KATA “bajingan” mendadak terkenal. Gara-gara dipakai Rocky Gerung untuk menyampaikan kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rocky Gerung lalu dipolisikan oleh sejumlah kalangan karena perkataan itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan arti kata “bajingan”: penjahat, pencopet; kurang ajar (kata makian).
KBBI merujuk kata dasar “bajing” (dari bahasa Jawa), sebutan lainnya adalah “tupai”, binatang pengunggis buah-buahan, berbulu halus, berwarna kuning atau coklat, hidup di atas pohon, melompat-lompat. Selain buah-buahan, bajing juga menyukai sayur-sayuran, seperti tomat, kol, terong, wortel, dan sebagainya.
Entah bagaimana manusia (versi KBBI) menilai bajing, sehingga menjadikannya dasar untuk kata makian, “bajingan”. Adakah sifat jahat dari bajing yang mengganggu manusia?
Bila soal makanan bajing sama dengan makanan manusia, buah-buahan dan sayur-sayuran, lalu manusia merasa makanannya dicuri bajing, bukankah naturnya begitu?
Kini bajing bernasib sial, karena dipakai dasar menyebut seseorang yang dikategorikan jahat sebagai ungkapan umpatan, makian, hinaan.
Di Jawa juga ada kata “bajingan” sebagai sebutan profesi. Menurut Balqis Fallahnda (Tirto.id), profesi bajingan telah dikenal sejak abad ke-16 pada era Mataram Islam. Ada dua versi profesi bajingan, keduanya berhubungan dengan gerobak sapi.
Pertama, bajingan merujuk kepada orang yang mengendalikan gerobak sapi. Jaya Suprana melalui kolom berjudul “Pesona Kirab Bajingan di Yogyakarta” (Kompas.com, 4/08/2023) mengusulkan konsep ini diakomodasi KBBI.
Alasannya bahwa kata “bajingan” sebagai pengemudi gerobak sapi tradisional kini sudah menjadi bagian melekat pada industri pariwisata budaya Nusantara.
Kedua, bajingan merujuk kepada pengawal yang dibayar untuk mengamankan barang para saudagar yang diangkut dengan menggunakan gerobak sapi.
Tak ada konotasi negatif pada kata “bajingan”. Menurut Balqis Fallahnda, konotasi negatif terjadi saat bajingan kerap terlambat.
Para bajingan juga terkadang tidak berperilaku baik. Mereka kerap melakukan kecurangan dengan cara mencuri sebagian barang yang mereka angkut. Muncullah umpatan “dasar bajingan” dari para juragan yang jengkel.
Konotasi negatif makin kuat ketika muncul kejahatan bernama “bajing loncat” yang kerap menjadi momok menakutkan di jalur lintasan angkutan. Kata “bajing loncat” dibentuk dari sifat bajing atau tupai yang melompat-lompat.
Masyarakat memang suka menggunakan kata-kata pada ranah binatang untuk mengumpat, memaki, menghina, merendahkan.
Selain bajing, binatang yang bernasib sial adalah anjing. KBBI juga memasukkan kata “asu” (dari bahasa Jawa) sebagai sebutan lain anjing. Barangkali karena anjing dianggap binatang yang punya konotasi jelek, suka menyalak, kotor, berliur, najis.
Kata “asu” dan “anjing” lalu sering pula digunakan untuk mengumpat, memaki, menghina.
Namun, sebagian masyarakat, terutama di Yogyakarta dan Solo, ternyata tidak bisa mengatakannya dengan tepat, apa adanya. Maunya mengumpat dengan kata “asu”, tapi yang terujarkan adalah “asem”. Bahasa batinnya mengatakan “asu”, bahasa lahirnya “asem”.
Dari ranah binatang bertransformasi ke ranah buah. Namun, bukan ranah buah yang menjadi rujukan. Kata “asem” diucapkan karena kemiripan bunyi dengan “asu”.
Begitu pula dengan kata “bajingan”. Sebagian masyarakat juga tidak mampu mengemukakan secara tepat. Maunya bilang “bajingan”, tapi yang keluar “bajigur”.
Bahasa batinnya “bajingan”, bahasa lahirnya “bajigur”. Ada transformasi dari ranah binatang ke ranah minuman. Kata “bajigur” diucapkan karena kemiripan bunyi dengan “bajingan”.
Transformasi bentuk tersebut terjadi karena etika kesantunan. Setiap masyarakat bahasa memiliki etika kesantunan, yang di antaranya berorientasi pada integrasi sosial.
Etika kesantunan pada umumnya mengacu pada aspek kepatutan berbahasa menurut budaya masyarakat.
Masyarakat Jawa, misalnya, mengacu pada sistem “ngoko-krama”. Kata “bajingan” dan “asu” berada pada tataran ngoko. Sementara kata “bajigur” dan “asem” berada pada tataran krama.
Etika kesantunan di antaranya mengatur mekanisme transformasi bentuk dan makna yang dianggap patut diujarkan.
Saat hubungan sosial antarpartisipan komunikasi berjarak, tak akrab dan gagal bertegur sapa, maka kata “bajingan” benar-benar bermakna makian, ungkapan kemarahan, yang cenderung merendahkan, menghina. Apalagi dalam situasi formal semacam pidato.
Namun, etika kesantunan sebenarnya dapat menjadi rujukan transformasi bentuk ujaran lain yang merefleksikan kepatutan secara budaya.
Kata “bajingan” tak akan dinilai menghina dan merendahkan saat hubungan sosial antarpartisipan tak berjarak, akrab, sukses bertegur sapa. Situasinya pun informal yang penuh canda. Berbahasa ternyata tak mudah dari sudut sosial dan budaya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.