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penumpang mayoritas warga Jepang

Menurut keterangan Kementerian Transportasi Jepang, mayoritas penumpang pesawat adalah warga Jepang, kecuali dua orang warga Indonesia.

Penumpang kebanyakan adalah para turis yang akan berlibur dan para pengantin baru yang ingin berbulan madu di Bali.

Dikutip dari Harian Kompas, 14 Juni 1996, sebelumnya pesawat dalam kondisi layak terbang.

Bahkan, pesawat sempat menjalani perawatan menjelang terbang dari Jepang ke Indonesia sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dilakukan pihak Japan Airlines (JAL).

Disebutkan bahwa mesin pesawat yang terbakar juga baru diganti pada 25 Januari 1995 atau setahun sebelum kejadian.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Sriwijaya Air Tabrak 3 Orang Petani Sayur di Jambi

Kronologi kecelakaan

Menurut korban selamat, pesawat sempat mengudara sebelum mendadak jatuh dan terasa dua benturan keras, meluncur keluar landasan, dan berhenti di rerumputan buffer zone.

Pesawat tersebut keluar landasan sejauh sekitar 500 meter, dengan perangkat roda dan kedua mesin copot dari kedudukannya.

Namun, keterangan itu disebut kurang masuk akal. Sebab kecepatan diperkirakan masih berada di bawah decision speed V1 atau sekitar 150 knot.

Jika pesawat sudah mengudara, potensi korban meninggal akan lebih banyak.

Sementara itu, seorang penumpang bernama Kazumi Yoshi-take (28) menerangkan, sebelum pesawat jatuh, sempat terjadi getaran keras.

"Semula saya kira itu adalah getaran biasa yang biasa kita rasakan saat pesawat mengudara. Tapi tiba-tiba ada benturan keras dan saya merasakan pesawat bergetar lebih keras," ujarnya.

Beberapa detik kemudian, ia mendapatkan kabin DC-10 diselimuti asap pekat. Beberapa penumpang pun keluar melalui pintu evakuasi. 

Beberapa penumpang lain disebut ada yang merangkak melalui celah patah badan pesawat, lalu melompat keluar dari DC-10 yang tengah diamuk api.

Sekitar 30 mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk memadamkan kobaran api dengan menyemprotkan cairan busa ke pesawat yang terbelah menjadi tiga.

Baca juga: 6 Pesawat Tempur F-16 Milik Angkatan Udara AS Mendarat di Pekanbaru, Akan Latihan Bareng TNI AU

 

Hasil penyelidikan Kementerian Transportasi Jepang

Aircraft Accident Investigation Committee Kementerian Transportasi Jepang menyimpulkan, penyebab kecelakaan tersebut adalah kerusakan mesin kanan General Electric CF6-50C.

Kerusakan itu memaksa Kapten Ronald R Longdong mengambil keputusan abortive take-off dan tidak mengudara, dikutip dari Harian Kompas, 17 Juni 1996.

Mereka juga menyimpulkan bahwa mesin nomor dua (di ekor pesawat) berfungsi baik sewaktu akan lepas landas.

Lubang yang terdapat setelah pesawat gagal lepas landas, disebabkan oleh benturan pylon roda yang lepas dari kedudukannya dan membuat lubang tersebut.

Menurut pihak Jepang, tindakan pilot yang melakukan abortive take-off melanggar ketentuan penerbangan internasional.

Dalam kondisi itu, pilot seharusnya membawa pesawat lepas landas dan kembali mendarat jika terjadi gangguan pada salah satu dari tiga mesin pesawat.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Mandala Airlines Jatuh di Permukiman Warga di Medan, 149 Orang Tewas

Keputusan pilot dipuji

Namun, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia Zainuddin Sikado justru memuji keputusan pilot.

Menurut Zainuddin, jika pilot tidak melakukan pendaratan darurat maka kecelakaan akan berpotensi lebih parah.

Dasarnya adalah dari fakta lapangan, DC-10 PK-GIE sewaktu meluncur dengan kecepatan sekitar 147 knot, pilot mulai menarik kemudi untuk menaikkan hidung pesawat, terjadi getaran keras pada mesin kanan dan pesawat tidak bereaksi atas perintah naik yang diberikan.

"Kita analisa, kemungkinan sistem hidroliknya juga terganggu dan mempengaruhi kerja sistem kemudi dan flaps. Kami dapatkan di tempat kejadian full flaps down, padahal (untuk lepas landas) tidak pakai full flaps," jelas Sikado.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi