KOMPAS.com - Tindakan perundungan atau bullying yang dilakukan anak-anak di bawah umur marak terjadi di Indonesia belakangan ini.
Beberapa kasus yang baru-baru ini terjadi seperti siswa SMP 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah yang dipukul dan ditendang temannya pada Selasa (26/9/2023).
Ada pula delapan siswa kelas 7 dan kelas 8 di SMP Negeri 1 Babelan, Kabupaten Bekasi disabet menggunakan sandal oleh kakak kelasnya pada Rabu (20/9/2023).
Sementara mata seorang siswi kelas 2 SD di Gresik, Jawa Timur ditusuk menggunakan tusuk sate saat diduga dirundung oleh kakak kelasnya pada Agustus 2023.
Baca juga: Video Viral Perundungan Siswa SMP di Cilacap, Korban Sempat Ditendang Berkali-kali
Lantas, mengapa seorang anak bisa menjadi pelaku perundungan kepada anak-anak seusianya?
Baca juga: Kisah Firmansyah, Anak SD yang Viral Usai Disebut Pindah ke SLB karena Di-bully
Penyebab anak jadi tukang bully
Kriminolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yesmil Anwar mengatakan, tindakan perundungan yang belakangan terjadi itu sesungguhnya bukan sekadar perundungan melainkan tindak kekerasan anak.
Dia menyebut, ini karena tindakan yang dilakukan pelaku dapat menyebabkan kerusakan permanen bahkan kematian. Karena itu, lebih tepat disebut kekerasan.
"Dua-duanya itu korban, yang satu korban kekerasan anak, yang satu korban sistem," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (28/9/2023).
Yesmil menyebutkan, seorang anak bisa menjadi pelaku perundungan bahkan melakukan kekerasan akibat perlakuan orang dewasa termasuk orangtua.
Baca juga: Menilik Fenomena Bullying Pelajar Indonesia
OrangtuaDari sisi orangtua, dia menyebutkan ayah-ibu kurang memberikan perhatian kepada anak. Orangtua justru lebih banyak atau fokus dengan gadget dan meninggalkan anak menonton konten kekerasan.
Ini terlihat dari tindakan kekerasan yang dilakukan anak yang menjadi pelaku perundungan.
"Pukulan tendangan yang dilakukan (pelaku perundungan) itu biasa muncul di adegan orang dewasa. Kalau anak kecil paling piting-pitingan, ini ada selebrasi," jelasnya.
Selain itu, kata dia, anak tidak mendapatkan gizi, uang jajan, dan pendidikan yang cukup. Anak yang dibiarkan manja juga berpotensi melakukan perundungan.
Tak hanya itu, Yesmil menyebut orangtua yang kurang memberikan sanksi atas kesalahan anak dapat membuatnya tidak takut melakukan kesalahan termasuk perilaku yang tidak pantas.
Hal ini semakin diperparah kondisi anak dan remaja yang ingin mempertontonkan dirinya lebih hebat dari anak lain.
"(Ini membuat dia) mencontoh atau melakukan sesuatu yang terlihat keren atau membuat orang lain menderita," tambah dia.
Baca juga: Marak Perundungan di Kalangan Remaja, Ini Kata Kak Seto
Masyarakat
"Pendidikan lebih pada kognisi, psikomotorik, afeksinya kurang. Nyanyi dan seni kurang. (Padahal) perlu ada keseimbangan," ujarnya.
Menurut dia, anak tidak mendapatkan proses belajar-mengajar yang memberikan nilai-nilai etika yang tumbuh dalam masyarakat.
Sebagai contoh, anak tidak tahu makna mencium tangan guru atau orangtua. Mereka juga tidak mengenal tindakan-tindakan yang termasuk perundungan, mulai dari sekadar ejekan hingga pengeroyokan.
Dia menyebut tokoh masyarakat, tokoh politik, serta tokoh agama kurang memberi perhatian kepada anak. Akibatnya, anak mampu melakukan kekerasan besar dan menarik perhatian.
Tak hanya itu, dia mengatakan anak kurang mengetahui risiko hukum dari tindakannya. Ini karena mereka belum dewasa sehingga emosi dan nalarnya masih belum siap.
Yesmil menegaskan, anak-anak tetap mendapatkan hukuman atas tindak kekerasan yang dilakukan meskipun masih di bawah umur.
"Jadikan ini contoh yang bisa dilihat dari sudut pendidikan, agama, kesehatan mental, dan hukum. Jangan dikira anak-anak buta hukum," imbuh dia.
Baca juga: 6 Jenis Bullying yang Wajib Diketahui Orangtua agar Anak Tak Jadi Korban
Hukuman anak pelaku perundungan
Lebih lanjut, Yesmil menjelaskan hukuman-hukuman seperti apa saja yang mengancam anak-anak pelaku perundungan. Menurutnya, hukuman yang diberikan tergantung usia anak.
Dia menyebut, orangtua anak usia 2-5 tahun yang lakukan perundungan wajib menjalani wajib lapor ke polisi terkait.
Sementara anak usia 5 sampai 12 tahun akan mendapatkan sanksi di lembaga permasyarakatan.
Adapun anak usia 12 sampai 17 tahun akan tetap mendapatkan sanksi berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Perlindungan Anak.
Hukuman yang mengancam seperti peringatan, pembinaan, pelatihan kerja, hukuman percobaan penjara, hingga pidana penjara dengan masa hukuman 1/2 dari hukuman untuk orang dewasa.
"(Harus) memberikan hukuman yang setimpal dan dalam hukuman itu ada unsur pendidikan dan pembinaan supaya jera," ujar dia.
"Yang terpenting, tidak ditiru oleh orang lain. (Anak jadi berpikir) kalau melakukan itu, saya akan dihukum," imbuh Yesmil.
Baca juga: Korban Pelecehan dan Bully Sering Dilaporkan Balik, Ini Kata LPSK
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.