Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah dan Twibbon Hari Bakti TNI AU 29 Juli 2023

Baca di App
Lihat Foto
(Twitter/@bpnbdiy)
Sosok pelopor TNI AU yang gugur dalam peristiwa 29 Juli 1947 yaitu Komodor Muda Udara (Kolonel) Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara I (Lettu) Adisumarmo.
|
Editor: Farid Firdaus

KOMPAS.com - Hari Bakti Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) diperingati setiap tanggal 29 Juli.

Tahun ini, TNI AU akan memperingati Hari Bakti ke-76 yang jatuh pada Sabtu (29/7/2023).

Peringatan ini bertujuan untuk mengenang dua peristiwa penting, yaitu serangan udara TNI AU ke daerah pendudukan Belanda serta gugurnya tiga pelopor dan perintis TNI AU.

Dilansir situs resmi TNI AU, perayaan Hari Bakti ke-76 TNI AU tahun ini mengusung tema "Dengan semangat jiwa patriot Hari Bhakti 29 Juli 1947, TNI AU bertekad untuk semakin profesional, modern dan tangguh sebagai angkatan udara yang disegani di kawasan".

Untuk ikut serta merayakan Hari Bakti ke-76 TNI AU, Anda bisa menggunakan twibbon yang kemudian diunggah ke media sosial.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: 77 Tahun Kiprah TNI AU untuk Negeri dan Twibbon HUT TNI AU 2023

Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU 

Berikut ini twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU:

  1. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  2. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  3. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  4. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  5. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  6. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  7. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  8. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  9. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU
  10. Twibbon Hari Bhakti ke-76 TNI AU

Baca juga: Mengenal Struktur Organisasi Mabes TNI AU

Sejarah Hari Bakti TNI AU 

Dilansir dari laman TNI AU, sejarah Hari Bakti TNI AU berawal dari peristiwa yang terjadi pada 76 tahun yang lalu, tepatnya 29 Juli 1947.

Saat itu, ada dua peristiwa besar yang terjadi. Pertama, serangan udara TNI AU terhadap daerah pendudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang yang dilakukan oleh Kadet Penerbang Sutardjo Sigit, Suharmoko Harbani, dan Mulyono.

Mereka dibantu oleh tiga orang teknisi yang bertindak sebagai penembak udara, yaitu Sutardjo, Kaput, dan Dulrachman.

Serangan tersebut dilakukan menjelang subuh menggunakan dua pesawat, Churen dan sebuah Guntei.

Baca juga: Mengapa Pilot TNI AU Memakai Jam Tangan di Kanan, Bukan di Kiri?

Peristiwa kedua, yakni gugurnya tiga pelopor dan perintis TNI AU. Mereka adalah Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo.

Gugurnya ketiga pelopor TNI AU tersebut terjadi ketika pesawat Dakota VT-CLA yang dinaiki dan membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya ditembak oleh pesawat Belanda KItty-hawk dan terjatuh di Desa Ngoto, 3 km selatan Yogyakarta.

Kedua peristiwa besar tersebut bermula saat aksi Belanda yang mengingkari perjanjian Linggarjati pada 21 Juli 1947 dengan melakukan Agresi Militer Belanda I (AMB I).

Pada AMB I, Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap berbagai wilayah Indonesia, termasuk beberapa pangkalan udara di Jawa dan Sumatera Barat.

Kendati demikian, sasaran utama dari serangan Belanda ditujukan untuk Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta. Hal ini karena, pangkalan udara tersebut dianggap Belanda sebagai pusat kekuatan udara RI.

Baca juga: Hari Bakti TNI AU 29 Juli: Mengenang Sejarah 3 Sosok Pelopor TNI AU

Menimbulkan kemarahan bangsa Indonesia

AMB I Belanda tersebut akhirnya menimbulkan kemarahan bangsa Indonesia dan TNI AU. Selain karena Belanda menginkari Persetujuan Linggarjati, Belanda juga telah melanggar hukum perang.

Kemudian pada 28 Juli 1947 sekitar pukul 19.00, empat kadet penerbangan, seperti Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, Mulyono, dan Bambang Saptoadji diperintahkan menghadap Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.

Mereka dipanggil untuk merencanakan operasi udara yang ditujukan untuk menyerang kedudukan Belanda.

Pengeboman di tiga kota

Pada 29 Juli 1947 dini hari, pangkalan udara Maguwo digetarkan oleh deru pesawat yang akan melakukan serangan terhadap markas Belanda.

Kadet penerbang Sutardjo Sigit dan Suharnoko Harbani diperintahkan melakukan penyerangan ke Salatiga dan Ambarawa dengan menggunakan pesawat Churen yang diubah menjadi pesawat pengebom.

Pesawat tersebut dikemudikan oleh Suharnoko Harbani dan dilengkapi dengan senapan mesin dengan penembak udara Kaput. Sedangkan pesawat Sutardjo Sigit dilengkapi dengan bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo.

Kemudian Kadet Penerbang Mulyono diperintahkan untuk menyerang Semarang dengan menggunakan pesawat pengebom tukik ”Driver Bomber” Guntei berkekuatan 850 daya kuda.

Pesawat tersebut memiliki kecepatan 265 km/jam dan dilengkapi dengan bom 400 kg, serta dua senapan mesin di sayap dan dipasang di belakang penerbang. Adapun sebagai penembak udara, adalah Dulrachman.

Baca juga: HUT Ke-77 TNI AU: Tema, Logo, Sejarah, dan Link Download Twibbon-nya

Sementara itu, penerbangan oleh Kadet Penerbang Bambang Saptoadji yang menggunakan pesawat buru sergap Hayabusha terpaksa dibatalkan karena pesawat masih belum selesai diperbaiki.

Saat itu, ia seharusnya bertugas mengawal pesawat yang diawaki Kadet Penerbang Mulyono.

Ketiga pesawat berhasil melakukan pengeboman di 3 kota dan kembali dengan selamat ke Pangkalan Udara Maguwo sebelum pukul 6 pagi.

Serangan yang dilancarkan itu memiliki beberapa efek untuk bangsa Indonesia, yakni:

  1. Meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia dan emnambah rasa percaya diri.
  2. Aspek diplomasi yaitu pengakuan atas keberadaan dan kedaulatan NKRI di masyarakat dunia.
  3. Aspek militer yaitu keberadaan angkatan udara RI diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda.

Kemudian, untuk mengembalikan semangat tempur tersebut, Belanda melancarkan serangan balasan dan tidak lagi mengindahkan aturan perang.

Baca juga: Viral, Video Oknum Prajurit TNI AU di Bogor Diduga Lakukan Tindak Kekerasan

Serangan balasan Belanda

Serangan balasan Belanda dilakukan dengan menembak pesawat Dakota VT-CLA yang merupakan pesawat ”carteran” Republik Indonesia dari warga negara India, pada 28 Juli 2022 sore.

Pesawat tersebut dikemudikan oleh pilot Alexander Noel Contantine dibantu oleh copilot Roy Hazalhurst yang mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.

Saat roda mendarat keluar dari tempatnya, tiba-tiba muncul pesawat P-40 Kittyhawk Belanda yang menghadang dan menyerang dengan menembakkan peluru.

Pesawat yang berisi obat-obatan dan tidak dibekali persenjataan itu pun akhirnya oleng dan jatuh di Desa Ngoto, 3 kilometer sebelah selatan Yogyakarta. Badan pesawat patah menjadi dua dan bagian lain hancur berkeping-keping.

Dalam peristiwa itu, tiga orang gugur, yakni:

  1. Komodor Muda Udara Adisucipto.
  2. Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh.
  3. Opsir Muda Udara Adisumarmo.

Gugurnya tokoh-tokoh TNI AU saat itu menimbulkan duka mendalam karena tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan untuk membangun dan membesarkan Angkatan Udara.

Pengorbanan tokoh perintis TNI AU tersebut merupakan bukti dan bakti pengabdian yang diberikan TNI AU kepada bangsa dan negara.

Untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa gugurnya para tokoh dan perintis TNI AU ini, setiap 29 Juli diperingati sebagai ”Hari Berkabung” TNI AU sejak 1955.

Kemudian mulai 1962 diubah menjadi Hari Bakti TNI AU.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi