Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Menelusuri Pemikiran Aristoteles

Baca di App
Lihat Foto
Encyclopædia Britannica
Patung Aristoteles.
Editor: Sandro Gatra

BERDASAR hasil kajian Pusat Studi Kelirumologi terhadap pemikiran para tokoh pemikir yang kerap disebut sebagai filsuf atau juga filosof, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia memang tidak sempurna, maka juga tidak ada pemikiran manusia paling cerdas pun yang terjamin sempurna.

Maka sebenarnya adalah wajar bahwa Aristoteles sebagai tokoh pemikir Yunani kuno yang tersohor cerdas itu juga sempat keliru.

Apalagi kekeliruan Aristoteles bukan dalam bidang filsafat, namun terbatas pada beberapa pemikiran prabiologi dan prafisika justru karena Aristoteles pelopor, maka tanpa pendahulu pada bidang-bidang tersebut.

Di ranah prabiologi, Aristoteles keliru dalam menduga bahwa kehidupan secara spontan muncul dari benda mati.

Dugaan tersebut berdasar pengamatan bahwa buah apel bisa spontan memunculkan belatung.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kini kita semua sadar bahwa belatung muncul bukan secara ujuk-ujuk tanpa sebab-musabab, namun akibat ada lalat betina atau serangga lain berhasil menyelundupkan telur-telurnya ke dalam buah apel.

Istilah patah hati, sakit hati, hati berdebar dan berbesar hati juga merupakan warisan kekeliruan Aristoteles dalam meyakini bahwa pusat perasaan manusia berada di jantung yang kemudian diterjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Indonesia sebagai hati.

Istilah hati berdebar-debar juga pada hakikatnya keliru sebab yang bisa berdebar apalagi berdebar-debar sebenarnya bukan hati, tetapi jantung.

Akibat Aristoteles merasa jantungnya berdebar-debar pada saat sedang marah atau jatuh cinta, maka beliau menyimpulkan bahwa jantung adalah pusat perasaan.

Kini kita semua tahu bahwa pusat perasaan berada di otak, namun kita tetap menyebut diri kita bukan patah otak, tetapi patah hati pada saat cinta kita ditolak oleh insan yang kita cintai.

Pada saat perasaan kita disakiti kita juga bilang bukan sakit otak, tetapi sakit hati sambil memegang bagian dada di mana kita merasakan bukan hati, tetapi jantung kita berdebar-debar.

Aristoteles juga keliru dalam menduga bahwa kecepatan benda yang jatuh ke permukaan bumi akibat daya tarik bumi adalah konstan.

Meski sudah dikoreksi oleh Galileo Galilei yang menginspirasi teori relativitas Albert Einstein, namun masih banyak pihak termasuk saya tetap sepaham dengan dugaan keliru Aristoteles tentang kecepatan benda jatuh adalah konstan.

Terus terang keimanan saya terhadap pemikiran Aristoteles sempat goyah tatkala bereksperimen dengan bulu ayam yang saya jatuhkan dari lantai ke empat kantor Jamu Jago.

Ternyata kecepatan jatuh bulu angsa tersebut sama sekali tidak konstan akibat terpengaruh hembusan angin dan/atau kondisi udara pada saat saya melakukan eksperimen amatiran sekaligus primitif tersebut.

Kekeliruan mewarisi kekeliruan Aristoteles membuat sikap dan perilaku kita di masa kini menjadi serba keliru sebab secara kelirumologis masalah kekeliruan Aristoteles memang simpang-siur bahkan tumpang-tindih berlapis-lapis akibat tafsir terhadap pemikiran Aristoteles yang saling beda satu dengan lain-lainnya.

Masih diperparah oleh aneka ragam tafsir manusia yang berhak menafsirkan berdasar kehendak dan selera masing-masing.

Apalagi ada pula pihak yang menegaskan bahwa Aristoteles mustahil keliru karena Aristoteles sudah bukan manusia lagi, tetapi mahluk sekelas malaikat maka mustahil keliru.

Namun warisan kekeliruan Aristoteles memiliki hikmah tersendiri, yaitu membenarkan mazhab kelirumologi bahwa jika kita melakukan kekeliruan yang juga dilakukan banyak orang yang sudah terbiasa melakukan kekeliruan tanpa ada yang berani mengoreksinya sebab tidak sadar bahwa kekeliruan yang dilakukan secara berjemaah itu sebenarnya keliru maka kita rawan terlanjur nyaman terperangkap di dalam zona kenyamanan untuk tetap melakukan kekeliruan.

Situasi-kondisi keliru-kaprah mirip kita terlanjur terperangkap di zona kenyamanan menggunakan istilah-istilah asing secara keliru namun terlanjur dianggap benar secara berjemaah.

Misal, Konsumerisme adalah perilaku konsumtif berlebihan, padahal gerakan melindungi kepentingan konsumen.

Machiavellianisme adalah mazhab penguasa menghalalkan segala cara untuk berkuasa, padahal Nicolo Machiavelli sekadar mengamati angkara murka dinasti Borgia.

Fobia terhadap Radikalisme, padahal kaum penjajah memenjarakan Bung Karno dan Bung Hatta atas anggapan dua putra terbaik Indonesia itu radikal ingin memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Benci politik identitas, padahal mustahil ada politik tanpa identitas selama yang melakukan politik adalah manusia yang pasti memiliki identitas dirinya sendiri masing-masing.

Atau menggunakan istilah “graha” untuk suatu bangunan gedung, sementara makna aslinya dalam bahasa Sansekerta adalah buaya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi