Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Hujan Abu Tipis di Yogyakarta, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Baca di App
Lihat Foto
Tangkapan layar akun @yogik_anwr
Hujan abu tipis di Sleman, Yogyakarta.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Unggahan video hujan abu tipis di wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (25/8/2023) pukul 06.00 WIB beredar di media sosial TikTok.

Video itu diunggah oleh Yogi Anwar (31).

"Hujan abu tipis, kabut di area dekat Pasar Sleman. Hati-hati dan gunakan masker," ucapnya.

Saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (26/8/2023), Yogi membenarkan bahwa video itu diunggah oleh dirinya sendiri.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ramai soal Muncul Awan Lentikular Saat Merapi Erupsi, Apa Itu?

Dia mengatakan, kabut pada pagi hari itu memang cukup tebal.

"Tapi entah abu atau bukan. Tetapi beberapa orang bilang ada abu, tapi sangat tipis sekali," tuturnya.

Yogi mengatakan, saaa fenomena terjadi, udara terasa cukup dingin dan berkabut tebal.

Namun, pada Sabtu pagi, kabut tebal itu tidak muncul lagi.

"Hari ini tidak terjadi lagi kabut tebal, cuma kemarin pagi di beberapa wilayah. Kalau hari ini sudah normal," kata dia.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gunung Kelud Meletus, Hujan Abu Lumpuhkan Jawa

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

BPPTKG: kabut akibat kemarau

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso mengatakan bahwa pihaknya mendapat banyak pertanyaan soal fenomena hujan abu tipis di sejumlah wilayah.

Namun, dia memastikan bahwa fenomena itu bukan hujan abu.

"Jogja (Yogyakarta) hingga Purworejo terpantau kabut seperti hujan abu. Namun sebenarnya hanya kabut akibat kemarau," terang dia kepada Kompas.com, Sabtu.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, kondisi gelap pada pagi hari yang terjadi di beberapa tempat itu kemunkinan disebabkan karena faktor cuaca dan debu.

Adapun aktivitas Gunung Merapi pada Jumat (25/8/2023) menunjukkan bahwa terpantau jelas dan asap kawah tidak teramati.

Baca juga: Mengapa Oro-oro Kesongo Erupsi, dan Akankah seperti Lumpur Lapindo?

Pantauan BPPTKG menunjukkan, Gunung Merapi mengalami 21 kali guguran lava dengan jarak luncur maksimum 2.000 meter ke arah Barat Daya (Kali Bebeng).

Terdengar juga 3 kali suara guguran dengan intensitas kecil hingga sedang dari Pos Babadan.

Sedangkan secara meteorologi, cuaca berawan dan mendung.

"Angin bertiup tenang ke arah barat,timur. Suhu udara 15.4-30 derajat Celsius, kelembaban udara 49-99 persen, dan tekanan udara 873-917.3 mmHg," tulis laporan Gunung Merapi, Jumat.

Adapun status Gunung Merapi masih berada di Level III (Siaga).

Baca juga: Erupsi Gunung Merapi Disertai Hujan Abu Vulkanik, Bahayakah untuk Tanaman?

Imbauan BPPTKG

Terkait aktivitas Gunung Merapi, BPPTKG mengeluarkan beberapa rekomendasi, di antaranya:

  1. Potensi bahaya saat ini berupa guguran lava dan awan panas pada sektor selatan-barat daya meliputi Sungai Boyong sejauh maksimal 5 km, Sungai Bedog, Krasak, Bebeng sejauh maksimal 7 km. Pada sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal 3 km dan Sungai Gendol 5 km. Sedangkan lontaran material vulkanik bila terjadi letusan eksplosif dapat menjangkau radius 3 km dari puncak.
  2. Masyarakat agar tidak melakukan kegiatan apapun di daerah potensi bahaya.
  3. Masyarakat agar mengantisipasi gangguan akibat abu vulkanik dari erupsi Gunung Merapi serta mewaspadai bahaya lahar terutama saat terjadi hujan di seputar G. Merapi.
  4. Jika terjadi perubahan aktivitas yang signifikan, maka status aktivitas Gunung Merapi akan segera ditinjau kembali.

Baca juga: Stasiun Yogyakarta Kini Punya Underpass, Apa Fasilitasnya?

Kabut saat musim kemarau

Sementara itu, Kepala Stasiun Meteorologi BMKG Yogyakarta Warjono mengatakan bahwa kabut tebal di Yogyakarta masih terjadi belakangan ini.

"Iya (kabut tebal memang masih ada). Kabut udara dengan kelembaban tinggi," ujarnya terpisah.

Menurutnya, enomena kabut tebal tersebut juga kerap muncul di musim kemarau.

"Iya (kabut) muncul di musim kemarau," katanya lagi.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kabut Beracun Tewaskan 12.000 Orang di London

Menurut Warjono, kabut umumnya terjadi karena suhu dingin yang diikuti dengan kelembapan permukaan yang tinggi.

"Sehingga terjadi kondensasi berupa pembentukan butiran air di udara yang mengambang," jelas dia.

Namun, kabut itu perlahan akan hilang menjelang siang seiring meningkatnya suhu udara permukaan di wilayah tersebut.

Warjono mengimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati ketika berkendara di tengah kabut pagi itu.

"Hati-hati berkerndara saat kabut, kurangnya jarak pandang terutama saat pagi hari," tandas dia.

Baca juga: Mengenal Petrichor, Aroma yang Ditimbulkan Saat Hujan Turun

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi