Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Suara NU Kerap Diperebutkan Saat Pemilu?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/Shutterstock
Ilustrasi Pemilu
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Kurang dari setahun, Indonesia akan melangsungkan hajatan demokrasi lima tahunan, yakni Pemilu 2024.

Sejauh ini, sudah ada tiga bakal calon presiden yang dideklarasikan, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.

Dari ketiganya, hanya Anies Baswedan yang sudah mengumumkan pendampingnya, yakni Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Deklarasi Anies-Muhaimin ini sempat ramai diperbincangkan, karena Anies sebelumnya digadang-gadang akan menggandeng Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbagai pihak meyakini, keputusan Anies menggandeng Muhaimin adalah untuk merebut pemilih warga Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi basis suara PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Baca juga: Tarik-menarik NU, Akankah Cak Imin Mampu Rebut Suara Nahdliyin untuk Anies?

Bukan kali ini saja, suara NU beberapa kali juga diperebutkan dalam setiap pemilu.

Lantas, mengapa suara NU kerap diperebutkan?

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaedilah Badrun mengatakan, setidaknya ada tiga faktor yang membuat suara warga NU diperebutkan dalam pemilu.

Pertama, warga NU merupakan warga dengan jumlah entitas keanggotaan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia.

"Dengan besarnya keanggotaan NU ini memunculkan semacam keyakinan politik sebagai lumbung suara," kata Ubed kepada Kompas.com, Selasa (5/9/2023).

Kedua, warga NU memiliki semacam budaya politik yang bergantung pada pendapat ulamanya.

Baca juga: PBNU Bantah Anies-Cak Imin Dapat Restu dari Kiai NU

Kondisi ini membuat banyak partai meyakini bahwa NU mudah dimobilisasi oleh tokoh ulama yang jadi teladan.

Faktor terakhir adalah, warga NU relatif berpandangan keagamaan moderat dan toleran.

"Sehingga mudah menerima pandangan-pandangan politik baru atau adaptif," jelas dia.

Kendati demikian, capres atau cawapres yang berasal dari kalangan NU belum tentu menjadi jaminan pemenangan pemilu.

Hal ini tercermin dalam Pemilu 2004 ketika Megawati menggandeng KH Hasyim Muzadi sebagai cawapres dan mengalami kekalahan.

"Artinya berpeluang menang juga berpeluang kalah. Kalah dan menangnya juga ditentukan faktor lain yaitu bekerjanya mesin politik," ujarnya.

Baca juga: Ketum PBNU Larang Pengurus Gunakan NU untuk Politik Praktis Jelang Pemilu

Larangan pengurus NU berpolitik praktis

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf sebelumnya mengingatkan agar pengurusnya tidak mengatasnamakan NU untuk kepentingan pemilu.

Bahkan, ia akan memberi sanksi bagi pengurus yang masih melakukan politik praktis atas nama NU.

"Kalau ada pengurus NU kemudian menggunakan lembaga NU untuk kegiatan politik praktis langsung kita tegur. Kemarin, ada beberapa pengurus di tingkat kabupaten yang kita tegur," ujar Gus Yahya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/9/2023).

"Karena, misalnya mengadakan deklarasi calon presiden di kantor NU. Ini endak boleh. Kita tegur. Tapi, misalnya dia pribadi ikut ke sana ke mari itu hak pribadinya, tapi kalau menggunakan lembaga itu tidak boleh," sambungnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi