Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komite Eksekutif ICCI
Bergabung sejak: 2 Mei 2017

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Jokowi "Nyolok Moto"

Baca di App
Lihat Foto
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Joko Widodo yang lebih dikenal dengan Jokowi saat menghadiri Deklarasi Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (20/5/2012).
Editor: Sandro Gatra

PAK Jokowi,

Saya pertama kali nyoblos presiden itu gegara njenengan. Sebelumnya selalu golput. Betul kalau dulu orang banyak bilang gagal golput gara-gara Jokowi.

Kenapa? Karena saya merasa njenengan sama dengan saya dan rakyat lainnya. Benar-benar rakyat, tak punya privilege apapun.

Njenengan yang merangkak dari pengusaha kayu lalu menjadi wali kota. Dari sana lalu menjadi gubernur. Dari gubernur, jadilah presiden. Benar-benar dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya.

Saya pernah sekali foto bersama njenengan di ajang penghargaan tertentu. Itu membanggakan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saya kisahkan ke anak saya, Nida. Sampai berkali-kali Nida ingin ketemu njenengan. Tiap kali dia lihat njenengan di TV, teriak, “Ayah, ada Jokowi”.

Tentu bocah enam tahun tidak tahu bila jarak presiden dan ayahnya, jauuuuh sekali. Tapi, ia idolakan njenengan. Karena saya kisahkan bagaimana njenengan orang hebat.

Hebat dalam arti bahwa semua rakyat, asal mau upaya keras, bisa sampai posisi puncak. Presiden. Termasuk anak saya, Nida. Tak punya privilege seperti kebanyakan anak rakyat Indonesia.

Meski jauuuh jarak kita, tapi saya tak sungkan pakai "njenengan". Sebab njenengan orang yang saya pilih, saya percayakan untuk memimpin negeri ini. Tentu bersama kepercayaan jutaan pemilih lainnya.

Saya tak hanya pemilih njenengan, tapi dua kali menjadi relawan, 2014 dan 2019. Ya, relawan yang miliki mimpi soal Indonesia lebih maju.

Dan benar, di tangan njenengan sebagian mulai terlihat. Perubahan, meski sulit dan tak sempurna betul, terjadi di mana-mana.

Sehingga saya bayangkan njenengan sebagai teladan kepemimpinan berikutnya. Sekurang-kurangnya harus seperti njenengan. Njenengan menjadi baseline, role model pemimpin negeri yang besar ini.

Jelang akhir jabatan, saya selalu berharap agar kepemimpinan njenengan di akhiri dengan baik. Husnul khotimah. Happy ending. Smooth landing. Itu akan membahagikan, tak hanya bagi njenengan, tapi saya dan tentu jutaan relawan dan pemilih lainnya.

Namun sekarang, gaduh. Bukan husnul tapi seperti akan su'ul khotimah. Jokowi sebagai the legend, mulai nampak pudar. Boleh jadi njenengan tahan cacian, tapi nampak luput karena pujian. Pujian dari masyarakat yang puas sampai 81,9 persen (LSI, Juli 2023).

Tentu orang melihat dan memahami, bagaimana konstitusi itu dikangkangi sedemikian rupa. Para relawan dan pemilih njenengan kecewa. Termasuk saya.

Artinya mereka orang-orang yang memilih karena melihat kompetensi serta kualifikasi. Bukan pemilih yang taklid buta, sing penting melu Jokowi. Bukan!

Di akhir jabatan, pilar negara kok diacak-acak. Jadi saya nilai level njenengan ternyata belum leader bangsa dan negara. Hanya level manajer pemerintahan yang cakap.

Leader bangsa dan negara tentu saja akan mengutamakan kemaslahatan umum. Di mana nilai-nilai semacam itu berada pada hal yang setipis atau setebal, yang kita sebut moral, etika, fatsun.

Adalah hal-hal tak tertulis, namun bekerja sebagai fundamen dari apa-apa yang tertulis. Sehingga njenengan tak bisa dengan enteng bilang, "Ya orangtua itu hanya tugasnya mendoakan dan merestui", ketika ditanya wartawan soal pencalonan Gibran. Pak, itu tak berterima.

Negara domain publik. Njenengan presiden republik. Itu melekat dalam diri njenengan sebagai personal. Sehingga tak bisa seolah-olah jadikan itu sekadar urusan rumah tangga, bapak-anak. Dan njenengan restui begitu saja, dengan asumsi itu kemauan Gibran, bukan njenengan.

Dengan merestui Gibran, njenengan menutup peluang Nida, anak saya. Bahwa kembali lagi, demokrasi tak berbasis pada merit system. Bahwa privilege menjadi sangat menentukan. Itu bertolak belakang dengan "Jokowi adalah Kita".

Ya, kita. Rakyat kebanyakan. Visi soal demokrasi memberi peluang setara bagi seluruh putra/ putri terbaik bangsa itu njenengan kubur. Sungguh ironi, Pak!

Gibran dan Kaesang, putra-putra njenengan itu, nampak nggege mongso. Apa njenengan khawatir nasib mereka kelak tak bisa sehebat dan setekun bapaknya?

Untuk meniti dari satu anak tangga ke anak tangga berikut. Begitu seperti njenengan dulu lakukan.

Dalam moral, etika, fatsun, yang tak tertulis itu, njenengan nampak sudah lampaui batas. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Apa yang njenengan lakukan sekarang, itu nyolok moto. Itu benar-benar seperti mengasumsikan rakyat bodoh. Buta politik. Tuna etika.

Ternyata, tidak. Rakyat, atau setidaknya relawan dan pemilih njenengan itu, kuat akar politiknya. Kuat fundamen moralnya. Dan kuat kerinduannya pada pemimpin dari orang biasa yang dapat berbuat hal-hal luar biasa.

Saya dan jutaan relawan dan pemilih lainnya juga melek dan turut memaki tren nepotisme dan kedinastian yang njenengan bangun. Tentu kami menolak. Itu bukan hal baik dalam demokrasi. Bahkan, terkutuk!

Sekarang saya dan tentu jutaan orang berharap kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dapat memutus dengan adil. Juga berharap agar MKMK rekomendasikan sidang ulang terhadap putusan 90. Agar pencalonan Gibran gagal.

Tentu bukan karena tak suka orang muda calonkan diri. Sebab saya pun baru 38 tahun yang unda-undi dengan putra njenengan.

Tapi beri pelajaran kepada njenengan dan pemimpin lain, bahwa kekuasaan di negara demokratis harus diselenggarakan dengan cara-cara yang konstitusional dan etis.

Saya tak pernah kisahkan sisi kelam ini ke anak saya, Nida. Terlalu rumit baginya untuk pahami bahwa tak perlu lagi idolakan njenengan.

Boleh jadi ketika dewasa kelak, dia akan baca sendiri di pelajaran sejarah dan politik Indonesia. Bahwa pernah ada orang biasa menjadi presiden, yang kesandung pada masa penghujung.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi