Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pengamat Hukum Teknologi dan Business Digital
Bergabung sejak: 27 Agu 2023

SGM Telkom Corporate University - Dosen Hukum Telematika di Universitas Pelita Harapan

Perlunya "Transformative Law" untuk Mengantisipasi "Artificial Intelligence"

Baca di App
Lihat Foto
Freepik/rawpixel
ilustrasi artificial intelligence
Editor: Sandro Gatra

AKHIR-akhir ini, Artificial Intelligence (AI) tengah menjadi perbincangan luas di seluruh belahan dunia.

Bila tahun lalu masyarakat dunia sempat dikejutkan dengan rencana dari Meta (sebelumnya bernama Facebook) untuk membangun Metaverse yang memanfaatkan teknologi tiga dimensi (3D) didukung teknologi lainnya seperti data analytic dan blockchain, maka tahun ini dunia dibuat tercengang sekaligus khawatir dengan semakin meluasnya penggunaan dan perkembangan AI yang sudah memiliki kemampuan "generative AI".

Seperti biasanya, bila ada sesuatu yang baru dalam bidang teknologi, euforia muncul. Mulai dari hal-hal lucu seperti memprediksi wajah seseorang saat sudah tua nanti hingga hal-hal yang cukup serius seperti synthetic medical images yang berguna dalam penelitian medis.

Salah satu hype terhadap AI adalah tambahan investasi sebesar 10 miliar dollar AS dari Microsoft, perusahaan raksaksa teknologi (tech giant) untuk OpenAI, perusahaan start up yang bergerak dalam pengembangan AI.

Di balik harapan terhadap potensi dari AI, muncul juga sejumlah kekhawatiran. Film-film sci-fi yang sudah muncul sejak beberapa dekade lalu, seakan mulai menjadi kenyataan dan sekaligus memperingatkan kita agar lebih berhati-hati dengan teknologi AI.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah satu pertanyaan besar terkait AI adalah, akankah AI menjadi lebih pintar dari manusia dan kapan hal itu akan terjadi?

Konsep yang kemudian disebut dengan singularity ini dipopulerkan tahun 1993 oleh Vernor Vinge, seorang ahli matematika dan ilmu komputer. Ia memprediksi AI akan menyamai kecerdasan manusia pada 2030.

Sementara itu, futurist dan ahli komputer Ray Kurzweil memprediksi bahwa singularity baru akan terjadi pada 2045.

Perbedaan perkiraan waktu ini disebabkan berbagai aspek seperti perkembangan teknologi khususnya teknologi komputasi itu sendiri, termasuk hardware dan software-nya, perkembangan riset di bidang-bidang terkait AI, pemahaman terhadap AI, serta aspek-aspek lainnya seperti penerimaan dari masyarakat dan regulasi.

Fenomena "AI singularity" di mana AI sudah mencapai tahap "super AI" menimbulkan pro dan kontra dari para ahli.

Sebagian menanggapi positif bahwa singularity akan mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sebagian lainnya juga menentang perkembangan AI karena kekhawatiran bahwa AI menjadi tidak terkendali dan hilangnya identitas manusia.

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, para ahli sepakat bahwa "AI singularity" merupakan peristiwa yang complex dan uncertain.

Tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk memprediksinya dan ada banyak perspektif mengenai implikasi dari singularity terhadap kehidupan manusia.

Kondisi future event dari "AI singularity" yang rumit dan penuh ketidakpastian perlu diantisipasi secara hukum dengan menggunakan pendekatan transformative law atau hukum transformatif.

Dalam kacamata hukum, terdapat dua fungsi utama, yaitu menjunjung tinggi ekspektasi normatif dan mentransformasi fenomena sosial.

Artinya hukum merupakan alat untuk mempertahankan tatanan sosial yang sudah baik dan sekaligus alat mengubah tatanan tersebut apabila terdapat potensi atau kemungkinan bahwa tatanan tersebut bisa menjadi rusak atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi.

Dalam kaitannya dengan tatanan sosial tersebut, terdapat dua jenis kajian hukum yang biasa digunakan, yaitu responsive law dan progressive law.

Responsive law dikembangkan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick yang menekankan pada kemampuan hukum untuk beradaptasi terhadap perubahan sosial.

Sedangkan progressive law dikembangkan oleh Sadjipto Rahardjo yang menekankan pada peranan hukum dalam perubahan tatanan sosial menjadi lebih adil.

Sepintas, responsive law lebih mengarah pada mempertahankan tatanan sosial yang sudah baik. Sedangkan progressive law lebih mengarah pada memperbaiki tatanan yang sudah ada.

Lalu di mana posisi transformative law dan hubungannya dengan AI?

Hukum transformatif

Transformative law merupakan pendekatan hukum yang bertujuan mendorong perubahan sosial sebagai upaya perbaikan terhadap sistem yang tidak seimbang dan tidak adil melalui reformasi hukum dan strategi litigasi.

Dibandingkan ke-dua pendekatan sebelumnya, transformative law mengambil posisi yang lebih directive sesuai tujuan dari transformasi tersebut. Pendekatan transformative law bisa sangat “provokatif” terhadap tatanan hukum yang sudah ada.

Mengapa transformative law bisa jadi diperlukan seandainya "AI singularity" benar-benar terjadi?

Jawabannya sederhana: selama ini, hukum mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, sedangkan dengan kehadiran super AI, terdapat entitas lain, yang bisa jadi lebih unggul dari manusia dan memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang selama ini tidak mampu dilakukan oleh manusia.

Dalam film-film sci-fi, situasi seperti ini pada akhirnya membutuhkan pengambilalihan kendali secara paksa terhadap mesin AI seperti diceritakan dalam film Mission Impossible terbaru, Dead Reckoning.

Namun tentunya upaya seperti itu bisa jadi sudah terlambat dan terlanjur memakan banyak korban.

Cara yang lebih baik adalah dengan mengantisipasi beberapa langkah di depan melalui pendekatan hukum, bukan secara responsive ataupun progressive, tapi secara transformative.

Dalam pandangan transformative law, kondisi ideal yang dicita-citakan sebaiknya terlebih dahulu ditentukan agar pengaturan hukum yang dilakukan berada dalam kerangka tujuan transformasi tersebut.

Jadi transformative law mengajak kita untuk berangkat dari titik akhir atau kondisi masa mendatang. Hal ini agak berbeda dengan responsive maupun progressive law yang berangkat dari titik awal atau kondisi saat ini.

Dengan demikian, maka suatu hal yang belum terjadi, tetapi memiliki potensi merugikan pada masa mendatang, bisa diatur aspek-aspek yang terkait dengan hal tersebut sejak saat ini.

Hukum memang tidak bisa mengatur komputer atau mesin. Namun, hukum bisa mengatur manusia yang menciptakan atau membangun komputer atau mesin tersebut dari sekarang.

Tentunya bukan dengan melarang sama sekali penciptaan ataupun penggunaan AI karena banyak sekali manfaat yang dihasilkan AI. Melainkan, aspek-aspek yang perlu diatur dalam pembuatan AI haruslah diatur oleh hukum dalam kerangka transformasi.

Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan semua program AI yang berpotensi mencapai tahap singularity agar mampu menerapkan standar moral dan etika pada saat membuat rekomendasi ataupun keputusan.

Hal ini secara teknis sangat dimungkinkan, tinggal bagaimana regulasi dan pengawasannya dijalankan.

Contoh, untuk kendaraan tanpa pengemudi (self-driving vehicle) atau mobil otonom, maka AI bisa disiapkan untuk membuat keputusan yang etis (ethical decision) pada saat menghadapi situasi kritis.

Misalnya, pada saat kendaraan melaju kencang, bila tiba-tiba fungsi pengereman mengalami kendala sehingga kendaraan tidak bisa dihentikan, maka AI akan memutuskan akan banting kemudi atau “menabrakkan” kendaraan ke arah yang berpotensi meminimalkan jumlah korban.

Tentu saja kondisi yang tidak ekstrem (kondisi yang tidak melibatkan keselamatan nyawa manusia) pun perlu menerapkan faktor etika pada program-program AI.

Contoh lain, pada saat AI merekomendasikan rute perjalanan, selain hal-hal menyenangkan yang bisa dirasakan pada rute tersebut, maka AI juga perlu mempertimbangkan dan bahkan memperingatkan hal-hal yang bisa mengganggu atau menciptakan situasi tidak menyenangkan seandainya rute tersebut dipilih.

Seandainya hukum melalui regulasi dan pengawasan bisa disiapkan bukan saja untuk mengantisipasi perkembangan AI, tetapi juga untuk mengarahkan pemanfaatan AI sehingga mencapai kondisi (mendekati) ideal yang diharapkan sesuai pendekatan hukum transformatif, maka langkah berikutnya akan kembali kepada manusia itu sendiri.

Dengan AI yang semakin canggih dan sudah memiliki standar etika yang diharapkan, maka sangat mungkin manusia justru menjadi semakin malas. Termasuk di antaranya yang mengkhawatirkan adalah malas berpikir.

Sehingga, untuk urusan-urusan yang membutuhkan analisa rumit akan diserahkan kepada AI, termasuk di antaranya diagnosa kesehatan dan kajian hukum.

Pada saat itu, maka manusia perlu untuk merenungkan kembali arti dari human supremacy atau kedaulatan dari manusia.

Dengan menyerahkan penegakan diagonosa kepada AI, maka akuntabilitas dari tindakan medis akan berpindah dari manusia kepada mesin.

Demikian pula dengan menyerahkan penetapan regulasi kepada AI, maka kedaulatan hukum akan berpindah dari manusia kepada mesin.

Celakanya, bila ternyata hal tersebut tetap menjadi pilihan yang lebih baik karena pada saat itu manusia sudah terlanjur lebih percaya kepada mesin.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi