Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Japan Airlines 123, Terombang-ambing dan Jatuh di Malam Liburan, Tewaskan 520 Orang

Baca di App
Lihat Foto
Twitter/@GerryS
Tangkapan layar twit soal tragedi JAL 123 pada 12 Agustus 1985
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Insiden Japan Airlines Penerbangan 123 atau JAL 123 merupakan salah satu kecelakaan pesawat tunggal paling mematikan dalam sejarah penerbangan.

Peristiwa kelam ini pun kembali diingat melalui unggahan Twitter ini, Sabtu (12/8/2023) siang.

"Salah satu foto yang paling mengerikan yang pernah saya lihat adalah foto ini dari 38 tahun yang lalu," tulis warganet.

Tampak dalam foto, sebuah pesawat terbang tengah berada di udara dengan kondisi ekor yang diberi tanda merah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Meskipun masih di SD saat itu tapi ngelihat foto ini sudah paham artinya apa bagi crew JAL123 dan penumpangnya, dan apa yang mereka alami di kejadian naas itu," kata pengunggah.

Hingga Minggu (13/8/2023) pagi, unggahan foto JAL 123 tersebut telah menuai lebih dari 1,3 juta tayangan, 17.600 suka, dan 2.400 twit ulang dari warganet.

Lantas, seperti apa gambaran kecelakaan JAL 123 sekitar 38 tahun lalu tersebut?

Baca juga: Cerita N47BA, Pesawat yang Terbang Saat Semua Awak Mungkin Sudah Mati


Insiden 7 tahun sebelum tragedi 12 Agustus 1985

JAL 123 jatuh di Gunung Takamagahara di Prefektur Gunma, sebelah barat laut Tokyo, Jepang, pada 12 Agustus 1985.

Dilansir dari laman Britannica, tragedi ini menewaskan 15 awak pesawat dan 505 dari 509 penumpang, termasuk aktor dan penyanyi Kyu Sakamoto.

Sesuai jenisnya, Boeing 747-100SR, maskapai Jepang menggunakan pesawat ini untuk melayani penerbangan jarak pendek atau domestik.

Berusia 11 tahun, pesawat yang terdaftar sebagai JA8119 ini sempat mengalami kecelakaan kecil sebelum nahas pada Agustus 1985.

Kisah kelam JAL 123 sebenarnya telah terjadi tujuh tahun sebelum insiden paling mematikan dalam sejarah penerbangan terjadi, seperti menurut laporan Aero Time.

Kala itu, pada 2 Juni 1978, pesawat yang sama beroperasi dengan Japan Airlines Penerbangan 115 dari Tokyo tengah mendekati Osaka.

Tak mulus, pesawat terpental dengan keras saat mendarat. Di saat bersamaan, pilot secara berlebihan menarik kembali kolom kendali, sehingga mengakibatkan serangan ekor yang parah.

Insiden tersebut menyebabkan 25 penumpang terluka. Meski mengalami kerusakan, Boeing 747 diperbaiki dan kembali beroperasi melayani penerbangan domestik.

Sejak itu, pesawat Boeing 747 terbang tanpa kesalahan, hingga tujuh tahun kemudian "musnah" bersama ratusan orang di dalamnya.

Malam liburan mengenaskan

Berangkat dari Bandara Haneda Tokyo pada pukul 18.12 waktu setempat, JAL 123 dijadwalkan mendarat di Osaka satu jam kemudian.

Kala itu, bertepatan dengan malam liburan Bon Odori, salah satu tradisi musim panas Jepang. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang pergi berlibur atau pulang ke kampung halaman.

Pesawat telah meninggalkan wilayah udara Tokyo dan berada di ketinggian 24.000 kaki atau 7.300 meter saat tiba-tiba panggilan darurat pertama datang dari pilot.

Semula, pilot melaporkan telah kehilangan ketinggian dan kesulitan mengendalikan pesawat. Beberapa saat kemudian, pesawat terjun ke ketinggian sekitar 10.000 kaki atau 3.000 meter.

Pesawat mengalami dekompresi atau tekanan udara di dalam kabin berkurang secara tiba-tiba. Kondisi ini menyebabkan langit-langit kabin runtuh dan bagian belakang pesawat rusak.

Dekompresi juga telah memutuskan keempat sistem hidraulis yang digunakan untuk menggerakkan kontrol penerbangan, serta stabiliser vertikal.

Baca juga: Cerita 4 Anak Korban Kecelakaan Pesawat, Terlunta-lunta Selama 40 Hari di Hutan Amazon Kolombia

30 menit terbang tanpa kendali

Kerusakan sistem hidraulis dan stabiliser vertikal mengakibatkan pesawat melayang-layang tak terkendali selama sekitar 30 menit.

Di tengah suasana genting, awak pesawat mengirimkan sinyal marabahaya ke kontrol lalu lintas udara Tokyo dan mulai berjuang untuk mengendalikan Boeing 747.

Beberapa korban juga mulai menulis surat perpisahan untuk keluarga mereka.

Menjawab sinyal, pilot diberi vektor radar untuk mengikuti pendaratan darurat. Namun, tanpa hidraulis dan stabiliser vertikal, pesawat hampir tidak dapat dikendalikan.

Pesawat mencoba mendaki, tetapi dalam waktu sekitar 90 detik terus turun hingga ketinggian 4.000 kaki atau 1.200 meter.

Awak pesawat mati-matian menggunakan sejumlah teknik untuk kembali mengendalikan dan menstabilkan pesawat.

Sebenarnya, pilot berusaha mencari tempat mendarat darurat, yakni Bandara Haneda di Tokyo, tempat pesawat ini lepas landas.

Namun, kondisi yang semakin tidak terkendali membuat pilot mencoba menerbangkan pesawat menuju pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Yokota.

Sebagai persiapan, awak pesawat menurunkan roda pendaratan serta memperpanjang flap atau bagian tepi belakang pesawat.

Kendati demikian, hal itu justru menyebabkan pesawat semakin tidak seimbang, dengan posisi hidung pesawat turun dan miring ke kanan.

Pada pukul 18.56 waktu setempat, pesawat yang telah hilang kontak dengan radar ini tiba-tiba membelok 40 derajat dan menabrak pepohonan di lereng gunung.

Beberapa saat kemudian, sekitar 45 menit setelah lepas landas, sayap kanan memotong punggung bukit, mematahkan pesawat hingga berhenti di antara dua punggung bukit.

Baca juga: NASA Hilang Kontak dengan Voyager 2, Pesawat Antariksa yang Berhasil Jelajahi Ujung Tata Surya

520 dari 524 orang meninggal

Insiden nahas itu menyebabkan 520 orang di dalam pesawat meninggal dunia, dengan empat orang wanita selamat.

Saat kejadian, sebenarnya beberapa korban sempat selamat. Akan tetapi, nyawa mereka tak tertolong saat menunggu datangnya tim penyelamat.

Sekitar 14 jam kemudian, kru penyelamat darurat baru mencapai lokasi dan menerjunkan pasukan dari helikopter.

Sementara itu, setelah kecelakaan, Komisi Penyelidik Kecelakaan Pesawat dan Kereta Api Jepang kembali mengungkit fakta bahwa ekor pesawat Boeing 747 pernah tersenggol pada 2 Juni 1978.

Dikutip dari Kompas.com, ekor pesawat kemudian diperbaiki dengan tidak sempurna oleh teknisi Boeing dan JAL.

Perbaikan kurang sempurna itu menyebabkan berkurangnya kemampuan penyekat bertekanan bagian belakang dalam menahan beban tekanan selama penerbangan.

Kondisi tersebut pun mengakibatkan kelelahan logam yang berujung pada kecelakaan.

Pasca-kecelakaan, Presiden JAL Yasumoto Takagi memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Sedangkan di Haneda, seorang manajer perawatan JAL bunuh diri akibat tidak kuat menanggung rasa malu dan rasa bersalah kepada perusahaan.

Berbanding terbalik, banyak ahli penerbangan memuji kemampuan pilot karena mampu menahan pesawat rusak di udara selama hampir setengah jam setelah melaporkan kesulitan.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi