Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal "Live Streaming" di Pinggir Jalan di China, Ini Kata Sosiolog

Baca di App
Lihat Foto
AFP
Fenomena live di luar ruangan bernyanyi dan mengobrol dengan penonton melalui ponsel mereka di jembatan layang di Guilin, provinsi Guangxi, pada hari Senin. Gambar
|
Editor: Farid Firdaus

KOMPAS.com - Fenomena live streaming di pinggir jalan marak dijumpai di China. 

Saat live, para live streamer atau penyiar bisa unjuk kebolehan, mulai dari bernyanyi, bermain game, hingga berjualan. 

Bahkan, live streaming tidak hanya dimanfaatkan untuk menampilkan kebolehan, tapi sudah menjadi pekerjaan sampingan atau side job.

Dilansir dari Kompas.com, Selasa (29/8/2023), penyiar di China rela kedinginan di tengah gelapnya malam demi menghibur pemirsa dan mendapatkan uang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena tersebut dapat dijumpai di Guilin, kota yang berada di timur laut China.

Salah satu penyiar bernama Qiao (27) mengaku biasa berbicara soal kehidupan sehari-hari saat siaran di luar ruangan dari pukul 21.00 hingga 03.00.

Menurutnya, melakukan siaran di luar ruangan bisa membuat pemirsa tersentuh. Dengan begitu, pemirsa yang merasa iba memberikan donasi kepada penyiar.

Baca juga: Sosok Jhon LBF yang Dimintai Uang Rp 200 Juta oleh Pemilik Akun Mandi Lumpur

Siaran mandi lumpur di Indonesia

Fenomena live streaming di luar ruangan seperti dilakukan warga China agaknya dapat ditemukan di Indonesia beberapa waktu lalu ketika masyarakat dibuat geram dengan siaran mandi lumpur.

Hal tersebut pernah dilakukan pemilik akun TikTok @intan_komalasari92 yang mengunggah video mandi lumpur dengan talent atau pemeran yang sudah lanjut usia (lansia).

Dilansir dari Kompas.com, Kamis (19/1/2023), ia bersama suaminya bisa mendapat penghasilan ratusan ribu sampai jutaan rupiah dari live mandi lumpur.

Layar Sari (55) yang pernah menjadi pemeran mandi lumpur di konten Intan juga mengungkapkan, pendapatan dari siaran ini bisa mencapai Rp 9 juta dalam 9 kali siaran.

"Kita cepat dapat uang daripada nyangkul di sawah, nyabit, kita di sini hanya mandi-mandi dapat uang," ujar Sari.

Pendapatan yang diraih secara instan dari live di media sosial tersebut tentu membuat sebagian orang tergiur.

Namun, hal itu dipandang sosiolog sebagai hal yang berbahaya.

Lantas, apa alasannya?

Baca juga: Fenomena Mengemis Online di TikTok, dari Berendam hingga Mandi Lumpur

Penjelasan pakar Unair

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto mengatakan, fenomena siaran di tengah malam demi meraup cuan seperti terjadi di China dapat terjadi di Indonesia.

Hal tersebut dapat terjadi karena global village atau fenomena globalisasi pada masa kini bisa menularkan fenomena yang terjadi di China ke Indonesia.

"Bukan soal uang yang dikejar, tapi eksistensi diri di media sosial," kata Bagong saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

Menurutnya, dengan fenomena live streaming, penyiar berusaha menunjukkan identitas sosialnya.

Ia menjelaskan, hal itu terjadi sebagai bagian dari konsekuensi perubahan masyarakat yang terjebak pengaruh media sosial.

"Ini berkaitan dengan gaya hidup. Perilaku imitatif cenderung muncul pada masyarakat konsumer yang dikendalikan libido atau hasrat untuk tampil di hadapan publik," ujarnya.

Baca juga: Ramai Fenomena Citayam Fashion Week, Ini Penjelasan Sosiolog

Munculnya praktik kapitalisme

Terpisah, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Abe Widyanta menyampaikan, fenomena live streaming di China berpeluang melahirkan berbagai praktik sporadis yang membuat kehebohan dan tren sesaat.

Hal seperti itu, kata Widyanta, merupakan salah satu ciri masyarakat siber karena perkembangan teknologi.

"Berpeluang saja (menyebar ke Indonesia), bahkan mungkin sudah mendahului dalam konteks Indonesia. Yang trending beberapa waktu lalu tentang mandi lumpur atau (Citayam) Fashion Week," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

Meski begitu, munculnya tren orang untuk eksis di media sosial agar mendapat uang dapat dimanfaatkan oleh kapitalis untuk meraup untung.

Caranya, mereka bekerja sama dengan para penyiar dengan jumlah follower atau pengikut yang banyak untuk melahirkan banyak konsumen supaya produknya dicermati.

"Jadi, ini bagian dari rantai kapitalisme yang menjalin bagaimana streamer atau berkaitan dengan orang-orang yang melakukan streaming itu," jelas Widyanta.

"Yang kemudian mereka melakukan apa pun sejauh itu membikin sensasi atau menguras berbagai donasi orang. Apakah itu melalui rasa iba, melalui kebiasaan yang membuat orang terpukau agar memberikan donasi," sambungnya.

Baca juga: Mengapa Masih Ada yang Menjarah Muatan Truk yang Terguling Kecelakaan?

Perlunya literasi digital

Lebih lanjut, Widyanta mengingatkan bahaya dari instannya memperoleh pendapatan dari live streaming terhadap mentalitas.

Ia mengatakan, live streaming memang bisa menjadi ladang penghasilan, namun hal ini membuat sebagian orang tak lagi memandang pendidikan sebagai sesuatu yang penting.

Mentalitas yang serba instan juga menempatkan uang sebagai "tuhan" dan dijadikan patokan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hal yang penting.

"Mentalitas yangg instan mentalitas yang palsu tanpa adanya daya kritis," tutur Widyanta.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi