Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Fenomena "Brain Drain" yang Dikaitkan dengan Perpindahan WNI ke Singapura

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ERICSSEN
Fenomena brain drain berkaitan dengan ribuan WNI pindah ke Singapura per tahun.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Dirjen Imigrasi Silmy Hakim menyinggung soal fenomena brain drain di tengah banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang pindah ke Singapura per tahunnya.

Menurutnya, WNI pindah ke Singapura patut diwaspadai sebagai alarm kemungkinan pelarian modal manusia atau brain drain.

Pasalnya, jumlah WNI yang pindah ke Singapura cukup banyak dan fakta bahwa mereka yang pindah merupakan warga intelek di usia yang masih produktif.

"Ini fenomenanya kan yang pindah itu adalah orang-orang produktif memiliki keahlian, expertise, dan talenta-talenta baik ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya ada di Indonesia? Itu kan menjadi PR bersama," ujarnya, dilansir dari Kompas.com, Kamis (14/7/2023).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelumnya, Silmy sempat mengatakan bahwa sebanyak 1.000 mahasiswa asal Indonesia yang berusia 25-35 tahun memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura per tahunnya.

Alasannya beragam, mulai dari kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik.

Lantas, apa itu brain drain?

Baca juga: WNI Ceritakan Alasan Pindah Jadi Warga Negara Singapura


Pengertian brain drain

Dihubungi Kompas.com, Jumat (12/7/2023), Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho menjelaskan, secara sederhana, brain drain adalah fenomena hengkangnya modal sumber daya manusia (SDM) dari satu negara ke negara lain.

Brain drain umumnya terjadi pada orang-orang cerdas dan pandai yang tidak kembali ke asalnya dan memilih untuk memutuskan menetap di negara lain.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono mengatakan, fenomena brain drain di Indonesia tidak hanya terjadi pada WNI yang memutuskan untuk menetap di Singapura, tetapi juga WNI yang tinggal di Amerika Serikat.

"(Mereka) yang memiliki kepandaian yang intelektual capitalnya itu tinggi itu justru memilih bekerja di negara lain bahkan menetap di negara lain," terang dia, saat dihubungi Kompas.com, Jumat.

Baca juga: Dirjen Imigrasi: 3.912 WNI Potensial Jadi WN Singapura Sepanjang 2019-2022

Penyebab fenomena brain drain

Lebih lanjut, Drajat menjelaskan bahwa fenomena brain drain bisa disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari pull factor (faktor penarik) dan push factor (faktor pendorong).

Menurutnya, keputusan WNI pindah ke Singapura disebabkan oleh adanya pull factor.

"(Mereka) lebih mudah terfasilitasi dan lebih dihargai. Ditambah lagi penghargaannya tinggi, gajinya tinggi. Kemudian tidak hanya dikasih gaji tapi fasilitas, seperti rumah, mobil disediakan, dan diberi posisi penting," jelas Drajat.

Faktor dorongan lainnya juga bisa diperoleh dari jaminan-jaminan masa depan yang diperoleh pada WNI.

Adapun push factor merupakan kebalikan dari pull factor.

Dalam hal ini, Drajat mengatakan bahwa pull factor WNI pindah ke Singapura didasari oleh keterbatasan kesempatan, peluang, dan penyediaan yang layak di Indonesia karena tingginya kompetisi yang terlalu besar.

"Selain kompetisi yang terlalu luas, juga ada persepsi yang sudah banyak berkembang bahwa untuk menempati posisi-posisi penting itu perlu jaringan sehingga menimbulkan kompetisi yang tidak pada kompetensi," tuturnya.

Kasus seperti ini terjadi pada lingkup kerja yang cenderung menerapkan nepotisme.

Faktor lain penyebab brain drain adalah minimnya pengakuan dan penghargaan terhadap pengembangan pendidikan dan inovasi seseorang.

"Pemikiran inovasi mereka itu di Indonesia dirasakan kurang. Dana riset kita secara nasional kecil. Sehingga support-support kepada masyarakat baik intelektual maupun masyarakat umum yang punya ide kreatif itu dirasakan masih kurang," jelasnya.

Baca juga: Dirjen Imigrasi: 1.000 Mahasiswa RI Jadi WN Singapura Per Tahun, Ada Tawaran Khusus

Sementara itu, Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho mengungkap, brain drain disebabkan oleh 3 faktor, yakni faktor politik, ekonomi, dan sosial. Berikut penjelasannya:

1. Faktor politik

Di Indonesia, brain brain akibat faktor politik juga sempat terjadi, yakni ketika Orde Baru mulai berkuasa.

"Para mahasiswa Indonesia di Uni Soviet memilih untuk tidak kembali ke Tanah Air, begitu pula terdapat gelombang intelektual Tanah Air yang lebih memilih pindah ke luar negeri ketika Orde Baru berkuasa, terutama berpindah ke Australia," terang Wahyu.

2. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi bisa disebabkan karena negara tujuan yang dinilai lebih mampu memberikan kesejahteraan dibandingkan negara asal.

"Contohnya banyaknya warga Meksiko yang berpindah ke Amerika Serikat, baik secara legal maupun illegal untuk penghidupan ekonomi, banyaknya warga dunia yang berpindah ke Australia karena Australia menjadi salah satu negara dengan upah minimum terbesar," kata Wahyu.

3. Faktor sosial

Faktor sosial datang dari lingkungan sosial dan jaminan sosial yang lebih baik.

"Sebagai misal, banyak orang tertarik berpindah ke Kanada karena karakter masyarakat mereka dinilai ramah, tidak se-individualis dan egois masyarakat Barat lainnya" ujar dia.

Di sisi lain, jaminan sosial di Kanada juga mencakup pendidikan, kesehatan, dan berbagai pelayanan publik lainnya dinilai menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Baca juga: [POPULER GLOBAL] WNI Ungkap Alasan Pindah Jadi Warga Negara Singapura | HP di Meja Kim Jong Un

Dampak brain drain

Tidak bisa dipungkiri, dampak brain drain bisa merugikan negara asal.

Pada kasus perpindahan WNI ke Singapura misalnya, Wahyu mengatakan bahwa dampak negatif bakal dirasakan Indonesia, di antaranya:

  1. Indonesia kehilangan atau kekurangan SDM berkualitas
  2. Jika brain drain berlangsung secara masif, bisa menghambat pembangunan suatu negara. Contohnya terjadi pada kasus Kuba.
  3. Memengaruhi citra Indonesia yang dianggap tidak mampu memfasilitasi dan memberikan penghidupan yang layak bagi SDM berkualitas di negara sendiri
  4. Terputusnya regenerasi intelektual Tanah Air karena para ilmuwan senior yang seharusnya bisa menjadi mentor bagi para ilmuwan junior justru menetap di negara lain.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi