Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia? (Bagian II-Habis)

Baca di App
Lihat Foto
iStockphoto/David Gyung
ilustrasi artificial intelligence (AI).
Editor: Sandro Gatra

PADA 24 April 2023, Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court of the United States) atau yang disingkat SCOTUS, menolak permohonan kasasi yang diajukan Dr. Thaler terkait pendaftaran paten DABUS.

Sebelumnya Kantor Paten dan Merek Dagang AS serta hakim Federal Virginia, telah lebih dulu menolak permohonan pendaftaran paten DABUS, dengan alasan inventor atau penemunya adalah Artificial Inteligence (AI).

Baca juga: Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia? (Bagian I)

Dilansir Reuters (24/5/2023), SCOTUS memutus menolak pendaftaran paten atas penemuan yang diciptakan oleh sistem AI.

Putusan Mahkamah Agung AS menguatkan putusan pengadilan lebih rendah yang menyatakan bahwa paten di AS hanya dapat diberikan kepada inventor manusia atau orang-perseorangan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dr. Thaler beragumentasi kepada Mahkamah Agung bahwa AI digunakan untuk berinovasi di berbagai bidang, mulai dari obat-obatan hingga energi.

Menurut dia, penolakan paten yang dihasilkan oleh AI akan membatasi kemampuan sistem paten. Singkatnya, Ia juga menyinggung dampak terhadap inovasi dan kemajuan teknologi secara optimal.

Hal yang menarik, upaya hukum Dr. Thaler justru didukung oleh Profesor Hukum terkenal Harvard Lawrence Lessig dan akademisi lainnya. Mereka mengatakan bahwa putusan Federal Circuit membahayakan miliaran dollar dalam investasi saat ini, masa depan dan daya saing AS.

Putusan SCOTUS ini sejalan dengan sikap internasional saat ini, karena permohonan paten serupa telah ditolak di Australia, Jerman, Selandia Baru, Taiwan, Uni Eropa, Korea Selatan, Amerika dll.

Dr. Thaler memang tak pernah menyerah, ia juga menentang putusan Kantor Hak Cipta AS yang menolak perlindungan hak cipta untuk karya seni yang dibuat oleh DABUS.

Dilansir New York Times (15 /7/2023), Senat AS juga memberikan perhatian terhadap hal ini. Senat mengadakan pembahasan tentang AI dan paten.

Salah satu yang hadir adalah Dr. Ryan Abbott, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Surrey di Inggris yang dikenal cenderung mendukung fenomena ini.

Menurut Dr. Abbott, yang juga seorang dokter dan pengajar di David Geffen School of Medicine di University of California, Los Angeles, hal ini berkorelasi dengan insentif yang tepat untuk era teknologi baru.

AI yang berkembang pesat, menurut Dr. Abbott, sangat berbeda dengan alat tradisional yang digunakan dalam penemuan, misalnya, pensil atau mikroskop. AI generatif juga merupakan generasi baru program komputer.

Hal ini tidak terbatas untuk melakukan hal-hal yang secara khusus diprogram untuk dilakukan. Namun menghasilkan hal yang tidak direncanakan, seperti yang dilakukan orang-perseorangan.

Hukum Indonesia

Bagaimana dengan hukum Indonesia? Saat ini kita memiliki UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten, yang keterkaitannya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya (pasal 1 angka 1)

Kedua, UU Paten lebih lanjut menjelaskan bahwa invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (pasal 1 angka 2)

Ketiga, inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (Pasal 1 ngka 13).

Pengertian orang dalam UU Paten merujuk pada natuurlijk persoon, sehingga sulit untuk mengidentikan AI menjadi inventor atau subyek hukum paten karena AI bukan manusia atau orang perseorangan sebagai natuurlijk persoon.

Persoalan AI tidak bisa menjadi inventor bukan sebatas perdebatan normatif. Jika AI diakui sebagai inventor, maka realitas ini akan menjadi langkah awal pengakuan AI berkedudukan sama dengan manusia sebagai subjek hukum.

AI yang tidak memiliki rasa, tanpa kehendak dan bukan makhluk yang memiliki kapasitas kepemilikan, tidak selayaknya diakui sebagai inventor paten.

Sikap mengakui AI sebagai inventor akan menempatkan AI bukan sebagai “tools” yang membantu manusia, tetapi justru sebagai kompetitor manusia dalam menghasilkan teknologi baru berbasis kekayaan intelektual.

Jika ini terjadi, maka tak mustahil akan merambah ke sektor di luar kekayaan intelektual.

Reformulasi materi muatan UU Paten dan UU Hak Cipta karena masifnya transformasi digital tentu perlu dilakukan dengan kajian cermat dan mendalam. Mengingat AI juga sangat tergantung pada data yang dilatihkan kepadanya oleh manusia.

Penerapan perluasan prinsip hak ekonomi inventor yang menjangkau produk turunan yang dihasilkan AI dan platform digital, juga perlu dikaji secara cermat dan proporsional.

Perluasan hak ekonomi seperti itu pada gilirannya akan berdampak pada beban masyarakat pengguna.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi