Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sekjen PKB
Bergabung sejak: 29 Agu 2020

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Menumbuhkan Jiwa Patriotisme Melalui Olahraga

Baca di App
Lihat Foto
AFP/ALEXANDER NEMENOV
Pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polii dan Apriyani Rahayu (kanan) memberi hormat dengan medali emas bulu tangkis ganda putri pada upacara Olimpiade Tokyo 2020 di Musashino Forest Sports Plaza di Tokyo pada 2 Agustus 2021.
Editor: Sandro Gatra

PERTANDINGAN olahraga hampir selalu menggelorakan sentimen nasionalis dan jiwa patritiotisme. Itu adalah hal yang tak bisa dimungkiri lagi.

Hal itu tampak sangat nyata ketika para suporter sepak bola Indonesia menonton laga final Suzuki Cup Indonesia vs Thailand pada 2021 lalu.

Waktu itu puluhan ribu suporter Indonesia meneriakan Yel Yel Pembakar Semangat Timnas Indonesia dengan mengumandangkan lagu "Aku Hargai Itu Semangat Perjuangamu".

Liriknya nyanyian pembakar semangat itu berbunyi demikian:

“Semangat jiwaku, sekuat ragaku, Kuberjanji padamu ‘tuk selalu bersamamu/ Satukan langkah menuju satu arah, bersama mengawal Garuda dengan sukacita/Tak pernah ada sebuah rasa bosan, penuh kerinduan hadir untukmu pahlawan/Tak kenal lelah kau terus berusaha, demi kemenangan yang selalu kami dambakan/Merah-Putih ‘kan jadi warna simbol pemersatu, di sini kami berpijak nafas kami untukmu/Aku hargai semangat perjuanganmu, demi sau asa, jadikan Garuda juara.”

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik lirik lagu di atas, apalagi mendengarkan bagaimana bersemangatnya para suporter menyanyikannya, siapa pun tentu merasakan bahwa sepak bola atau olahraga mampu menjadi alat untuk menumbuhkan semangat nasionalis dan jiwa patriotisme dalam diri setiap anak bangsa.

Lebih dari itu, yel-yel seperti itu mampu membakar semangat juang para atlet yang berlaga di lapangan hijau.

Buktinya, dalam pertandingan persahabatan dengan Argentina, Senin (19/6), pemain Garuda tampil all-out sehingga mampu mematahkan serangan para pemain Argentina yang terkenal memiliki teknik di atas rata-rata pemain bola di dunia.

Bagi Indonesia, sentimen nasionalis dan jiwa patriotisme tidak hanya terjadi pada olahraga sepak bola.

Sejak dekade 1970-an kejuaraan bulu tangkis dunia, terutama yang diselenggarakan di dalam negeri, selalu menggelorakan sentimen nasional dan jiwa patriotisme itu.

Tak jarang terjadi, pertandingan bulu tangkis diwarnai dengan derai air mata, baik di wajah para atlet itu sendiri, maupun di kalangan penonton di bangku stadion, dan pemirsa televisi di rumah.

Berlaku di berbagai belahan dunia

Sejatinya, hubungan olahraga dan sentimen nasionalis serta jiwa patriotisme tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan tejadi di belahan bumi lain juga.

Di Brasil, Argentina dan negara-negara Amerika Latin lainnya, misalnya, olahraga sepak bola menjadi alat pemersatu bangsa. Di sana sepak bola menjadi semacam pembentuk identitas nasional. Tak heran olahragawan terkemuka menjadi kebanggaan bangsa.

Di Brasil, misalnya, mendidiang Edson Arantes do Nascimento, yang dikenal sebagai Pelé dipandang sebagai pahlawan nasional Brasil. Bahkan, dia dinyatakan sebagai aset nasional oleh negara Brasil pada 1961.

Begitu pula di Argentina. Pesepak bola Diego Maradona dianggap sebagai ‘orang suci’ sekaligus pahlawan bangsa.

Hal sama terjadi di benua Afrika dan Eropa. Contoh, George O. Weah dari Liberia, satu-satunya pesepak bola profesional Afrika yang pernah memenangkan Balon d'Or sebagai pemain terbaik dunia, adalah presiden Liberia saat ini.

Dia dipilih rakyat, karena dianggap sebagai tokoh yang nasionalis dan memiliki semangat kepejuangan membela kepentingan bangsa (patriotisme).

Di Filipina, olahraga tinju menjadi pemicu semangat nasionalis dan jiwa patriotisme. Keperkasaan Many Pacquaio dalam menaklukkan sejumlah petinju kelas dunia membuat orang Filipina merasa bangga, dan naik kelas dalam pergaulan antarbangsa.

Warisan sejarah yang panjang

Nigel Crowther dalam artikel ilmiahnya yang dimuat di Journal of Social Justice (Volume 11, 1999) menulis ketika Baron Pierre de Coubertin, mencentuskan Olimpiade modern tahun 1894, ia menyatakan bahwa pertandingan Olimpiade harus mempromosikan “pemahaman internasional, persaudaraan, dan perdamaian”.

Gagasan Coubertin itu, sesungguhnya bukan hal baru. Ia hanya menghidupkan kembali cita-cita yang sudah dicetuskan sejak penyelenggaraan Olimpiade kuno di Yunani tahun 776 SM.

Olimpiade kuno diadakan untuk mempromosikan rasa persatuan di antara negara-negara kota yang merdeka, karena Yunani, dalam sebagian besar sejarahnya, bukanlah bangsa yang bersatu melainkan kumpulan kota-kota individual.

Setiap empat tahun, pertandingan tersebut mengumpulkan sebanyak 40.000 penonton, atlet, politisi, pedagang, dan tokoh budaya ke festival yang tidak hanya merayakan olahraga, tetapi juga agama—karena menghormati Zeus dan dewa-dewa lainnya.

Jadi, bagi orang Yunani hampir tidak bisa disangkal, bahwa Olimpiada adalah alat pemicu sentimen nasionalis dan jiwa patriotisme, baik di diri para atlet itu sendiri, maupun di seluruh para penontonnya.

Patriotisme di Yunani

Dunia Yunani kuno memahami patriotisme dengan cara yang mirip dengan dunia modern. Bagi orang Yunani, patriotisme berarti kesediaan untuk melayani dan mendukung negara—dan jika perlu, berjuang dan mati untuk tanah air.

Warga negara yang kehilangan nyawanya dalam perang dihormati, seperti yang terlihat dalam orasi Pericles bagi mereka yang gugur pada hari-hari awal Perang Peloponnesia Kedua.

Namun bagi orang Yunani kuno, sebenarnya ada dua jenis patriotisme. Pertama adalah patriotisme yang berfokus pada kesamaan identitas Hellenic.

Orang Yunani sangat bangga menjadi Hellenes. Nyatanya, mereka percaya bahwa mereka jauh lebih unggul daripada orang non-Yunani, yang mereka sebut sebagai orang barbar.

Patriotisme Yunani dirayakan dalam ritual dan praktik. Contoh yang baik dari hal ini adalah berbagai institusi Pan-Hellenic, terutama yang bersifat religius, seperti Oracle of Delphi.

Lalu ada ekspresi patriotisme Hellenic yang unik yang diekspresikan dalam Pertandingan Olimpiade. Hanya Hellenes yang dapat berpartisipasi dalam Olimpiade, yang merupakan perayaan identitas dan nilai bersama.

Patriotisme Yunani mengilhami orang Yunani untuk bekerja sama dalam Liga, seperti yang terbentuk ketika Persia menginvasi daratan Yunani pada 492 SM.

Bentuk patriotisme kedua di Yunani kuno mengambil bentuk yang lebih terlokalisasi: kebanggaan terhadap negara-kota seseorang.

Contoh bagusnya adalah patriotisme Sparta. Orang Sparta sangat bangga dengan tanah air dan identitas mereka. Sebagian besar orang Yunani berutang kesetiaan pertama mereka kepada negara-kota mereka, seperti Thebes.

Warga laki-laki adalah kelompok istimewa di polis, dan mereka sangat setia pada negara kota. Biasanya, warga negara mengucapkan sumpah setia kepada negara dan diharapkan mengabdikan dirinya untuk kebaikan negara.

Patriotisme Romawi kuno

Kata patriotisme berakar pada kata Latin untuk patria, yang berarti tanah air. Patriotisme Romawi dengan demikian terikat pada rasa kesetiaan yang kuat kepada ayah (pater) dan keluarga.

Roma benar-benar dikhususkan untuk keluarga mereka dan kepala rumah tangga adalah otoritas tak terbantahkan. Kesetiaan kepada keluarga berangsur-angsur mengambil bentuk yang lebih kolektif dan dipindahkan ke Republik Romawi awal.

Patriotisme Romawi menjadi dedikasi dan kebanggaan di Tanah Air. Roma dipandang sebagai keluarga dari keluarga.

Patriotisme yang intens ini adalah salah satu alasan keberhasilan Roma. Seperti orang Yunani, orang Romawi memiliki dua bentuk patriotisme, satu khusus untuk Republik Romawi (dan kemudian Kekaisaran), dan satu lagi untuk kota atau wilayah asal mereka.

Orang Romawi sering kali adalah warga negara Republik atau Kekaisaran dan kota atau wilayah mereka sendiri. Mereka bersumpah untuk melayani negara dan menempatkannya di atas kepentingan mereka sendiri.

Patriotisme Romawi ditegakkan dalam berbagai ritual dan upacara, seperti yang didedikasikan untuk Dewa Mars. Semua warga negara bertugas di ketentaraan selama awal Republik, dan ini membantu menegakkan patriotisme.

Selama periode Kekaisaran, kaisar datang untuk mewujudkan negara. Patriotisme semakin berpusat pada kaisar.

Kultus kekaisaran digunakan untuk mempromosikan kesetiaan kepada kaisar dan identitas Romawi yang sama di seluruh provinsi.

Jadi, patriotisme adalah hal yang umum di dunia kuno, di mana ia merupakan kekuatan untuk kebaikan — dalam mempromosikan kohesi sosial dan pelayanan publik — tetapi juga memiliki sisi gelapnya, karena mendorong konflik dan bahkan xenofobia.

Patriotisme ala Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.

Patriotisme juga diartikan sebagai sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi kemerdekaan, kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran bangsa.

Semangat nasionalis memiliki kaitan erat jiwa patriotisme. Untuk bisa memiliki jiwa patriotisme maka seseorang harus memiliki rasa nasionalis.

Jika patriotisme adalah jiwa rela berkorban demi negaranya, maka nasionalisme adalah paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.

Sebagai bangsa Indonesia, kita beruntung bahwa rasa nasionalisme dan jiwa patriotisme sudah bertumbuh dan berakar kuat dalam pengalaman sejarah, semenjak masa kolonialisme Belanda.

Kita juga bersyukur bahwa sentimen nasionalisme dan jiwa patriotisme itu tetap bertahan hingga sekarang ini. Ada banyak contoh mengenai hal itu.

Solidaritas dan aksi sosial membantu sesama saudara yang kurang beruntung atau tertimpa bencana adalah pemandangan yang sangat lumrah.

Kita pun berbangga bahwa sentimen nasionalisme dan jiwa patriotisme juga selalu bergelora pada berbagai ajang perandingan olahraga, baik sepak bola, bulu tangkis dan pertandingan olahraga lainnya dan diujungnya menjadi alat pemersatu.

Kita berharap, kiranya sentimen nasionalisme dan jiwa patriotisme di kalangan atlet dan para suporter tidak berhenti di lapangan atau pun stadion olahraga, tetapi menjadi sikap dan perilaku nyata dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan begitu kita akan bertumbuh menjadi bangsa yang solid, kuat dan semakin maju.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi