Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya Pendidikan Iptek untuk Kendali Risiko Perubahan Iklim

Baca di App
Lihat Foto
Freepik/DejaVu Designs
Ilustrasi mencairnya es di kutub akibat perubahan iklim.
|
Editor: Egidius Patnistik

MAJALAH Time edisi tahun 1953 mengutip hasil riset ahli fisika Gilbert Norman Plass (22 Maret 1920 – 1 Maret 2004) asal Kanada tentang lonjakah karbon-dioksida (CO2) atmosferik global abad 20. Isinya, lonjakan konsentrasi CO2 dari sektor-sektor industri (emisi gas rumah kaca) di atmosfer berisiko meningkatkan rata-rata suhu panas planet Bumi.

“At its present rate of increase, the CO2 in the atmosphere will raise the earth's average temperature 1.5° Fahrenheit every 100 years …if man's industrial growth continues, the earth's climate will continue to grow warmer,” ungkap Plass (1953) ke Time edisi 25 Mei tahun 1953.

Plass membuat modeling komputer rinci tentang lapisan-lapisan atmosfer. Tapi, para pemimpin dunia saat itu tidak peduli pada hasil riset Plass.

Jauh sebelum perkiraan kenaikan suhu panas Bumi dari model komputer Plass, tahun 1800-an, Count F. Volney menulis laporan perjalanannya tahun 1800 dari zona Kentucky hingga utara New York di Amerika Serikat: “Rain follows the plough!”atau hujan ikut bajak. Yakni alih-fungsi hutan skala besar sepanjang sisi timur bagian Utara AS ke lahan pertanian! Meski tidak semua warga masyarakat setuju (Spencer, 2016).

Baca juga: Bumi Makin Panas, Akankah Planet Ini Bertahan Selamanya?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasil riset akhirnya menemukan bahwa tiap zona hutan ditebang, selalu disertai aliran sungai selalu berkurang. Hutan-hutan gundul memicu aliran air tanpa jeda dan longsor, serta curah hujan merosot tajam.

Saat itu, di Eropa lahir istilah baru ‘hutan lestari’ untuk sumber daya perang. Konsep itu mula-mula lahir dari karya von Carlowitz, Ketua Royal Mining Office Kerajaan Saxony (kini Jerman) tahun 1713.

Dalam karyanya Sylvicultura Oeconomica (Anweisung zur wilden Baumzucht), von Carlowitz menulis (1713:87), "... Kita memanfaatkan hutan dan merawatnya." Hutan-hutan, papar von Carlowitz, sama pentingnya dengan roti kita sehari-hari. Pesan rawat hutan seperti roti ini seakan tutup buku, ketika revolusi industri melanda Eropa dan Amerika Serikat. Unsur pemicunya ialah revolusi energi, khususnya batu-bara dan minyak.

Jelang akhir abad 19 M, Svante Arrhenius (1896), ilmuwan asal Swedia , membaca tanda-tanda risiko revolusi industri dan energi itu. Arrhenius merilis teori bahwa suhu planet Bumi ditentukan oleh gas karbon-dioksida (CO2). Maka ia menyimpulkan bahwa masa-masa datang, Bumi semakin panas karena lonjakan penggunaan bahan bakar batu bara.

Teori Svante Arrhenius akhirnya terbukti. Artikel Popular Mechanics Magazine edisi tahun 1912 merilis satu laporan tren suhu semakin panas di Amerika Serikat; teori Arrhenius disebut-sebut dapat menjelaskan kondisi itu (Bell, 2021:82-84).

Tata-dunia telah beralih dari bangunan dasar keragaman-hayati dengan ‘the holy trinity of spices’—lada, pala, cengkeh—ke minyak dan batu-bara sebagai barometer pasar global. Dunia pun mulai terseret dan terperangkap ke kapitalisme fosil skala global.

Organisasi metereologi dunia (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk panel ahli perubahan iklim antar-pemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change / IPCC) tahun 1988. IPCC adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berkantor di Jenewa, Swiss. Wakil sekitar 195 negara mengisi peran di IPCC dengan memilih biro ilmuwan tiap 6-7 tahun (IPCC, 2023).

Setelah 26 tahun sejak 1988, IPCC baru merilis kesimpulan penting dan ilmiah yakni pengaruh manusia adalah penyebab dominan dari pemanasan global tahun 1951-2010 (IPCC, 2014; IPCC, 2014). Artinya, riset, kajian, dan pengetahuan ilmiah sangat lambang melacak dan merespons perubahan iklim selama ini. Atau pendididikan gagal menyusun konsep, modul, silabus, dan kurikulum pendidikan iptek perubahan iklim.

Baca juga: Benarkah Grafik Sejarah Iklim Tunjukkan Penurunan Suhu Bumi?

Tahun 2019 ahli-ahli National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) baru sadar bahwa iklim Bumi mulai panas sejak akhir 1800-an, khususnya suhu-suhu anomai di planet Bumi. Atau sejak revolusi energi yang memicu revolusi industri di zona Eropa Barat atau jejak awal energi fosil terpateri ke dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik negara-negara Eropa Barat.

Tenaga air dan angin mulai ditinggalkan, sebab tidak dapat disimpan; batu-bara dan minyak mulai dominan. Kini transisi dari sistem energi fosil ke energi ramah-lingkungan tentu membutuhkan novelti atau penemuan iptek.

Risiko Perubahan Iklim

Kini sudah ada konsensus ilmiah melalui IPCC bahwa iklim sudah berubah ke arah kian panas yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan manusia. Bagaimana itu terjadi?

Teknologi dan politik telah mengubah cara kita produksi dan konsumsi energi selama 200 tahun terakhir. Begitu ungkap hasil riset dan kajian Vaclav Smil (2017) dan Govind Bhutada (2022). Sebelum Revolusi Industri hingga sekitar tahu 1850, manusia terutama bergantung pada biomassa untuk panas dan otot untuk energi kinetik.

Tahun 1859, minyak komersil pertama dari sumur dibor di Titusville, Pennsylvania, AS. Sejak tahun 1930, konsumsi batubara meningkat sebab pertumbuhan tenaga uap dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara khususnya di Eropa dan AS.

Baca juga: Dampak Perubahan Iklim, Otak Manusia Menyusut

Sejak tahun 1960-an, permintaan minyak melonjak tajam karena otomotif membutuhkan bensin sekitar 40 persen konsumsi energi global tahun 1970. Energi nuklir sejak akhir 1960, tidak mengubah kondisi ini, yakni tata-sosial ekonomi negara-negara bergantung pasokan minyak dan batu-bara.

Apa yang Bumi dan kita alami kini? Global Emisi Gas Rumah Kaca berdasarkan sektor dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa gas rumah kaca (GRK)/greenhouse gases (GHGs)—terutama emisi CO—meningkat super cepat akibat pertumbuhan global dan konsumsi sumber daya.

Data terbaru dari Climate Watch dan World Resources Institute tahun 2016, ketika total emisi global mencapai setara 49,4 miliar ton CO. Sekitar 73,2 persen emisi gas rumah kaca tahun 2016, tulis Iman Ghosh (2020) berasal dari sektor energi.

Di sisi lain, seruan para ahli agar para pemimpin negara-negara mengurangi emisi gas rumah kaca, seakan hanya ‘angin lalu’.  Begitu pula, ketika panel sekitar 300-an ahli-ahli IPCC bersikap tegas bahwa perubahan iklim akibat ulah-manusia (Mark, et al., 2021).

Namun, para pemimpin dunia seakan nyaman menikmati ‘titanic syndrom’ yakni risiko kapal Titanic asal Eropa ke AS tenggelam di laut Atlantik, karena tidak peduli pada peringatan dini ada bongkahan atau gunung es tepat di depan kapal Titanic tahun 1950-an.

Kini kira-kira separuh emisi CO2 akibat kegiatan manusia telah diserap oleh tanaman di daratan dan lautan. Namun, tanaman dan laut juga mulai tidak berdaya. Maka badai panas dan kekeringan melanda tanaman dan manusia di darat (IPCC, 2019:133,144).

Tanah serap karbon jumlah besar dan melepasnya saat Bumi memanas (Melillo et al., 2017). Laut jadi asam oleh serapan CO2 dan panas; sirkulasi air laut berubah; fitoplankton lebih sedikit serap karbon dari atmosfer (USGCRP, 2017:93-95).

Zona-zona ekosistem pesisir tentu sangat berisiko akibat perubahan iklim—khusus pemanasan global. Awal abad 21, lapor IPCC, kira-kira separuh lahan basah dunia telah sirna karena perubahan iklim dan kegiatan manusia lainnya.

Di sisi lain, spesies-spesies di darat sangat tertekan; bahkan banyak spesies sirna di darat, sebab tidak ada zona lolos; sedangkan hewan laut masih dapat memilih zona migrasi ke arah kutub.

Begitu hasil riset dan kajian Poloczanska et al. (2013) dan Lenoir et al. (2020). Umumnya para ahli sepakat bahwa perubahan iklim memunahkan banyak spesies khususnya di darat (Urban, 2015).

Risiko lain ialah rapuh daya-tahan pangan. Ini terlihat dari tren data tahun 1981 – 2010 yakni hasil jagung, gandum, dan kedelai mulai menurun di seluruh dunia (IPCC, 2019:451). Beberapa ahli memperkirakan bahwa masa datang, perubahan iklim mengurangi hasil tananaman di seluruh dunia (Zhao et al., 2017; IPCC, 2019:439).

Apa para pemimpin dunia mulai terusik oleh tren risiko-risiko ini? Sejauh ini, keadaannya adem-adem saja. Itu terlihat dari transisi sistem energi dari fosil ke energi ramah-lingkungan.

Bukti lain ialah sejak 1950-an, kekeringan dan glombang panas silih-berganti dan kian meningkat (USGCRP, 2017:415). Namun, para pemimpin dunia masih adem-adem saja. Misalnya, jurnal ilmiah Scientific American edisi 29 April 2014 dan Burke et al. (2017) merilis kejadian sangat basah atau kering (anomali) meningkat selama monsun di India dan Asia Timur. Namun, para pemimpin di zona-zona itu masih adem-adem saja.

Rosamund et al. (2020) merilis kondisi kritis kerusakan permanen ekosistem hutan hujan Amazon di Brasil dan terumbu karang. Namun, tidak terlihat langkah emergensi dari para pemimpin di zona ini.

Bahkan IPCC (2019:7) dan hasil riset Zeng et al. (2009) merilis peta perluasan gurun dan zona kering di wilayah subtropis akibat perubahan iklim. Namun, tidak tampak langkah darurat para pemimpin di zona-zona ini.

Bahkan telanjang di depan mata, permukaan laut global terus naik akibat cair glasial, lapisan es Greenland dan Antartika serta cairnya massa es kutub sekitar 252 giga ton per tahun. Kenaikan permukaan laut periode 1993-2020 naik rata-rata sekitar 3,3 ± 0,3 mm per tahun (WMO, 2021: 12).

Namun, banyak pihak berkelakar bahwa risiko itu hanya omong kosong. IPCC (2019:324) merilis perkiraan bahwa permukaan laut bakal naik sekitar 61–110 cm, jika emisi karbon dioksida sangat tinggi.

Iptek Perubahan Iklim

Pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) kendali perubahan iklim terutama berbasis ilmu-ilmu sistainabilitas (sciences of sustainability). Pengetahuan pokok dari jenis ilmu-ilmu ini ialah ilmu dan teknologi tanah, air, pohon atau flora, dan cahaya. Kini tiap negara perlu mengembangkan konsep, modul, silabus, dan kurikulum pendidikan ini.

Prinsip pokok dari iptek tersebut di atas, antara lain diajukan oleh Pring et al. (1999: 39-55; 151-177) ialah pelestarian semua aspek lingkungan hayat suatu negara, warisan sosial-ekonomi dan budayanya, dan penggunaan rasional sumber-sumber nonrenewables. Dalam hal ini, usaha-usaha penambangan dapat memicu risiko dan paradoks.

Alasannya, seluruh tahapan kegiatan pertambangan mineral memengaruhi setiap media lingkungan, seperti lahan, tanah, udara, air, flora dan fauna serta kesehatan manusia, keamanan manusia, pola hidup masyarakat sekitar pertambangan, survival budaya, tata-masyarakat, dan kesejahteraan ekonomi.

Negara adalah suatu sistem hayat. Tiap upaya membangun negara berkenaan dengan sistem hayat yakni tanah, air, flora, fauna, dan cahaya. Jika satu unsur rusak, maka unsur lain terpengaruh. Maka pendidikan harus dapat mengurai seluruh mata-rantai risiko dari upaya-upaya penambangan dan kendali risikonya.

Misalnya, para ahli menguraikan bahwa dampak penambangan tidak bersifat lokal, tetapi dampaknya dapat menembus batas suatu negara, perbatasan antara negara, dan lingkungan dunia (Wälde, 1993: 42; Warhurst, 1994: 135).

Tahapan eksplorasi seperti survei, pemetaan, pengeboran, dan lain-lain umumnya memicu risiko sosial, lingkungan, dan ekonomi. Sebab kegiatan ini mencakup pembabatan hutan dan vegetasi, pemindahan satwa liar, kematian satwa liar, dan perubahan bentuk tanah akibat pembuatan jalan, kamp, lubang, penggalian, dan lain-lain (Wälde, 1993: 43).

Maka kini muncul tren baru yakni penambangan di permukaan tanah (urban mining), dan tidak lagi bor dan menggali ke dalam perut Bumi. Ini tentu tugas iptek.

Di sisi lain, sejumlah ahli menawarkan pendekatan modal (capital approach) guna melahirkan pembangunan berkelanjutan. Misalnya, ahli ekonomi Aghion dan Howitt (1998) memandang peran sistem tata-kelola (governance) sebagai variabel independen terhadap keberhasilan strategi pembangunan berkelanjutan.

Sebab akumulasi kapital, seperti mesin, infrastruktur, keahlian atau pengetahuan, dan SDM, menghasilkan pertumbuhan berkelanjutan. Aghion dan Howitt (1998:23) menulis, “The growth of technology depends on economic decisions at least as much as does capital accumulation.”

Jika usul pendekatan kapital itu diterapkan dalam kebijakan dan pendidikan, maka mesti dimulai dari unsur inti tiap negara yakni (1) tanah-air sebagai pusat vegetasi, dan (2) manusia sebagai rakyat atau bangsa.

Perihal kedua unsur pokok modal tiap negara itu, Parkin et al. (2003:20) menulis bahwa di sinilah letak nilai strategis pendidikan guna kendali risiko perubahan iklim. Jika SDM rapuh, maka upaya kendali perubahan iklim juga tentu rapuh dan berisiko gagal. Maka kini tiba saatnya pemerintah dan rakyat tiap negara menyusun konsep, modul, silabus, dan kurikulum pendidikan tanah, air, pohon atau hutan, dan cahaya guna kendali perubahan iklim kini dan ke depan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi