Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah G30S/PKI dan Teka-teki Keberadaan Soeharto

Baca di App
Lihat Foto
Dok. IMDb
Pengkhianatan G30S PKI.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - G30S PKI atau gerakan 30 September adalah salah satu peristiwa sejarah bangsa Indonesia yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peristiwa penculikan sejumlah jenderal TNI itu terjadi pada malam 30 September 1965 di Ibu Kota Jakarta.

Di mana, enam jenderal serta satu perwira TNI Angkatan Darat dibunuh dalam peristiwa itu.

Dikutip dari Kompas.com (27/9/2022), pemicu dari gerakan G30S PKI ini adalah PKI yang menuduh ketujuh orang tersebut akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno melalui Dewan Jenderal.

Lantas, bagaimana sejarah G30S PKI?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Melihat Museum Dharma Bhakti Kostrad, Tempat Patung Penumpas G30/S PKI yang Dibongkar


Sejarah G30S PKI

Merujuk pada catatan Harian Kompas, 6 Oktober 1965, detik-detik peristiwa G30S PKI terjadi di malam hari, antara tanggal 30 September-1 Oktober 1965 yang berlokasi di Ibu Kota Jakarta.

Namun, sebenarnya awal mula dari peristiwa itu direncanakan pada 30 September. Akan tetapi, operasi tersebut terpaksa diundur sehari dari rencana awalnya menjadi 1 Oktober 1965 dini hari.

Hal tersebut dilakukan atas perintah Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit untuk memastikan bahwa pasukannya siap dan lengkap.

Operasi G30S diinisiasi oleh Resimen Tjakrabirawa yang merupakan satuan tentara pengamanan presiden. Mereka mendapat informasi adanya upaya sekelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Presiden Soekarno.

Resimen Tjakrabirawa bersama beberapa petinggi PKI kemudian berencana menghadirkan jenderal-jenderal itu ke hadapan Presiden Soekarno.

Sebelumnya, mereka menamai operasi tersebut sebagai Operasi Takari. Namun, nama itu diubah menjadi Gerakan 30 September agar tidak berbau politik.

Baca juga: 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI

Kronologi peristiwa G30S PKI

Diberitakan Kompas.com (30/9/2021), operasi G30S PKI tersebut dipimpin oleh Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri.

Ia ditugaskan menuju ke Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur untuk melakukan inspeksi pada 1 Oktober 1965.

Menjelang operasi itu, nama mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang semula ada di daftar sasaran justru dicoret.

Tujuan dicoretnya Mohammad Hatta adalah untuk menyamarkan kudeta sebagai konflik internal. Selanjutnya, Untung membagi eksekutor ke dalam tiga satuan tugas, sebagai berikut:

  • Satuan tugas (satgas) Pasopati yang dipimpin oleh Letnan I (Inf) Abdul Arief dari Resimen Tjakrabirawa bertugas menangkap tujuh jenderal yang jadi sasaran.
  • Satgas Bimasakti dipimpin Kapten (Inf) Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530/Brawijaya, bertugas mengamankan Ibu Kota dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Studio RRI Pusat.
  • Satgas Pringgodani yang berada di bawah kendali Walikota (Udara) Soejono, bertugas menjaga basis dan wilayah di sekitar Lubang Buaya yang direncanakan akan menjadi lokasi penyanderaan para jenderal.

Setelah memeriksa kesiapan di Lubang Buaya, Untung bersama bawahannya Kolonel (Inf) Latief, bergerak ke Gedung Biro Perusahaan Negara Aerial Survey (Penas) di Jalan Jakarta By Pass (kini Jalan Jend. A Yani), Jakarta Timur.

Gedung tersebut dalam sehari-harinya disewa oleh Angkatan Udara (AURI). Namun di malam senyap itu, Soejono menyiapkan Gedung Penas sebagai Central Komando (Cenko) I untuk memantau jalannya operasi penangkapan para jenderal.

Julius Pour mencatat, operasi penculikan di bawah komando Untung direncanakan secara asal atau sembarangan. Selain itu, ada banyak yang dilibatkan dalam rencana tersebut, namun beberapa tidak jadi datang.

Jumlah pasukan kurang dari 100 personel, jauh dari yang diharapkan mampu memantik revolusi. Kemudian, apa yang dikhawatirkan Untung pun terjadi, di mana penculikan itu berubah jadi serangan berdarah.

Pada pukul 03.30 WIB, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Sersan Kepala Bungkus sempat bimbang, alokasi 15-20 menit untuk meluncurkan penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, dinilainya tak akan cukup.

"Saya sendiri berpikir kok hanya 20 menit, peluangnya pasti singkat sekali? Meski begitu saya tidak lupa. Perintahnya jelas, saya mendengar langsung dari Letnan I Abdul Arief, '...tangkap sasaran, hidup atau mati'," kata Bungkus.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948

Di mana Soeharto saat peristiwa G30S PKI?

Sementara itu, teka-teki atau misteri tentang keberadaan Soeharto di malam peristiwa G30S/PKI sempat menjadi pertanyaan banyak orang.

Pasalnya, Soeharto merupakan salah satu sosok penting setelah terjadinya peristiwa G30S PKI.

Dikuitp dari Kompas.com (27/9/2022), ada yang meyakini bahwa Soeharto menjadi orang yang berada di balik peristiwa G30S.

Dugaan ini muncul karena Soeharto salah satu jenderal TNI saat itu, namun dia tidak diculik dan dibunuh oleh PKI seperti jenderal-jenderal lainnya.

Soeharto disebut telah mengetahui rencana penculikan dari sejumlah jenderal yang diyakini akan melakukan kudeta pada Presiden Soekarno.

Ini berdasarkan kesaksian salah satu pelaku, yaitu Kolonel Abdul Latief, dalam persidangan.

Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief memberikan kesaksian bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.

"Sehari sebelum kejadian itu, saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Soeharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.

Latief menambahkan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Soeharto, tepat satu hari sebelumnya di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Saat itu Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Pada pertemuan di rumah Soeharto, Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.

Menurutnya, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.

Di sisi lain, dalam wawancaranya dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.

Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?

Alasan Soeharto tidak diculik

Sementara itu dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief mengungkapkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan.

"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Bukan hanya itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah tersebut dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief mengaku, dirinya sudah beberapa kali memperingatkan adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Menurutnya, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu. Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto sendiri mengakui bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi