Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti PARA Syndicate
Bergabung sejak: 12 Apr 2023

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

Restitusi Artefak Kolonial, Pemulihan Narasi Sejarah dan Identitas Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
MUSEUM NASIONAL via BBC Indonesia
Salah satu artefak yang dikembalikan dari Belanda tahun 2019.
Editor: Egidius Patnistik

KEPUTUSAN terbaru pemerintah Belanda mengembalikan artefak era kolonial yang pernah dicuri dari Indonesia dan Sri Lanka bukanlah semata-mata tentang restitusi budaya. Hal tersebut juga merupakan momen penting dalam proses pertanggungjawaban setelah masa kolonial yang tertunda lama.

Dari perspektif Indonesia, kembalinya harta karun bersejarah itu menandakan validasi terhadap warisan budaya kita dan penegasan narasi sejarah kita, memberikan suatu katarsis yang mendalam dan penting.

Di antara artefak yang dikembalikan adalah "Harta Karun Lombok", koleksi benda-benda berharga berupa emas dan perak yang diambil pasukan Belanda setelah merebut Istana Cakranegara di Pulau Lombok tahun 1894. Benda-benda ini bukan sekadar artefak, tetapi juga perwujudan fisik dari sejarah kita.

Baca juga: Belanda Akan Kembalikan Artefak yang Dijarah 200 Tahun Lalu ke Indonesia dan Sri Lanka

Bagi bangsa Indonesia, pemulangan benda-benda tersebut bukan hanya tentang mengembalikan barang yang dicuri, tetapi juga merebut kembali narasi kita, sebuah narasi yang sering kali ditulis dan digambarkan oleh tangan-tangan asing.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, tindakan itu memiliki makna yang lebih dari sekadar pengembalian benda-benda budaya. Hal itu mewakili perubahan signifikan dalam dinamika kekuasaan yang telah lama diabaikan, sebuah perbedaan yang berakar kuat pada masa lalu kolonial dunia.

Selama berabad-abad, kekuatan-kekuatan kolonial mengumpulkan kekayaan dan artefak budaya yang luar biasa besar, seringkali melalui penaklukan dengan kekerasan dan penjarahan gelap, sebuah fakta yang jarang diakui dan ditangani.

Ketidakseimbangan dalam penguasaan benda-benda warisan itu telah lama melanggengkan narasi implisit tentang dominasi dan eksploitasi. Karena itu, mengembalikan artefak era kolonial merupakan bentuk reparasi, sebuah cara untuk mengakui ketidakadilan sejarah dan mulai memperbaiki ketidakseimbangan yang telah terjadi.

Keputusan Belanda mencerminkan kesadaran yang meningkat di antara mantan penguasa kolonial tentang tanggung jawab sejarah mereka dan kesediaan untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman dari masa lalu kolonial mereka. Namun, meskipun kita menghargai sikap itu, penting untuk memahami bahwa itu hanyalah satu langkah menuju rekonsiliasi.

Gunay Uslu, wakil menteri Belanda untuk kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, menyatakan, rekomendasi itu harus dilihat sebagai "tonggak sejarah dalam menangani koleksi dari konteks kolonial".

Namun, tonggak sejarah itu seharusnya menjadi bagian dari perjalanan yang lebih luas dan bukan tujuan akhir. Kita harus mengantisipasi dan mendukung kelanjutan kerja komisi itu dalam hal penanganan akuisisi kolonial lainnya, yang melampaui batas-batas wilayah Indonesia.

Diskusi-diskusi tersebut mencakup karya seni dari Nigeria dan koleksi Dubois, yang secara khusus mencakup tali kekang kuda Pangeran Diponegoro. Benda-benda tersebut menandakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, dan pemulangannya merupakan tindakan nyata untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan di masa lalu.

Namun, proses restitusi tidak boleh bersifat transaksional atau sekadar basa-basi. Proses itu harus menumbuhkan lingkungan kerja sama, dialog, dan saling pengertian. Seperti yang dinyatakan Direktur Rijksmuseum, Taco Dibbits, tindakan itu merupakan "langkah positif dalam kerja sama" dan berpotensi "menjadi fondasi yang kuat untuk masa depan".

Hal itu membuka jalan bagi hubungan internasional yang kuat berdasarkan rasa saling menghormati dan saling pengertian, yang dapat membantu kita mengatasi warisan kolonialisme yang rumit dan menyakitkan sekaligus memperkuat hubungan.

Kita mungkin bisa merayakan kemenangan ini untuk keadilan sejarah, tapi kita tidak boleh melupakan implikasi globalnya. Pengembalian artefak-artefak itu harus menjadi preseden bagi negara-negara bekas penjajah lainnya untuk memeriksa koleksi mereka dan menangani warisan kolonial mereka.

