KOMPAS.com - Nama Pontjo Sutowo muncul dalam polemik kepemilikan Hotel Sultan yang berlokasi di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta.
Diketahui, Pontjo Sutowo merupakan direktur utama PT Indobuildco, perusahaan pengelola Hotel Sultan.
Ia merupakan putra dari Ibnu Sutowo, tokoh militer yang menjabat Direktur Utama Pertamina di era Soeharto.
Diketahui, kepemilikan Hotel Sultan menjadi polemik setelah Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT Indobuildco yang mengelola Hotel Sultan telah habis pada 2023.
Hal itu sebagaimana disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, dalam rapat koordinasi bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada Jumat (8/9/2023).
"Masalah ini berawal kepemilikan HGB dari tahun 1973 dengan jangka waktu 30 tahun, sehingga HGB berakhir pada 2003," ujar Hadi, dikutip dari Kompas.com (16/9/2023).
Akan tetapi, HGB Hotel Sultan tersebut kemudian diperpanjang selama 20 tahun dan berakhir pada tahun 2023.
Pemerintah seharusnya telah resmi mengambil alih pengelolaan Hotel Sultan mengacu pada Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perdata Nomor 276PK/Pdt/2011 tanggal 23 November 2011 (PK 1).
Dikutip dari Kompas.com (16/9/2023), PT Indobuildco masih akan mencoba berdiskusi dengan Sekretariat Negara (Setneg) guna membahas polemik kepemilikan yang terjadi.
Lantas, siapa sebenarnya Pontjo Sutowo?
Baca juga: Siapa Ibnu Sutowo yang Sempat Kuasai Lahan di GBK dan Hotel Sultan?
Profil Pontjo Sutowo
Dikutip dari buku Pontjo Sutowo, Pengusaha yang Terpanggil yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2022), Pontjo lahir di Palembang pada 17 Agustus 1950, tepatnya saat peringatan ke-5 Hari Kemerdekaan RI.
Pontjo merupakan anak keempat dari 7 bersaudara.
Dirinya menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) Santo Xaverius di Palembang.
Ia sekeluarga kemudian pindah ke Jakarta pada tahun 1956 mengikuti kepindahan ayahnya yang saat itu ditempatkan sebagai Staf Umum Angkatan Darat.
Pontjo kemudian melanjutkan sekolah di Jakarta dan berada di Perguruan Cikini hingga SMA. Di Perguruan Cikini ini ia menjadi adik kelas Megawati Soekarnoputri.
Selanjutnya, dari Perguruan Cikini ia kemudian pindah ke SMA Katolik Pangudi Luhur hingga tamat SMA.
Pada tahun 1969 Pontjo melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengambil jurusan mesin, namun tak sampai selesai karena alasan kesehatan.
Ia kemudian berpindah ke Universitas Trisakti dan masuk ke Fakultas Teknik.
Baca juga: Sejarah dan Profil Hotel Sultan yang Resmi Diambil Alih Negara dari Pontjo Sutowo
Karir Pontjo Sutowo
Pontjo Sutowo terjun ke dunia usaha pertama kali pada usia 20 tahun.
Perusahaan pertamanya adalah perusahaan galangan kapal dengan nama PT Adiguna Shipyard.
Adapun sebelum mendirikan perusahaan itu, Pontjo Sutowo juga berusaha hidup mandiri tanpa fasilitas dari ayahnya dengan berjualan motor tempel kapal impor merek Mercury di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat.
PT Adiguna Shipyard awalnya membuat tongkang kecil dan lambat laut menjadi kapal berukuran sedang.
Pada tahun 1972 akhirnya perusahaan ini berhasil membuat 500 kapal tanker dengan bobot 3.500 DWT.
Dari perusahaan galangan kapal tersebut, ia kemudian terjun ke usaha perhotelan.
Dikutip dari buku tersebut, Pontjo mengatakan bisnis hotelnya bermula dari Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) yang sudah ada sejak tahun 1976.
Karena operasi Hotel Hilton mengalami masalah, maka pada tahun 1982 ia kemudian mengambil alih pelaksanaan manajemennya.
Selanjutnya pada tahun 1986 ia dipilih sebagai Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan menjadi ketua umumnya pada tahun 1989 sampai dengan 2001.
Pada tahun 1972 ia diajak oleh Abdul Latief untuk bersama-sama dengan pengusaha lain mendirikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Pada awal kepengurusan ia menjabat sebagai Ketua Sektor Banking & Finance.
Selanjutnya ia menjad Ketua Hipmi pada periode 1979-1983.
Baca juga: Polemik Hotel Sultan, Pontjo Sutowo Bakal Bicara dengan Setneg
Sejarah Hotel Sultan
Dikutip dari Kompas.com (5/3/2023), perusahaan Ibnu Sutowo mulai menguasai kawasan Senayan saat Presiden Soekarno membangun GBK untuk Asian Games 1962.
Saat itu, Yayasan Gelora Senayan yang diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX diberi tugas untuk membebaskan lahan tersebut.
Namun, tanah yang dibebaskan tidak segera dibuat sertifikat.
Akhirnya menjelang konferensi internasional terkait pariwisata sekitar 1973, dibangun gedung konferensi dan hotel bertaraf internasional.
Pemerintah DKI Jakarta kemudian memberi mandat PT Indobuildco untuk membangun gedung itu.
Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di lahan seluas 13,7 hektare pun terbit melalui Surat Keputusan Mendagri untuk jangka waktu 30 tahun.
Setelahnya, Kantor Subdirektorat Agraria Jakarta Pusat (kini Kantor Pertanahan Jakarta Pusat) menerbitkan sertifikat HGB.
Jangka waktu 30 tahun tersebut terhitung sejak 13 September 1973 hingga 4 Maret 2003 atas nama Indobulidco yang dipecah menjadi dua.
BPN kemudian menerbitkan Surat Keputusan tentang Pemberian Hak Pengelolaan kepada Sekretariat Negara c.q. Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Bung Karno tahun 1989.
Sebelum habis masa pakai HGB, Indobuildco mengajukan permohonan perpanjangan HGB pada 10 Januari 2000.
Kepala Kanwil BPN DKI menerbitkan SK Perpanjangan HGB pada 13 Juni 2002, jangka waktunya 20 tahun terhitung 4 Maret 2003.
Namun, penerbitan HGB ini tanpa rekomendasi dari Badan Pengelola Gelora Senayan. Perpanjangan HGB ini dinilai merugikan negara sampai Rp 1,93 triliun.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.