Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awan Garis-garis di Langit Disebut Penyebab Penyakit Ternyata Fenomena "Contrails", Apa Itu?

Baca di App
Lihat Foto
TikTok/@mochamadrezkyseti3
Tangkap layar video awan berbentuk garis-garis disebut fenomena contrails.
|
Editor: Farid Firdaus

KOMPAS.com - Sejumlah video yang memperlihatkan keadaan langit dengan awan bergaris-garis banyak beredar di media sosial baru-baru ini.

Video tersebut salah satunya dibagikan akun TikTok ini, Jumat (1/9/2023).

Dalam video tersebut, pengunggah memperlihatkan langit biru berawan. Tampak ada segaris awan putih memanjang.

"Pantesan banyak orang sakit... Temenku bahkan satu keluarga sakit semua," tulis pengunggah.

Video tersebut lantas mendapatkan beragam komentar dari warganet. Banyak orang yang beranggapan awan tersebut menyebabkan virus atau penyakit bagi masyarakat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Wah...jangan2 mau ada musibah...masal apa yah," kata pemilik akun @sutikman*****.

"di Kalimantan jg prn ada bgni...tp Alhamdulillah....TDK ada jg virus," balas @kesyaha******.

"mending sakit doang di tempat ku 7 org lebih sdh meninggal semenjak pesawat lewat ,sampai 5ksli," ujar @user145782********.

Lantas, apakah awan di langit yang berbentuk garis-garis itu?

Baca juga: Ramai soal Fenomena Awan Aneh di Langit Semarang, Apa Itu?


Pola jejak pesawat

Pakar Iklim dan Meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian mengungkapkan, awan yang memiliki pola garis-garis tersebut merupakan jejak pesawat terbang.

Kondisi ini merupakan fenomena contrails atau condensation trails.

"Contrails yaitu jejak pesawat di atmosfer yang tercipta karena pesawat terbang biasa pada ketinggian jelajah pada udara yang sangat dingin," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (7/9/2023).

Menurut Edvin, contrails terjadi saat pesawat mengeluarkan udara hangat hasil pembakaran bahan bakar pesawat berupa zat buang.

Zat pembuangan pesawat kemudian terkondensasi di udara. Zat tersebut akan membeku di kondisi udara dingin pada ketinggian tertentu. Pembekuan itu menghasilkan jejak pesawat di langit.

"Jadi bukan karena peristiwa modifikasi cuaca," lanjutnya.

Baca juga: Ramai soal Fenomena Scarf Cloud, Pelangi Melingkari Awan yang Menggumpal, Ini Penjelasan BRIN

Proses terjadinya fenomena contrails

Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Miming Saepudin mengatakan, contrails muncul ketika uap air dari gas buang pesawat mengalami kondensasi.

"Biasanya pola awan tersebut terbentuk di belakang pesawat terbang yang melintas pada ketinggian tersebut," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (7/9/2023).

Miming menjelaskan, pesawat yang terbang di ketinggian akan berada di kondisi dengan suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan suhu permukaan Bumi, bahkan mencapai kurang dari 0 derajat celsius.

Sementara itu, pesawat akan membakar bahan bakar yang menghasilkan gas buang berupa air uap, karbon dioksida, dan jenis gas lainnya.

Ketika gas buang dari pesawat memasuki udara dingin ini, air uap dalam gas buang tersebut akan mengalami proses pendinginan secara cepat.

Air uap yang terkandung dalam gas buang pesawat mengalami kondensasi atau perubahan dari bentuk gas menjadi air.

"Berubah dari fase gas menjadi tetes air kecil atau kristal es dengan bantuan nukleasi atau inti kondensasi yang ada di atmosfer pada ketinggian tersebut," lanjutnya.

Menurut dia, kumpulan tetes air dan kristal es tersebut akan terlihat sebagai awan yang membentuk jejak putih di belakang pesawat.

Baca juga: Viral, Video Penampakan Awan di Australia Disebut Mirip Obscurus Fantastic Beasts, Awan Apa Itu?

Tidak berbahaya

Terpisah, Dekan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Tatacipta Dirgantara memastikan awan atau jejak pesawat tersebut tidak berbahaya.

"Itu ada udara dan uap panas dari mesin pesawat, bercampur dengan udara dingin sehingga terbentuk jejak awan hasil kondensasi," ujar dia kepada Kompas.com, Kamis (7/9/2023).

Tata menyebutkan bahwa fenonema contrails terjadi tergantung kondisi cuacanya, temperatur, dan kelembaban udara di suatu wilayah.

"Itu tidak berbahaya dan tidak lama kemudian juga biasanya jadi uap lagi," tegasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi