Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Hamas Vs Israel, Apa Dampak bagi Ekonomi Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
AFP/MAHMUD HAMS
Situasi terkini perang Hamas-Israel. Asap membubung di atas gedung-gedung Kota Gaza pada Sabtu (7/10/2023), saat serangan udara Israel menghantam gedung Palestine Tower. Sedikitnya 70 orang dilaporkan tewas di Israel, sedangkan otoritas Gaza merilis jumlah korban tewas sebanyak 198 orang.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Konflik antara kelompok Hamas Palestina dengan Israel yang terjadi sejak Sabtu (7/10/2023) memicu kekhawatiran global.

Dilaporkan lebih dari 1.000 orang menjadi korban dalam perang Israel-Palestina, termasuk sejumlah tentara dan warga sipil.

Sejumlah negara juga telah menyerukan adanya gencatan senjata dan penghentian perang, termasuk di antaranya dari Indonesia.

Selain memakan korban warga sipil, perang Israel-Palestina berpotensi akan memperparah kondisi perekonomian global yang masih terdampak perang Rusia-Ukraina.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, apa potensi dampak ekonomi yang akan dirasakan Indonesia akibat perang Palestina vs Israel?

Baca juga: Perang Yom Kippur 1973, Saat Negara Arab Ramai Embargo Minyak ke AS

Dampak perang Israel

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dampak dari konflik Israel-Palestina akan memicu investor melakukan pergeseran ke aset yang aman.

Kondisi ini menurutnya bisa memicu dollar AS menguat secara jangka pendek.

"Dollar indeks, misalnya. menguat ke level 106. Rupiah bersiap mengalami depresiasi terhadap dollar AS," kata Bhima kepada Kompas.com, Senin (9/10/2023).

Hal tersebut berpotensi menaikkan harga sejumlah barang dan komoditi impor, khususnya pangan.

Sebagai contoh, Bhima menyebut biaya impor beras akan naik karena terpengaruh dollar AS, meskipun ada negara yang siap jual ke Indonesia.

Selain itu, impor bahan bakar minyak (BBM) juga akan lebih mahal akibat naiknya dollar AS ini.

"Tentu pilihan pemerintah apakah alokasi subsidi energinya naik atau diteruskan ke masyarakat membayar BBM lebih tinggi," ujarnya.

Dengan kondisi ini, maka menurut Bhima inflasi akan menjadi ancaman serius bagi daya beli domestik.

Baca juga: Buntut Serangan Hamas, Netanyahu Akan Putus Pasokan Listrik, Makanan, dan Gas ke Gaza

Kenaikan harga minyak

Bhima menuturkan, konflik Palestina vs Israel ini juga berpotensi besar menaikkan harga minyak mentah hingga 90-92 dollar AS per barrel.

Kendati demikian, ia melihat bahwa kenaikan harga minyak saat ini kemungkinan tidak separah krisis minyak mentah 1973.

Saat itu, kenaikan tertinggi harga minyak mencapai 450 persen dari 2 dollar AS per barrel menjadi 11 dollar AS per barrel.

"Faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus," jelas dia.

Menurutnya, beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.

Selain itu, belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Arabi Saudi dan Rusia pada November mendatang juga menjadi faktor lain penyebab harga minyak tidak akan naik signifikan.

Kenaikan dollar AS juga akan menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak.

Pasalnya, akan muncul kekhawatiran banyak negara importir minyak untuk mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.

"China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami slowdown ekonomi hingga 2024 mendatang. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi demand minyak global," kata dia.

Baca juga: Operasi Badai Al-Aqsa, Mengapa Hamas Luncurkan Serangan Besar-besaran secara Mengejutkan?

Antisipasi pemerintah

Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin mengatakan, bahwa perang Palestina vs Israel menurutnya akan menghambat pemulihan ekonomi global.

Oleh karena itu, dia memprediksi risiko resesi pun akan semakin besar. Atas dasar itu, Eddy menilai bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam menyikapinya di bidang ekonomi.

"Cadangan devisa perlu dijaga dan dinaikkan, inflasi perlu dikendalikan dengan ketat, suku bunga perlu dijaga stabil dan kalau bisa diturunkan perlahan," kata Eddy, dihubungi secara terpisah, Senin.

Ia menjelaskan, pemerintah juga perlu mengurangi defisit fiskal hingga maksimal tiga persen dari PDB.

Dalam waktu dekat, pemerintah juga perlu mengusahakan agar utang tidak bertambah lagi.

"Jadi, misalnya pertumbuhan ekonomi terhambat, paling tidak indikator-indikator fundamental ekonomi lain tetap sehat dan bisa menopang di masa tidak menentu," ujarnya.

Senada dengan Eddy, Bhima berharap pemerintah melakukan berbagai upaya antisipatif untuk menjaga stabilitas kurs rupiah.

Ini dilakukan dengan dorong pemanfaatan devisa hasil ekspor, mengendalikan repatriasi dividen ke luar negeri, mengendalikan konsumsi BBM, serta mencegah impor pangan berlebihan.

"Produksi pangan dalam negeri bisa terus didorong, sehingga beban impor yang berdampak ke fluktuasi rupiah bisa diredam," jelasnya. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi