Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Kebetulan Itu Ada atau Tidak?

Baca di App
Lihat Foto
DOK. PRIBADI
Jaya Supradi
Editor: Sandro Gatra

DI ANTARA para teori matematika, saya paling gamang menghadapi apa yang disebut sebagai teori probabilitas yang berani menghitung apa yang disebut sebagai kemungkinan, bahkan dilengkapi margin of error sebagai kedok untuk menutupi ketidak-pastian kebenaran penghitungan yang dalam suasana kecurangan mirip dalih cetirus paribus.

Secara pribadi saya gamang menghadapi teori probabilitas akibat kebetulan nasib ayah saya menjadi buta akibat operasi katarak yang dilakukan berdasar teori probabilitas.

Pada saat ayah saya mulai menderita katarak, saya percayakan operasinya kepada seorang profesor spesialis bedah mata yang telah sukses mengoperasi ribuan pasien katarak.

Dengan demikian, berdasar teori probabilitas memiliki kadar keberhasilan sekian ribu berbanding nol alias nihil alias dijamin pasti sukses.

Ternyata teori beda dari kenyataan sebab kebetulan ayah saya menjadi korban pertama sang profesor ahli bedah mata katarak yang sebelumnya belum pernah gagal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejak tragedi ayah saya kehilangan indera lihat pada satu mata itu, saya tidak lagi percaya pada teori kemungkinan dengan kedok margin of error-nya.

Pendek kata, saya sudah tidak percaya terhadap apa yang disebut sebagai kebetulan maka saya masuk ke dalam golongan kaum tidak percaya kebetulan.

Namun dalam tidak percaya kebetulan terus-terang saya menjadi ragu alias gamang juga.

Kebetulan sebagai pemercaya tidak ada kebetulan, berulang kali saya menghadapi berbagai peristiwa bersifat kebetulan.

Misalnya, pada 28 September 2016, kebetulan saya menyaksikan dengan mata di kepala saya sendiri betapa ratusan warga Bukit Duri kehilangan rumah atau lebih tepat disebut sebagai gubuk digusur oleh penggusur yang menurut Prof. Mahfud dan Prof. Laoly “secara sempurna melanggar hukum” sebab de facto maupun de jure tanah dan bangunan yang digusur kebetulan masih resmi dalam proses hukum di pengadilan negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jelas bahwa tanah dan bangunan milik warga Bukit Duri sebenarnya tidak boleh disentuh apalagi digusur pada saat sedang menjalani proses hukum.

Akibat kebetulan pada Mei 1998, saya sudah bermukim di Istana Sahid Apartment, Jakarta maka dari jendela rusun saya dengan mata di kepala saya sendiri menyaksikan betapa dahsyat gumpalan asap mengangkasa dari bangunan-bangunan yang dibakar oleh para huruharawan.

Pada saat itu asa saya putus atas keyakinan bahwa bangunan rusun yang saya huni juga akan menerima giliran dibakar habis oleh para huruharawan yang konon adalah kaum rasialis antiwarga keturunan China seperti saya, bahkan saya wajib segera menyelamatkan diri agar tidak dibantai oleh kaum perusuhan yang rasis itu.

Namun kebetulan nasib saya belum senahas seperti yang saya khawatirkan akibat kebetulan pemerintah meski terlambat namun segera mengerahkan segenap upaya untuk meredakan, bahkan menghentikan huru hara.

Kebetulan juga sahabat merangkap mahaguru lingkungan hidup saya, Prof Emil Salim menelpon saya untuk menanyakan nasib saya serta menghibur saya sambil menyarankan saya agar tidak keluar rumah.

Tak lama kemudian kebetulan teman dekat saya, Jusuf Ngadri yang orang Jawa didampingi seorang temannya yang orang Batak menghubungi saya demi mengungsikan saya ke kota Semarang di mana suasana masih lebih kondusif ketimbang Jakarta.

Kebetulan berdasar fakta bahwa yang nyata peduli dan nyata menyelamatkan saya kebetulan bukan sesama warga keturunan China, tetapi orang Padang, Jawa dan Batak.

Lalu kebetulan menurut laporan pejuang kemanusiaan, Sandyawan Sumardi (orang Jawa kelahiran Jeneponto, Sulsel) yang kebetulan ditugaskan oleh Presiden Habibie (orang Gorontalo) untuk bergabung ke Tim Pencari Fakta, kebetulan saya memperoleh informasi bahwa inti makna huruhara Mei 1998 pada hakikatnya bukan rasisme, namun lebih merupakan akibat keresahan frustrasi masyarakat akibat kebetulan memang terbukti jurang kesenjangan sosial makin melebar secara berkelanjutan.

Kebetulan dalam perjalanan waktu terbukti kepercayaan saya terombang-ambing akibat merasa dipermainkan antara percaya kebetulan atau kebetulan percaya kebetulan, maupun tidak percaya kebetulan atau kebetulan tidak percaya kebetulan.

Secara andaikatamologis jika saya tidak percaya toh saya tetap bisa dibilang bahwa kebetulan saya tidak percaya kebetulan, maka akhirnya untuk sementara ini kebetulan saya terpaksa ikhlas untuk mengaku bahwa saya percaya kebetulan.

Namun saya tetap menghormati mereka yang tidak percaya kebetulan, maka mohon yang beda kepercayaan atas kebetulan jangan memaksa saya untuk tidak percaya kebetulan selama kebetulan belum ada undang-undang yang memaksa warga Indonesia untuk tidak percaya kebetulan. MERDEKA!

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi