Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semburan Lumpur Lapindo dan Utang Rp 2 Triliun yang Belum Terbayar

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/BorneoRimbawan
Ilustrasi lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
|
Editor: Farid Firdaus

KOMPAS.com - Pemerintah masih berupaya menagih utang dana talangan ganti rugi bencana Lumpur Lapindo ke PT Lapindo Minarak Jaya (LMJ).

Hingga pertengahan 2023, utang tersebut belum terselesaikan. Padahal, utang itu sudah jatuh tempo sejak 2019.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban mengatakan, pihaknya sudah sering mengyurati perusahaan tersebut untuk menyelesaikan kewajibannya.

Akan tetapi, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie tersebut tak kunjung menyelesaikannya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kita sudah surat menyurat, kita tagih, dan bersangkutan menyampaikan dalilnya," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Rabu (21/6/2023).

Rionald mengatakan, masalah utang Lapindo sudah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta.

Berikut kilas balik terjadinya semburan lumpur Lapindo yang mengharuskan PT LMJ berutang ke negara hingga Rp 2 triliun:

Baca juga: Mengenang 17 Tahun Luapan Lumpur Lapindo di Sidoarjo

Sejarah semburan lumpur Lapindo

Semburan lumpur Lapindo, pertama kali muncul pada 29 Mei 2006 atau sudah sekitar 17 tahun berlalu.

Semburan tersebut pertama kali muncul dari Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur di lokasi pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.

Adapun penyebab pasti dari terjadinya semburan gas disertai lumpur panas itu hingga kini masih misterius.

Mengutip Kompas.com (31/5/2023), yang melansir pemberitaan Harian Kompas (30/5/2006), seorang warga Desa Siring, Porong, Sidoarjo menuturkan, gas mulai muncul sejak pukul 06.00 WIB.

Namun, kemudian diketahui bahwa kemunculan lumpur bersuhu 60 derajat celsius disertai gas terjadi sejak subuh pukul 04.30 WIB di tengah areal persawahan warga.

Saat itu, dua warga dilaporkan keracunan akibat menghirup gas yang diketahui mengandung hidrogen sulfida itu.

Semburan itu turut berdampak pada aktivitas pendidikan. Kegiatan di sekolah-sekolah di desa itu diliburkan selama 2 hari.

Selain itu, dikutip dari Harian Kompas, 19 Juni 2006, dalam 21 hari sejak munculnya semburan pertama, sekitar 90 hektar lahan terendam lumpur sedalam 1-6 meter dan menenggelamkan empat desa.

Tak hanya itu, tol Surabaya-Gempol juga ikut terbenam lumpur setinggi 20-60 cm.

Baca juga: Mengenal Pulau Lusi, Pulau Baru Hasil Endapan Lumpur Lapindo

Penyebab masih misterius

Penyebab pasti terjadinya semburan gas disertai lumpur panas tersebut hingga kini masih menyisakan misteri.

Dikutip dari Kompas.id (29/5/2021), seorang mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor pengeboran menyebutkan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.

Saat di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter, bor mengalami kemacetan saat akan diangkat untuk ganti rangkaian.

Saat itu, gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping hingga akhirnya keluar permukaan melalui rawa.

Baca juga: Kilas Balik 15 Tahun Lumpur Lapindo, Penyebabnya Masih Misterius

Pada dokumen yang diterima Harian Kompas yang ditujukan kepada Lapindo Brantas Inc pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, rekanan proyek telah mengingatkan PT Lapindo Brantas mengenai pemasangan casing atau pipa selubung.

Pipa seharusnya sudah dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) di kedalaman 2.804 meter.

Namun, Lapindo sebagai operator proyek tak melakukan pemasangan casing yang memiliki diameter 9 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan.

Baca juga: Mengapa Oro-oro Kesongo Erupsi, dan Akankah seperti Lumpur Lapindo?

Menanggapi hal itu, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Bidang General Affairs Yuniwati Teryana mengatakan, sesuai dengan program pengeboran yang disetujui, pipa 9 5/8 inci akan dipasang 15-20 kaki (4,5-6 meter) di dalam formasi Kujung, sekitar 8.500 kaki.

Namun, dengan pengalaman pengeboran sumur terdekat, sumur Porong-1, casing 50 kaki di atas formasi Kujung menimbulkan masalah loss and kick yang sulit diatasi.

”Kedalaman lapisan batuan tidak bisa diprediksi tepat. Karena itu, penentuan kedalaman pipa sangat ditentukan oleh tekanan aktual formasi dan kondisi lubang saat itu,” kata Yuniwati.

Dia menjelaskan, karena belum juga sampai ke formasi Kujung, pengeboran diteruskan ke 2.667 meter.

Namun, formasi Kujung tetap belum ketemu dan survei kedalaman dengan check shot dilakukan di 2.667 meter. Meski demikian, survei ini hasilnya tak menunjukkan gambaran yang jelas.

Dari interpretasi seismik, diduga formasi Kujung ada di 2.682 meter, 2.865 meter, bahkan paling mungkin 2.926 meter. Akan tetapi, hingga 2.804 meter tetap belum ketemu.

Kemudian diputuskan untuk terus mengebor hingga menembus formasi Kujung hingga 2.865 meter mempertimbangkan kick tolerance pengeboran maksimum.

”Namun, pada 2.833 meter telah terjadi loss,” ujar Yuniwati.

Upaya penghentian lumpur

Kala itu, perusahaan berusaha menghentikan kebocoran gas yang diduga terjadi akibat runtuhnya dinding sumur bagian dalam tersebut dengan menginjeksi lumpur berat ke dalam sumur.

Akan tetapi, upaya ini tak membuahkan hasil optimal. Lumpur terus menyembur dan meluas ke area sekitar.

Pada akhirnya, dibangunlah tanggul penahan dari material tanah, namun beberapa kali tanggul jebol karena tak kuat menahan tekanan.

Salah satunya terjadi pada 10 Agustus 2006 yang membuat lumpur menerjang pemukiman warga.

Akibatnya, setidaknya 750 rumah tergenang dan 5.680 warga mengungsi. Selain itu, jalur kereta api Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi tertutup.

Hingga saat ini, tidak diketahui kapan semburan lumpur Lapindo akan berakhir.

Baca juga: Mengenal Rare Earth, Potensi Logam Tanah Jarang di Lumpur Lapindo

Utang Lapindo

Nilai utang Lapindo yang terdiri dari pokok, bunga, dan denda telah mencapai Rp 2,23 triliun hingga pengujung 2020.

Jumlah tersebut terus bertambah, mengingat adanya denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran.

Utang lapindo ini sudah ada sejak 2007 saat pemerintah memberikan dana talangan untuk ganti rugi bencana alam Lumpur Lapindo.

Dana talangan itu diberikan melalui perjanjian pemberian pinjaman dana antisipasi untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan Lumpur Sidoarjo dalam peta area terdampak 22 Maret 2007.

Pada saat itu, Lapindo diberikan pinjaman oleh negara sebesar Rp 781,68 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk bunga dan denda keterlambatan pengembalian.

Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen.

Sementara itu, denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman.

Dalam perjanjian tersebut juga disebutkan, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau lunas pada 2019.

Baca juga: Utang Lapindo ke Negara Capai Rp 2 Triliun, Setiap Ditagih Selalu Berdalih

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi