Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

"The King" Mendramatisasi Sejarah

Baca di App
Lihat Foto
Netflix
The King
Editor: Sandro Gatra

MUNGKIN film yang paling berniat bagus sekaligus juga paling banyak keliru dalam mendramatisasi sejarah adalah film ”The King” yang disutradarai David Michod dan diproduksi oleh Brad Pitt dan kawan-kawan pada 2019.

“The King” berkisah tentang Raja Henry V dengan pengakuan bahwa skenario dibuat berdasar sejarah kerajaan Inggris sekaligus serial lakon Henry mahakarya William Shakespeare.

Berdasar kajian Pusat Studi Kelirumologi ditemukan banyak kekeliruan di dalam film yang memperoleh banyak pujian dari para kritikus film, namun dicela oleh para sejarawan akibat ahistorikal dramatisasi yang terlalu jauh melenceng dari fakta sejarah.

Keberpihakan berlebih ke Inggris menyebabkan “The King” di satu sisi dianggap terlalu British-sentris sementara di sisi lain dianggap ekstrem Frankofobia.

Adegan puncak “The King” terkulminasi pada pertempuran Agincourt di Perancis pada 25 Oktober 1415, yang menurut direktur Museum Agincourt masa kini, Christopher Gilliot dikisahkan secara tidak sesuai kenyataan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Misalnya, medan pertempuran Agincourt pada “The King” ditampilkan sebagai padang yang hijau royo-royo bak lapangan golf. Padahal sebenarnya dataran rendah nan gersang.

Bahkan saya yang awam sejarah juga bingung mengenai bagaimana di dalam film produksi Brad Pitt itu bisa tampil seorang tokoh bernama Falstaff yang setahu saya adalah tokoh fiktif hasil khayalan Shakespeare yang sama sekali tidak eksis pada realita sejarah Inggris apalagi Perancis.

Bahkan Sir John Falstaff ditampilkan sebagai pahlawan (setara Gatotkaca pada Bharatayuda) yang ikhlas mengorbankan diri sebagai martir demi memenangkan laskar Inggris di pertempuran Agincourt.

Adalah Falstaff yang diperankan Joel Edgerton yang memang mirip Orson Welles yang menasehati Henry V untuk memanfaatkan medan perang Agincourt yang berlumpur akibat hujan deras sebagai perangkap terhadap pasukan berkuda Perancis dengan para serdadu berpakaian logam berat.

Padahal pada kenyataan sejarah sebenarnya kavaleri Perancis dilumpuhkan dengan tombak-tombak panjang serta panah-panah jarak jauh Inggris.

Akibat fiktif maka Falstaff tidak pernah hadir pada pertempuran Agincourt maupun di mana pun juga.

Putra mahkota Perancis, Louis de Guyenne di dalam “The King” diperankan oleh Robert Pattinson sebagai tokoh arogan, sinis dan brutal kemudian mati konyol dikeroyok serdadu Inggris pada pertempuran Agincourt sebenarnya tidak pernah ikut terlibat apalagi memimpin tentara Perancis pada pertempuran Agincourt.

Pada kenyataan, sebenarnya Louis de Guyenne wafat dua bulan setelah pertempuran Agincourt akibat sakit keras sebab memang sakit-sakitan.

Para sejarawan juga mengecam busana termasuk busana militer yang digunakan serdadu Inggris dan Perancis dalam “The King” yang digarap pada abad XXI sebagai sama sekali tidak sesuai dengan realita busana abad XV.

Henry V yang diperankan Timothée Chalamet pada “The King” ditampilkan sebagai tokoh humanis dan cinta damai.

Padahal sebenarnya bengis dan cinta perang karena bersemangat melanjutkan ambisi para kakek-moyang para raja Inggris yang ingin menguasai Perancis melalui perang berkelanjutan yang disebut sebagai Perang Seratus Tahun.

Pada kenyataan Henry V sempat sedemikian bengis dan cinta perang sehingga tega mengepung kota Rouen selama enam bulan sehingga separuh, yaitu sekitar 30.000 warga Rouen satu per satu mati akibat kelaparan.

Namun ada pula semacam aroma kebenaran hadir pada “The King”, yaitu ketika Henry V kejam memerintahkan serdadu Inggris untuk membunuh semua tawanan perang karena dianggap merepotkan serta menambah beban biaya untuk memberi makan-minum kepada para tawanan perang setelah berhasil menaklukkan Perancis di Agincourt.

Andai kata kekejaman Henry V tersebut dilakukan pada masa kini, maka sudah pasti dia diseret untuk diadili oleh majelis hakim Mahkamah Internasional di Istana Perdamaian, Den Haag.

Tampaknya sang sutradara merangkap penulis skenario, David Michod dalam mendramatisasi sejarah memiliki keyakinan bahwa jika Shakespeare boleh mendramatis sejarah secara semau gue, maka Michod juga boleh.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi