Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Maju Kembali ke Teks Cetak dan Biasakan Siswa Tulis Tangan

Baca di App
Lihat Foto
Study In New Zealand
Ilustrasi Pendidikan di Swedia.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Di tengah perkembangan era digital, sejumlah negara maju justru memilih untuk kembali ke buku dan teks cetak, serta membiasakan peserta didik menulis tangan. 

Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa pilihan pembelajaran serba digital seperti penggunaan buku digital atau e-book dan mengerjakan tugas dengan mengetik di komputer atau laptop. 

Hal itu bukannya tanpa alasan. Sebab sejumlah penelitian yang dilakukan negara-negara maju membuktikan pembelajaran secara tradisional itu akan berdampak lebih positif bagi para siswa.

Dikutip dari Kompas.id, secara global, Swedia masih di peringkat pertama literasi masyarakatnya. Namun dalam pantauan Kementerian Pendidikan Swedia melihat tren kemerosotan terjadi sepanjang periode 2016-2021.

Baca juga: 10 Daerah dengan Tingkat Literasi Digital Tertinggi 2021, DIY Nomor 1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Swedia dorong membaca buku cetak dan tulis tangan

Di Swedia, guru-guru mulai mendorong kembali penggunaan buku cetak, menulis tangan, dan membatasi menggunakan perangkat elektronik. 

Penerapan pembelajaran tradisional ini dilakukan sebagai langkah untuk mengurangi pendidikan digital di antara anak-anak usia dini atau TK di Swedia.

Sejumlah ahli menduga pengenalan alat elektronik di usia dini menyebabkan penurunan keterampilan dasar mereka.


Teknologi menurunkan kemampuan siswa

Swedia sebelumnya mengenalkan perangkat digital kepada siswa PAUD seperti tablet. Anak-anak kemudian terbiasa bermain gim pendidikan di perangkat elektronik mereka. 

Kemudian di tingkat lebih atas, murid-murid sekolah terbiasa menggunakan internet di dalam menyelesaikan tugas sekolah. Mereka bekerja secara independen berselancar di berbagai situs guna mengumpulkan informasi yang relevan dengan tugas.

Belakangan, kondisi tersebut mulai dikritisi karena dinilai justru mengurangi daya kreativitas anak-anak dan kemampuan motoriknya. 

“Siswa di Swedia membutuhkan lebih banyak buku pelajaran. Buku fisik penting untuk pembelajaran siswa," kata Menteri Pendidikan Swedia, Lotta Edholm dikutip dari The Guardian (11/9/2023).

Kementerian Pendidikan Swedia kemudian menghentikan pemakaian alat elektronik di dalam proses pembelajaran siswa berusia enam tahun ke bawah mulai tahun ajaran 2023-2024.

Selain itu, mereka juga mengeluarkan peraturan agar murid-murid di pendidikan anak usia dini (PAUD) diajak sering memanfaatkan perpustakaan, bertanya langsung kepada para guru, serta belajar menulis dengan memperbanyak latihan motorik halus dan kasar secara menyenangkan.

”Kami terbuai konsep pengenalan digitalisasi secara dini. Sekarang, sudah jelas dari kajian selama ini bahwa pengenalan digitalisasi kepada anak-anak harus dilakukan secara terukur,” kata Edholm. 

Baca juga: Bagaimana Mengajarkan Literasi Media pada Anak?

Kemampuan membaca menurun karena gadget

Penghentian pemakaian alat eletronik dan digital dalam proses pembelajaran dilakukan setelah Kementerian Pendidikan Swedia mengadakan penilaian kemampuan membaca para siswa melalui program Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

Dikutip dari situs resmi kementerian, penilaian PIRLS dilakukan dengan cara para siswa menyelesaikan tugas membaca dan mengerjakan kuesioner untuk menilai kebiasaan membaca mereka.

Selain itu, para guru dan kepala sekolah juga harus mengisi kuesioner berisi informasi tentang pengalaman sekolah siswa dalam mengembangkan literasi membaca mereka.

Hasil penilaian tersebut membuktikan, anak kelas empat berusia 10-12 di Swedia memiliki kemampuan membaca yang menurun pada 2021. Mereka hanya memperoleh ata-rata 544 poin di tahun tersebut. Turun dari rata-rata 555 poin pada 2016.

Jika dibandingkan dengan Singapura, anak kelas empat di sana memiliki skor PIRLS yang meningkat dari 576 menjadi 587 pada periode yang sama.

Penurunan nilai kemampuan membaca para siswa Swedia mungkin terjadi akibat faktor lain. Misalnya, efek pandemi Covid-19 atau peningkatan jumlah siswa imigran yang tidak bisa berbahasa Swedia.

Namun, para pakar pendidikan negara tersebut meyakini hal ini terjadi akibat penggunaan layar secara berlebihan selama pelajaran di sekolah. Durasi penggunaan layar peralatan elektronik dapat menyebabkan anak-anak tertinggal dalam mata pelajaran utama.

Baca juga: Menilik Masa Depan Teknologi Digital di Indonesia, Sudah Siapkah?

 

Pembelajaran tatap muka harus diutamakan

Penelitian yang dilakukan oleh Institut Karolinska Swedia pada Agustus 2023 membuktikan peralatan digital justru dinilai lebih merugikan bagi pembelajaran siswa.

“Kami yakin fokusnya harus kembali pada perolehan pengetahuan melalui buku teks cetak dan keahlian guru, dibandingkan memperoleh pengetahuan terutama dari sumber digital yang tersedia secara bebas dan belum diperiksa keakuratannya,” kata institut tersebut.

Tak hanya pemerintah Swedia, UNESCO juga melaporkan adanya kekhawatiran penggunaan teknologi bagi pendidikan.

Badan di bawah PBB ini juga mendesak sejumlah negara anggotanya untuk menerapkan teknologi yang sesuai dalam pendidikan.

Ini berarti, pendidikan berbasis digital seharusnya tidak boleh menggantikan pembelajaran tatap muka antara guru dan murid demi mendapatkan pendidikan berkualitas.

Meski begitu, internet yang cepat dan penggunaan perangkat elektronik tetap dapat digunakan dalam pembelajaran.

Baca juga: Mengembangkan Kompetensi Digital Pekerja

Siswa sulit mengenal informasi akurat

Dampak lain dari penggunaan gadget adalah siswa dinilai mengalami kesulitan dalam mengenali informasi yang akurat dan terverifikasi. 

Kajian Institut Karolinska menjelaskan, terjun langsung ke dunia digital untuk mencari informasi menjadikan seseorang sulit memastikan keakuratan konten yang diakses.

Menurut mereka, mendidik anak-anak mengenal informasi akurat tetap harus dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya. Hal itu membuat murid belajar mengenai pentingnya mengenal informasi yang sudah diverifikasi dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Menurut Institut Karolinska, mendidik anak-anak mengenal informasi akurat tetap harus dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya.

”Murid diajak aktif bertanya kepada guru untuk mengajarkan mengenai individu atau kelompok yang bisa dijadikan sebagai narasumber,” penjelasan Institut Karolinska dikutip dari Kompas.id.

Selanjutnyam setelah terbiasa membaca, memilih, dan memilah informasi dari teks cetak serta bertanya kepada guru, murid-murid belajar menerapkannya di dunia digital.

Hal ini bisa memberi mereka landasan yang kuat dalam memastikan informasi digital yang mereka akses terverifikasi dan tidak gampang dipengaruhi oleh orang-orang terkenal di internet, misalnya para buzzer atau pendengung.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi