Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 26 Mar 2023

Pengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang, Lulusan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Hegemoni Google dan Perpres "Publisher Right"

Baca di App
Lihat Foto
canva.com
Ilustrasi berita. Apa yang dimaksud dengan teks berita bersifat faktual?
Editor: Sandro Gatra

FRASA atau kata “Mbah Google” atau “Googling” seringkali terlontar dari mulut kita atau muncul di pikiran kita, saat berhadapan dengan ketidaktahuan.

Google menjadi ‘dewa baru’ atas budaya instan masyarakat, khususnya kaum urban, yang ingin mencari tahu tentang apapun dan di manapun. Termasuk mencari berita.

Frasa atau kata tersebut sudah terinternalisasi dalam rutinitas masyarakat Indonesia. Sadar atau tidak sadar, yang pertama kali kita lihat ketika menghidupkan telepon seluler (ponsel) adalah layanan-layanan google, seperti Google Chrome, Youtube, Gmail dan Maps.

Google memang memberikan banyak layanan yang membantu aktivitas warganet Indonesia, secara cuma-cuma alias gratis.

Mulai dari pertemuan virtual gratis, email gratis, tempat penyimpanan data gratis, buat kuesioner gratis, pencari lokasi gratis, nonton video gratis, penerjemah semua bahasa secara gratis, hingga penyedia aplikasi ponsel Android gratis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semua gratis. Dan kebetulan, kita senang gratis. Google menjadi representasi gratis. Konsekuensinya, kita harus merelakan seluruh data aktivitas dari bangun tidur hingga tidur lagi, terekam di Google.

Semuanya kita berikan secara sukarela. Setelah itu, data-data tersebut dirapikan dan bisa diolah Google menjadi komersil. Proses ini tampaknya terjadi alamiah. Hingga menciptakan hegemoni Google di Indonesia.

Hegemoni Google juga merasuk hingga bidang jurnalistik. Google bahkan mengubah ritme kerja jurnalistik media massa di Indonesia.

Semua perusahaan media massa, khususnya media online berlomba-lomba memproduksi berita sesuai selera Google. Selera publik jadi nomor selanjutnya.

Google juga berhasil mengendalikan teknis peliputan dan penulisan berita di media online. Caranya dengan menciptakan narasi,“terindeks halaman pertama Google”.

Intervensi halus ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade di Indonesia. Tidak sampai di situ, Google juga berhasil menentukan agenda setting media online lewat Google Trends.

Berdasarkan observasi di beberapa media online, banyak proyeksi berita yang ditentukan redaksi media online, mengacu pada Google Trend.

Setiap pagi, redaksi akan melihat peristiwa atau isu yang lagi trending di Google. Setelah itu, media online tersebut akan melakukan produksi berita sesuai dengan peristiwa-peristiwa “trending” versi Google. Tujuannya, agar terindeks di halaman pertama Google.

Persoalannya, tidak ada media massa yang mengetahui persis, mekanisme menyusun algoritma Google, dalam menentukan isu yang sedang trending.

Terlepas dari itu harus diakui, kebanyakan media massa akhirnya tunduk terhadap algoritma yang ditentukan Google.

Google juga sukses menjadi situs agregator berita terbesar di Indonesia. Lewat notifikasi dari Google Chrome-nya di ponsel, Google sering mengirimkan tautan berita milik media massa.

Uniknya ketika kita klik tautan tersebut, kita tidak langsung terhubung ke website media massa tersebut. Justru, kita membaca berita tersebut di situs milik Google.

Coba saja klik tautan berita yang dikirim Google Chrome ke ponsel Anda. Atau coba cari topik berita yang Anda ingin baca melalui Google.

Maka akan muncul daftar konten hasil pencarian. Jika ingin membaca konten jenis berita, Anda tinggal memilih tab atau pilihan news/berita.

Posisi tab ini sejajar dengan image/gambar Video, Maps atau beberapa tab lainnya. Letaknya ada di bagian atas.

Ketika Anda klik salah satu berita, maka Anda akan diantarkan ke berita tersebut. Cuma, halaman situsnya adalah google.com/amp/. Bukan alamat situs media online yang memproduksi berita tersebut.

Masyarakat seringkali abai atas kondisi ini. Karena Google memunculkan tampilan yang sama dengan berita yang ada di website penerbit.

Sekilas tidak ada perbedaan isi konten berita. Hanya saja, temuan ini menunjukkan bahwa, banyak berita-berita yang diproduksi perusahaan media massa, justru dibaca warganet di Google.

Sementara berita yang dipublikasi langsung di website perusahaan medianya, tidak kebagian page view. Padahal, untuk memproduksi berita tersebut, perusahaan media massa mengeluarkan waktu, tenaga dan materi yang tidak sedikit.

Lalu kemudian, tanpa izin, Google mengambilnya dan menjajakannya di etalasenya. Ketika produk berita itu dikonsumsi masyarakat, tak ada kompensasi untuk produsennya, yaitu media massa.

Seringkali hegemoni disertai dominasi. Menurut Michel Foucault, dominasi merupakan bentuk kekuasaan atas sebuah kelompok, yang umumnya dilakukan secara terselubung. Tujuannya untuk menguasai kelompok tersebut.

Salah satu kelompok yang mungkin sudah dikuasai adalah media massa di Indonesia.

Selama bertahun-tahun, dominasi Google atas media massa berlangsung di Indonesia. Tanpa ada perlawanan dari Dewan Pers ataupun organisasi profesi.

Mungkin pembiaran, mungkin juga luput. Entah mereka sadar atau tidak atas dominasi ini. Yang pasti, kita menikmati dominasi ini.

Media massa tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebaliknya media massa menjadi korban, terjebak dengan sistem algoritma Google dan ketidakadilan penggunaan konten berita media massa.

Pemerintahan pun tampaknya baru tersadar dengan dominasi ini.

Pada 2020 lalu, tepatnya pada Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin, Pemerintah mulai mewacanakan pembuatan regulasi untuk membatasi dominasi Google, dan platform digital lainnya seperti platform agregator dan media sosial.

Pembahasan sempat berhenti karena muncul pandemi Covid-19 di Indonesia. Setelah pandemi reda, masuk ke fase endemi Covid-19, Pemerintah bersama pihak-pihak terkait, kembali membahas tentang aturan main yang membatasi dominasi Google atas media massa.

Draf aturannya sudah jadi. Rencana akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Judul Perpres-nya tentu, tidak frontal: melawan hegemoni Google. Bukan!

Judul Perpresnya dihaluskan, tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

Draf perpres ini sudah ada di meja Sekretariat Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet. Tinggal menunggu hasil kajian dari Istana dan tanda tangan Presiden Joko Widodo, jika disetujui.

Andai Presiden Jokowi meneken draf perpres tersebut, maka hegemoni platform digital, pun Google terhadap media massa, akan berkurang. Kemungkinan akan diikuti dengan kerutuhan hegemoni media sosial.

Semangat Perpres ini menciptakan ekosistem bisnis media massa yang sehat dan konten jurnalisme berkualitas.

Berdasarkan draf Perpres yang beredar, ada beberapa substansi yang diatur pemerintah. Pertama, platform digital tidak memfasilitasi berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ).

Teknisnya, masyarakat, Dewan Pers atau pihak terkait dapat melaporkan berita yang terindeks atau di-posting di platform digital yang melenceng dari KEJ dan UU Pers.

Maka itu, platform digital harus menyediakan sistem pelaporan. Jika melanggar kode etik dan Undang-Undang Pers, maka platform digital harus menghapus berita tersebut dari indeks pencarian mereka.

Substansi kedua, adalah bagi hasil dan pembayaran lisensi. Para perusahaan media massa harus mendapatkan kompensasi atas hak kepemilikan berita.

Berita-berita yang nongol di platform digital harus divaluasi dan dibagi hasil dengan media massa. Jika bersengketa, media massa dan platform digital bisa menyelesaikan dengan mediasi hingga arbitrase.

Substansi lainnya, yaitu pembentukan komite. Pengurusnya harus ganjil dan maksimal 11 orang. Terdiri dari Dewan Pers yang tidak terafiliasi dengan perusahaan media massa, pakar dan unsur pemerintah.

Untuk aturan yang lebih teknis, ditetapkan oleh Dewan Pers. Komite ini akan memelototi berita-berita yang diterbitkan dan terindeks di Google.

Agar Perpres ini bisa menjadi antihegemoni Google yang efektif, pemerintah dan media massa juga perlu berbenah.

Pemerintah harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang selama ini tidak selesai, yaitu penguatan literasi digital masyarakat.

Tingkat literasi digital Indonesia, menurut INDEF, masih di angka 62 persen. Di bawah rata-rata tingkat literasi digital ASEAN, 70 persen.

Sementara dari sisi media massa, setiap perusahaan media massa harus memperkuat kualitas Sumber Daya Manusia, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam produksi berita.

Jika ini bisa diwujudkan secara paralele, maka hegemoni Google dan platform digital lainnya, akan runtuh.

Tahapan selanjutnya yang harus disepakati oleh pemerintah dan media massa adalah, narasi penyensoran dan diskriminasi terhadap pluralitas berita. Kedua narasi ini seringkali dikaitkan dengan isu antidemokrasi.

Industri media massa perlu mengawasi agar praktik penyensoran dan diskriminasi terhadap pluralitas berita tidak terjadi.

Bisa saja ekses Perpres ini dimanfaatkan penumpang gelap, untuk mengganggu independensi media massa. Walaupun tak jarang, pengganggu independensi produksi berita juga bisa berasal dari internal media massa itu sendiri: pemilik perusahaan media.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi