Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES
Proses pembongkaran rumah warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Rabu (28/9/2016). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur bangunan yang berbatasan langsung dengan sungai Ciliwung dan akan merelokasi warga ke Rusun Rawa Bebek.
Editor: Sandro Gatra

SAYA menulis naskah sederhana ini pada 28 September 2023, yang berarti tepat tujuh tahun setelah peristiwa Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016.

Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016 yang terjadi di kawasan Buki Duri, Jakarta, menurut Prof Mahfud MD dan Prof Yasonna Laoly merupakan peristiwa pelanggaran hukum secara sempurna sebab tanah dan bangunan yang digusur masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negata.

Di samping melanggar hukum secara sempurna, peristiwa Tragedi Kemanusiaan Bukit Duri 28 September 2016, juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia sekaligus juga pelanggaran sila ke dua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Tragedi Kemanusiaan Bukit Duri 28 September 2016, sangat memukul sukma lahir-batin saya sebab dengan mata di kepala sendiri saya terpaksa menyaksikan betapa ratusan sesama warga Indonesia digusur paksa secara sempurna melanggar hukum, HAM dan Pancasila.

Saya tidak berdaya melawan bulldozer dikawal polisi dan TNI perkasa merobohkan segenap gubuk yang dihuni oleh ratusan sesama warga Indonesia yang secara turun menurun telah bermukim di bantaran kali Ciliwung.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memang PN dan PTUN bahkan pengadilan tinggi telah berpihak ke masyarakat Bukit Duri, namun sayang terlambat sebab penggusuran sudah dipaksakan terlaksana pada saat tanah dan rumah yang digusur masih dalam proses hukum.

Saya tidak berdaya apapun dalam menghadapi penggusuran atas nama pembangunan infrastruktur di mana pelaksana pembangunan melakukan penggusuran atas keyakinan bahwa pembangunan memang mutlak membutuhkan pengorbanan asal yang dikorbankan justru rakyat yang tidak memiliki kemampuan, apalagi kekuasaan apa pun untuk melawan penggusuran secara sempurna melanggar hukum, HAM dan Pancasila.

Rasa prihatin makin mencengkam lubuk sanubari sebab pada kenyataan ternyata penggusuran rakyat secara paksa atas nama pembangunan infrastruktur masih terus berlanjut terjadi di Tulang Bawang, Kanipan, Kendeng, Wadas, Tulang Bawang, Papuan, Rempang dan lain sebagainya.

Masih begitu banyak gaung amanat penderitaan rakyat miskin dan masyarakat adat tergusur terdengar menggema akibat konflik agraria di berbagai pelosok Nusantara masa kini.

Maka dari lubuk sanubari terdalam pula saya berharap agar Presiden Jokowi yang telah berulang kali menegaskan tidak setuju rakyat digusur secara paksa atas nama pembangunan infrastruktur sebab beliau sendiri pada masa kanak-kanak telah tiga kali mengalami derita digusur atas nama pembangunan infrastruktur di Kota Solo, berkenan tak jemu senantiasa mengingatkan para pelaksana pembangunan infrastruktur untuk mematuhi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, HAM, UUD 1945 serta agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB sebagai pedoman Pembangunan planet bumi abad XXI tanpa menyengsarakan rakyat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi