Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Perkirakan Gurun Sahara Berubah Jadi Hutan Hijau Setiap 21.000 Tahun Sekali

Baca di App
Lihat Foto
BBC/Martin Brandt
Pohon-pohon tumbuh di kawasan Gurun Sahara. Ilmuwan menghitung manual jumlah pohon di sebagian wilayah gurun pasir ini dan menemukan ada ratusan juta pohon di kawasan tersebut.
|
Editor: Farid Firdaus

KOMPAS.com - Gurun Sahara merupakan salah satu gurun terluas di dunia dengan hamparan padang pasir yang membentang hingga sepuluh negara kawasan Afrika.

Sinar matahari terik, pasir beriak, serta oasis yang tersembunyi menjadi pemandangan sehari-hari yang ditawarkan Sahara saat ini.

Namun, puluhan ribu tahun lalu, gurun di kawasan Afrika bagian utara tersebut merupakan daerah subur yang menopang banyak kehidupan.

Bahkan, sepanjang area Sahara pernah dipenuhi danau, sungai, padang rumput, serta hutan yang menjadi habitat makhluk hidup.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ilmuwan Temukan Tempat Tercerah di Bumi, Layaknya Berdiri di Permukaan Venus


Padang hijau Sahara setiap 21.000 tahun

Dilansir dari IFL Science, Kamis (21/9/2023), sebuah studi terbaru menunjukkan, wilayah Afrika Utara ini berubah dari gurun gersang menjadi hutan hijau subur setiap 21.000 tahun atau lebih.

Periode terakhir Gurun Sahara menjadi hutan hijau sendiri telah berlangsung antara 15.000 hingga 5.000 tahun lalu.

Penulis utama studi dan ilmuwan di Universitas Helsinki Finlandia, Edward Armstrong mengatakan, perubahan itu menjadi bagian transformasi siklus yang mengubah wilayah dari kering menjadi lembap atau basah.

"Transformasi siklus Gurun Sahara menjadi ekosistem sabana dan hutan adalah salah satu perubahan lingkungan paling luar biasa di planet ini," ujarnya.

Melalui studi yang terbit dalam Jurnal Nature Communications, hijaunya Sahara berkaitan erat dengan Periode Afrika Basah atau African Humid Periods.

Penelitian tersebut, menurut Armstrong, dilakukan dengan menggunakan model iklim yang dikembangkan baru-baru ini.

"Studi kami adalah salah satu studi pemodelan iklim pertama yang menyimulasikan Periode Afrika Basah menggunakan besaran yang sebanding dengan pengamatan iklim paleo, sehingga mampu mengungkap mengapa dan kapan peristiwa ini terjadi," terangnya.

Baca juga: Bukan Gurun, Ternyata Ini Tempat Paling Kering di Dunia

Periode Afrika Basah merupakan periode cuaca dari zaman Pleistosen akhir (129.000-11.700 tahun lalu) hingga Holosen (mulai sekitar 11.000 tahun lalu).

Puluhan hingga ratusan ribu tahun itu, iklim di Afrika bagian utara lebih basah dan subur daripada saat ini.

Pada periode ini, sebagian besar Gurun Sahara juga masih ditutup rerumputan dan pohon, dengan banyak danau dan sungai.

Periode Afrika Basah kemungkinan berperan penting dalam menyediakan aneka tumbuh-tumbuhan di luar Afrika.

Kondisi tersebut turut membantu menyebarkan berbagai spesies, termasuk manusia purba ke seluruh dunia.

Baca juga: Bambu Jepang Berbunga untuk Pertama Kali sejak 120 Tahun, tetapi Bisa Jadi Tanda Bencana

Dipengaruhi presesi orbit Bumi

Dikutip dari laman Phys, Rabu (13/9/2023), peneliti mengungkapkan, hijaunya Sahara diperkirakan didorong oleh perubahan kondisi orbit Bumi, khususnya presesi orbit Bumi.

Sebagai informasi, presesi atau disebut juga gerak gasing mengacu pada perubahan perputaran Bumi pada porosnya.

Presesi menyebabkan perubahan pada belahan Bumi yang menghadap Matahari, sehingga turut berpengaruh terhadap musim yang terjadi.

Hasil pemodelan iklim pun telah mengonfirmasi, Periode Afrika Basah terjadi setiap 21.000 tahun dan ditentukan oleh perubahan presesi orbit Bumi.

Keadaan ini menyebabkan musim panas yang lebih hangat di belahan Bumi utara serta peningkatan curah hujan di Sahara, sehingga vegetasi atau flora dapat tersebar di seluruh gurun.

Namun demikian, periode basah tercatat tidak terjadi selama zaman es, saat lapisan es glasial besar menutupi sebagian besar wilayah lintang tinggi Bumi.

Melalui model iklim yang diterapkan inilah, peneliti turut berhasil mengetahui perubahan masa lalu dan memahami perubahan di masa depan.

Rekan penulis dari Universitas Helsinki, Miikka Tallavaara menjelaskan, pergantian fase lembap menjadi kering memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran dan evolusi spesies di Afrika, bahkan dunia.

"Kemampuan kami untuk memodelkan periode basa di Afrika Utara merupakan pencapaian besar, serta menandakan bahwa saat ini lebih mampu memodelkan penyebaran manusia dan memahami evolusi di Afrika," lanjut Tallavaara.

Baca juga: Mengenal Mata Sahara, Misteri Geologi di Tengah Gurun Sahara

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi