KOMPAS.com - Kudeta atau upaya penggulingan kekuasaan atas pemerintahan yang sah pertama kali terjadi di Indonesia pada 3 Juli 1946.
Kudeta yang dinamai Peristiwa 3 Juli 1946 itu melibatkan dua kubu ketika kemerdekaan Indonesia belum genap satu tahun.
Kubu pertama adalah kelompok yang mendukung langkah diplomasi dengan Belanda, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Amir Syarifuddin.
Sementara kubu kedua adalah kelompok yang mempertahankan kemerdekaan secara militer, seperti Tan Malaka, Achmad Soebardjo, Sukarni, Iwa Kusuma Sumantri, dan Chaerul Saleh.
Akibat perbedaan tersebut, terjadi aksi penculikan dan penangkapan terhadap tokoh tertentu di antara dua kubu.
Kudeta oleh kelompok Persatuan Perjuangan
Dilansir dari Kompas.com, Peristiwa 3 Juli 1946 diawali ketika Indonesia masih mengalami krisis politik.
Salah satu faktor yang memicu kondisi tersebut adalah kembalinya Belanda ke Tanah Air yang membuat pejuang saling sikut sehingga memunculkan kelompok oposisi.
Peristiwa 3 Juli adalah kudeta pertama di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok Persatuan Perjuangan.
Kelompok tersebut ingin menggulingkan pemerintahan lantaran tidak puas dengan Sjahrir yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri.
Adapun, Persatuan Perjuangan adalah gabungan dari semua organisasi yang menentang upaya diplomasi. Gerakan ini diorganisir oleh Tan Malaka.
Baca juga: Belanda Resmi Akui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia
Penyebab Peristiwa 3 Juli 1946
Kelompok tersebut tidak didirikan unntuk melakukan politik damai melainkan susunan revolusionernya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Atas ketidakpuasan terhadap Sjahrir, Persatuan Perjuangan kemudian menghelat rapat akbar di Madiun pada 15 Maret 1946.
Rapat berskala besar ini diikuti oleh sekitar 40 organisasi pendukung dengan porsi paling besar berasal dari perwakilan Jenderal Soedirman dan Badan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) di bawah komando Bung Tomo.
Di sisi lain, rapat akbar yang diinisiasi oleh Persatuan Perjuangan juga diikuti Barisan Hisbullah, Barisan Banteng, Laskar Rakyat, dan Polisi Khusus yang dipimpin Yasin.
Baca juga: Sejarah Bobo, Majalah Anak-anak Pertama di Indonesia dengan Desain Berwarna
Penangkapan tokoh Persatuan Perjuangan
Sebelum Peristiwa 3 Juli 1946 terjadi, BPRI yang menjadi bagian dari gerakan Persatuan Perjuangan memberikan ancaman kepada pemerintah.
Organisasi tersebut mengatakan, akan melakukan kudeta apabila pemerintah gagal menjalankan tugasnya.
Berjalannya waktu, keberadaan BPRI di dalam republik membuat Soekarno dan Sjahrir menjadi gusar.
Pemerintah kemudian mengambil tindakan tegas untuk mengurangi tekanan dari Persatuan Perjuangan.
Tan Malaka yang berada di balik Persatuan Perjuangan lalu ditangkap oleh pemerintah secara diam-diam setelah menutup Kongres Persatuan Perjuangan.
Selain Tan Malaka, pemerintah juga menculik Muhammad Yamin, Gatot, Abikusmo, Sukarni, dan Chaerul Saleh.
Pentolan Persatuan Perjuangan ditangkap dengan tuduhan bakal melakukan penculikan terjadap anggota Kabinet Sjahrir.
Sebelumnya, Sutan Sjahrir dengan beberapa anggota kabinet memang diculik pada 26 Juni 1946.
Baca juga: Sejarah SD Inpres yang Dibandingkan Jokowi dengan Pembangunan IKN
Negara dalam keadaan bahaya
Adapun, ketika Sjahrir diculik, Soekarno mengumumkan bahwa negara dalam keadaan bahaya sehingga kekuasaan pemerintah kembali kepada Presiden RI.
Hal tersebut dikatakan Sang Proklamator ketika berpidato pada 28 Juni 1946. Ia juga mendesak agar Sjahrir dan anggota kabinet lainnya dibebaskan.
Permintaan tersebut dikabulkan sehingga Sjahrir dapat menemui Soekarno pada 1 Juli 1946.
Meski begitu, upaya kudeta tetap terjadi yang dikenang sebagai Peristiwa 3 Juli 1946.
Peristiwa 3 Juli 1946
Mayjen Soedarsono yang berada di balik penculikan Sjahrir kemudian menghadap Soekarno dam Amir Syarifuddin pada 3 Juli 1946.
Ia memberikan beberapa permintaan kepada Soekarno dalam empat lembar maklumat dengan isi sebagai berikut:
- Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II
- Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik Presiden yang mengangkat 10 anggota
- Dewan Pimpinan Politik diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Boentaran Martoatmodjo, RS Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri
- Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Soekarno kemudian memerintahkan supaya Soedarsono dan pendukungnya ditangkap setelah tidak menandatangani maklumat tersebut.
Aksi yang dilakukan Soedarsono juga dianggap sebagai upaya kudeta dan 14 orang yang diduga terlibat dibawa ke Mahkamah Tentara Agung.
Soedarsono dan Muhammad Yamin kemudian dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun sementara tokoh lainnya dipenjara dua sampai tiga tahun dan ada pula yang dibebaskan.
Pada 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan setelah mereka mendapat grasi dari Presiden.
Dilansir dari Kompas.com, grasi adalah suatu bentuk pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana.
(Sumber: Kompas.com/ Diva Lutfiana Putri, Widya Lestari Ningsih | Editor:Widya Lestari Ningsih, Rendika Ferri Kurniawan).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.