Sudah saatnya bagi setiap negara menghadapi masa lalu kolonialnya dan memulai langkah konkret menuju restitusi dan rekonsiliasi.

Bagi Indonesia, kembalinya harta karun itu menandakan kembalinya sebagian dari identitasnya yang pernah dicuri, sebuah kebangkitan dari narasi kita yang selama ini tertindas.

Namun, Indonesia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Indonesia mesti mengajak bangsa-bangsa lain untuk mengambil contoh dari Belanda dan memulai perjalanan mereka sendiri menuju restitusi.

Ketika Indonesia menerima artefak-artefak itu, Indonesia mengingat masa lalunya, lalu membayangkan masa depan yang lebih adil, dan menghormati tonggak penting dalam gerakan global menuju pertanggungjawaban kolonial dan keadilan sejarah.

Pengembalian Membuka Kesempatan untuk Maju

Pengembalian artefak-artefak era kolonial oleh Belanda merupakan simbolisasi pengembalian sejarah Indonesia yang sempat dirampas. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk maju di berbagai aspek.

Pertama, tanggung jawab Indonesia dalam mengelola artefak-artefak ini terletak pada konservasi dan kurasi. Artefak-artefak berharga yang dikembalikan harus dikurasi dan diawetkan dengan baik.

Dalam menjalankan tugas itu, Indonesia mungkin perlu bekerja sama dengan pihak profesional yang berpengalaman serta mitra dan institusi internasional. Melalui kerja sama ini, pertukaran pengetahuan dan keterampilan dapat terjadi.

Kedua, artefak-artefak itu memiliki potensi besar dalam bidang edukasi. Warisan budaya yang mewakili sejarah bangsa yang kaya ini dapat menjadi media pembelajaran yang efektif.

Baca juga: Perbedaan Fosil dan Artefak

Berdasarkan artefak-artefak itu, sekolah, museum, dan lembaga budaya lainnya dapat mengembangkan program untuk memperdalam pemahaman masyarakat tentang sejarah Indonesia dan konteks kolonialisme secara lebih luas.

Selain itu, pengembalian artefak-artefak itu juga memiliki dampak signifikan dalam diplomasi budaya. Hal itu memberikan Indonesia posisi unik untuk meningkatkan diplomasi budayanya di kancah internasional.

Cerita tentang harta karun itu, pengembaliannya, dan apa yang mereka simbolkan, menciptakan narasi yang dapat disampaikan Indonesia kepada dunia.

Restitusi itu juga menetapkan preseden hukum bagi Indonesia untuk menuntut pengembalian artefak-artefak budaya lainnya yang diambil selama era kolonial. Proses itu mungkin melibatkan negosiasi diplomatik, jalur hukum internasional, serta partisipasi dalam diskusi internasional tentang properti budaya dan restitusi.

Lebih jauh lagi, restitusi itu memberikan kesempatan untuk penyembuhan nasional. Itu adalah kesempatan untuk menghadapi sejarah kolonial dan melibatkan masyarakat dalam dialog yang mengakui ketidakadilan sejarah.

Akhirnya, artefak-artefak yang dikembalikan itu harus menjadi pusat penelitian dan studi ilmiah. Itu melibatkan dokumentasi, interpretasi, dan analisis komprehensif dari artefak-artefak tersebut untuk memahami lebih dalam tentang sejarah, budaya, dan masyarakat Indonesia.

Secara keseluruhan, pengembalian artefak era kolonial ke Indonesia lebih dari sekadar pengembalian benda-benda budaya. Hal itu menandai titik penting dalam upaya memperbaiki ketidakadilan sejarah dan menyeimbangkan kekuatan yang dipertahankan oleh kolonialisme.

Namun, restitusi itu bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan harus menjadi katalisator untuk aksi dan kerja sama lebih lanjut. Negara-negara lain perlu mengikuti langkah Belanda, memeriksa koleksinya, dan mulai melakukan restitusi dan rekonsiliasi.

Dengan tanggung jawab kuratorial, pendidikan, diplomasi budaya, tuntutan hukum, penyembuhan nasional, dan penelitian akademis, Indonesia dapat memanfaatkan restitusi itu untuk memperkuat hubungan internasional, memperdalam pemahaman historis, dan berkontribusi pada gerakan global menuju pertanggungjawaban penjajahan dan keadilan sejarah.

Pengembalian artefak-artefak itu merupakan titik balik dalam membangkitkan narasi Indonesia yang sempat terabaikan. Itu merupakan panggilan untuk masa depan yang lebih adil dan menghormati warisan sejarah serta berkomitmen untuk menanggulangi warisan kolonialisme.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi