Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen
Bergabung sejak: 12 Jun 2023

Dosen ilmu politik UIII

Mengembangkan Islam Indonesia yang Menginspirasi Dunia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga melintas di depan spanduk yang mengutip pernyataan mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Duren Sawit, Jakarta, Minggu (10/8/2014).
Editor: Egidius Patnistik

PERPUSTAKAAN Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) belum lama ini menghelat acara diskusi buku berjudul “Inspirasi untuk Dunia: Islam Indonesia dalam Perspektif Pemikiran Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif”.

Buku terbitan UIII dan penerbit buku Mizan itu melibatkan para akademisi Indonesia seperti Amin Abdullah, Haidar Baqir, Martin L Sinaga sebagai penulis. Editor buku itu Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim dan rektor UIII, dan Ahmad Gaus, penulis dan editor.

Tulisan ini merupakan catatan pandangan mata atas forum diskusi buku tersebut. Karena keterbatasan ruang, catatan ini mungkin tidak menampilkan keutuhan pandangan para pembicara dalam forum itu.

Syafiq Hasyim, direktur Perpustakaan UIII dan akademisi NU, menjadi moderator jalannya acara dalam bahasa Inggris. Sebagian besar mahasiswa S2 dan S3 UIII dan beberapa undangan, menghadiri acara itu.

Tampaknya, ke depan Perpustakaan UIII perlu memikirkan strategi dan taktik tertentu untuk menghadirkan lebih banyak pengunjung dari luar dan jurnalis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejumlah penulis artikel dalam buku itu, seperti Syafi’i Anwar, Philips Vermonte, dan Komaruddin Hidayat menjadi narasumber dalam acara itu. Nina Nurmila, pakar gender, diminta memberi review terkait aspek gender dari buku yang didiskusikan.

Membela Pluralisme

 

Pembicara pertama adalah Syafi’i Anwar, akademisi lulusan Universitas Melbourne dan pengajar di UIII. Menurut Syafi’i, ketiga tokoh dalam buku itu, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif”, memperjuangkan islam modern dan kosmopolit. Secara khusus, mereka membela pluralisme, dalam arti perayaan keragaman dan kemajemukan.

Perlu saya tambahkan bahwa pluralisme di sini bukan sinkretisme dalam pengertian kelompok Islam konservatif dan radikal, yang mengharamkan pluralisme.

Baca juga: PKB Sambut Julukan Bapak Pluralisme bagi Gus Dur: Kita Lanjutkan Keteladanannya

 

Dalam presentasinya, Syafi’i menjelaskan kedekatannya dengan Gus Dur sehingga dipercaya mengedit satu buku berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Syafi’i menekankan, inti pemikiran para tokoh tersebut adalah pembelaan terhadap pluralisme, termasuk kelompok minoritas.

Baca juga: Fikih Kenegaraan Gus Dur

Philips J Vermonte, pakar politik dan dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII, menelisik pemikiran Gus Dur yang masih jarang dikaji, yaitu terkait politik luar negeri. Philips membahas background pendidikan, kiprah, dan pemikiran Gus Dur sebagai seorang aktivis civil society, yang kemudian menduduki jabatan politik tertinggi sebagai presiden.

Sebagai seorang demokrat yang memimpin dalam waktu relatif singkat, Gus Dur tercatat mengembangkan hubungan luar negeri yang intensif dengan mengunjungi banyak negara. Gus Dur juga melakukan reformasi militer dan mencoba mengembangkan ekonomi. Naik dan turunnya Gus Dur sebagai presiden juga dipengaruhi oleh partai Islam politik.

Nina Nurmila, akademisi bidang gender, mendiskusikan aspek gender dalam pemikiran ketiga tokoh tersebut. Menurut Nina, buku ini tidak banyak mengulas aspek gender, dan hal yang mungkin perlu ditambahkan pada edisi revisi buku itu. 

Baca juga: Doktrin Tauhid sebagai Fondasi Pembaruan Nurcholish Madjid

Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa ketiga pemikir itu menekankan satu Islam yang inklusif, modern dan kosmopolit. Islam ala Indonesia. Kehadiran Islam di tengah dominasi budaya Hindu dan Budha bersifat damai sehingga wajah Islam di Indonesia memiliki kekhasan, dengan nilai toleransi dan kerukunan yang bisa dijadikan sebagai satu inspirasi untuk aplikasi Islam dunia internasional, yang ramah dan cinta damai.

Islam Tidak Monolitik

 

Menurut Komaruddin, Islam tidak monolitik, terdiri dari banyak mazhab dan aliran pemikiran. Namun, ketiga pemikir tersebut tidak menekankan satu Islam yang kaku dan perlu terlembaga dalam formalisasi syari’at Islam.

Islam juga mesti beradaptasi dengan situasi dan kondisi sosial politik suatu zaman. Dalam Islam kita mengenal pengalaman Imam Syafi’i dengan apa yang disebut pemikiran terdahulu (qaul qadim) dan pemikiran terkini (qaul jadid).

Saat forum tanya jawab, sebagian penanya mengangkat persoalan Islam yang tidak monolitik dan bagaimana Islam dapat menjawab tantangan zaman, serta bisa sesuai dengan perkembangan. Para pembicara menjelaskan, Islam memang tidak tunggal dan banyak penafsiran yang tumbuh kembang terhadap sumber hukum Islam, yaitu Al Quran.

Ketiga sosok dalam buku itu tampaknya sepakat bahwa Islam mesti dipahami secara konstekstual, tidak secara literal, sehingga pemikiran yang muncul adalah pemikiran yang berpihak pada kemaslahatan manusia.

Saya bertanya, apakah ada perbedaan tantangan terkait pemikiran ketiga tokoh itu, khususnya ketika masih hidup dan setelah mereka meninggal? Syafi’i Anwar menjelaskan, pemikiran ketiga tokoh itu relevan untuk zaman kekinian. Saat ini terdapat kecenderungan menguatnya konservatisme Islam dan kehadiran gerakan Islam transnasional yang memperjuangkan corak pemikiran dan ideologi berbeda. Kelompok Wahabi salah satu yang cukup memengaruhi pemikiran masyarakat saat ini.

Diseminasi Pemikiran

Persoalan lain yang diangkat para penanya adalah bagaimana menyosialisasikan pemikiran para tokoh itu kepada generasi muda. Para pembicara sepakat bahwa publikasi buku adalah bagian untuk melanggengkan pemikiran.

Sosialisasi kepada generasi muda memerlukan adaptasi dengan perkembangan kekinian sehingga diseminasi gagasan bisa mengambil banyak format, tidak hanya melalui dialog dalam bentuk bedah buku. Diseminasi bisa menggunakan media-media kekinian yang cocok dengan generasi Z.

Baca juga: Memaknai Jalan Sunyi Buya Syafii Maarif

Dalam hal ini, UIII adalah salah satu upaya pemerintah Indonesia mengenalkan wajah Islam Indonesia kepada dunia. Pemikiran ketiga tokoh tersebut dapat menjadi pemikiran fundamental yang perlu didiseminasikan secara luas. Buku itu mungkin dapat menjadi satu materi bacaan yang ada dalam mata kuliah Islam moderat yang wajib diikuti oleh mahasiswa UIII.

Untuk penyempurnaan buku itu, mungkin bisa menambahkan aspek gender dan beberapa ahli dari luar (indonesianis), seperti Robert Hefner dan Greg Barton, yang dibuat dalam versi Inggris sehingga membuka akses luas bagi pembaca non-Indonesia.

Saya berpandangan, pemikiran ketiga tokoh itu sangat kaya dengan nilai-nilai inklusif, modern, dan kosmpolitik. Mereka dapat dikelompokkan dalam kategori muslim progressif, yang merupakan antitesis pemikiran konservatif radikal yang berupaya memformalisasi syariah melalui negara dengan menggunakan penafsiran literal dengan mengabaikan pendekatan konstektual sehingga wajah Islam menjadi keras, beringas, dan tidak ramah terhadap perempuan dan kelompok non-muslim serta minoritas.

Revitalisasi pemikiran ketiga tokoh itu perlu dilakukan dengan diskusi dan format kekinian sehingga diseminasi gagasan tersebut bisa membangun sebuah masyarakat Indonesia yang inklusif, plural, dan humanis.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi