KOMPAS.com – Fenomena astronomi supermoon akan terjadi pada Senin, 3 Juli 2023.
Peneliti astronomi dan astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Clara Yono Yatini mengatakan, fenomena supermoon dapat disaksikan di seluruh Indonesia.
“Fenomena supermoon bisa dilihat secara langsung tanpa alat bantu,” kata Clara kepada Kompas.com, Senin (26/6/2023).
Apa itu fenomena supermoon?
Baca juga: Mengenal Bulan dari Planet-planet di Tata Surya
Mengenal fenomena supermoon
Clara mengatakan, supermoon adalah fenomena ketika bulan purnama berada di jarak terdekat dengan Bumi.
Hal ini terjadi karena lintasan Bulan mengelilingi Bumi tidak bulat sempurna, tetapi agak elips atau lonjong.
Saat supermoon, bulan purnama menjadi terlihat lebih besar, lebih dekat, dan lebih terang.
“Bulan purnama terjadi ketika Bulan tepat berseberangan dengan Matahari, Bumi di antara keduanya,” kata dia.
Pihaknya menyebut, hal itu membuat seluruh permukaan Bulan yang menghadap Bumi memantulkan sinar Matahari.
“Untuk tahun 2023 ini, supermoon akan terjadi pada 3 Juli 2023, 1 Agustus 2023, 31 Agustus 2023, dan 29 September 2023,” paparnya.
Ia mengungkapkan, supermoon tidak akan menimbulkan efek berbahaya terhadap Bumi. Namun tak menutup kemungkinan akan ada perubahan pada pasang surut air laut.
Baca juga: Apakah Fenomena Aurora Bisa Terjadi di Planet Lain? Berikut Penjelasannya
Penyebab orbit bulan berbentuk elips
Dikutip dari Space, Bulan memiliki jarak rata-rata sejauh 382.900 km dari Bumi.
Namun apogee (posisi terjauh) dan perigee (posisi terdekat) Bulan berubah-ubah karena orbitnya yang berbentuk elips.
“Alasan utama mengapa orbit Bulan bukan lingkaran sempurna (elips) adalah karena ada banyak gaya pasang suruh atau gravitasi yang menarik Bulan,” kata ilmuwan NASA Noah Petro.
Ia menambahkan, gravitasi Bumi, Matahari, dan planet lain berpengaruh pada orbit Bulan.
“Anda memiliki semua gaya gravitasi berbeda yang menarik dan mendorong Bulan, yang memberi kita kesempatan untuk melewati jarak dekat ini,” tuturnya.
Faktor terjadinya supermoon
Ada dua faktor untuk mendukung terjadinya fenomena supermoon, yakni perigee dan fase purnama.
Adapun perigee bulan setiap 27 hari sekali dan fase purnama setiap 29,5 hari sekali.
Diperkirakan Bulan akan tampak 30 persen lebih terang dan 14 persen lebih besar dari biasanya. Namun, sangat sulit untuk melihat perbedaannya dengan mata telanjang.
“Itu tidak cukup untuk diperhatikan (perbedaannya) kecuali Anda adalah pengamat bulan yang sangat berhati-hari,” kata Petro.
Baca juga: Astronom Temukan Bulan Palsu Quasi-Moon di Orbit Bumi, Apa Itu?
Asal-usul istilah supermoon
Istilah “supermoon” tidak berasal dari astronomi, melainkan dari astrologi bidang pseudoscientific.
Itu mempelajari pergerakaan benda langit untuk membuat prediksi tentang perilaku dan peristiwa manusia.
Istilah ini pertama kali disebutkan dalam artikel tahun 1979 di majalah Dell Horoscope oleh Richard Nolle.
Nolle mendefinisikan supermoon sebagai bulan baru atau bulan purnama yang terjadi dengan bulan di posisi terdekat dengan Bumi dalam orbit tertentu.
Namun baru beberapa tahun terkahir ini, istilah supermoon lebih diperhartikan oleh masyarakat Bumi. Dimulai sekitar tahun 2004.
Disebut juga dengan "buck moon"
Supermoon yang terjadi pada 3 Juli 2023 dapat disebut juga dengan “buck moon” dengan sebutan fenomena itu pada tanggal lainnya yang berbeda-beda.
Dilansir dari Fox59, istilah buck moon yang diberikan berasal dari Maine Farmer’s Almanac yang terbit pada 1930-an.
Dijelaskan, suku Algonquin menyebut Bulan purnama pada bulan Juli sebagai “buck moon” karena itu sesuai dengan waktu rusa muda mulai menunjukkan tanduk.
Baca juga: 9 Fenomena Astronomi 2023, dari Hujan Meteor hingga Gerhana
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.