Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patchwork Batik Lawasan dan Motif Daun Jati Berlaga di Mesir

Baca di App
Lihat Foto
Dok Istimewa/Anthea Tofani
Anthea Tofani mengenakan gaun bertema fesyen berkelanjutan.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Anthea Tofani, siswi SMA Loyola Semarang, menyabet 2nd Runner Up Miss Eco Teen International 2023 yang digelar di Mesir awal November lalu.

Kemenangan Anthea di ajang internasional ini diapresiasi banyak pihak. Terlihat di unggahan soal kemenangan itu di akun Instagramnya, @antheatofani, yang mendapatkan 730 suka dan puluhan komentar dari warganet.

Anthea memaparkan kepada Kompas.com telah menjalani karantina di ajang bergengsi tersebut mulai 27 Oktober hingga 2 November 2023 di Sharm El Sheikh, Mesir.

Sebelum mencapai malam final, Anthea menjalani berbagai kompetisi.

"Salah satunya mengikuti nation costume competition dan eco dress competition," ujarnya pada Kompas.com, Rabu (15/11/2023).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam kompetisi kostum nasional, Anthea tampil mencitrakan diri sebagai Tri Buana Tunggadewi, sosok putri dari Kerajaan Majapahit.

Sedangkan dalam kompetisi eco dress, Anthea memperkenalkan karya desainer Elkana Gunawan Tanuwidjaja yang berfokus pada sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan, yang mengangkat patchwork perca dan motif alam dari daun jati.

Lantas, apa itu fesyen berkelanjutan? 

Baca juga: Tren Fesyen Sarung Masih Panjang, dari Kesan Formal Menuju Kasual


Paduan daun jati dan perca

Menurut Elkana Gunawan, busana yang dikenakan Anthea bertema The Beauty of Indonesia.

Sebuah gaun malam yang terdiri dari dua bagian, yaitu dress panjang dan vest atau rompi pendek yang terinspirasi dari busana penari Bali.

"Gaun panjang terbuat dari bahan botanical ecoprint dengan tehnik kukus dalam proses pembuatan motifnya, sedangkan kain dasarnya adalah tenun (handwoven)," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (16/11/2023).

Dalam pembuatan motif, Elkana menggunakan berbagai daun dari tanaman yang tumbuh subur di tanah Indonesia, seperti daun jati (Tectona grandis), daun sonokeling (Dalbergia latifolia), daun lanang (Oroxylum indikum), dan daun serta bunga kenikir.

Sedangkan untuk pewarna coklat didapat dari buah jalawe (Terminalia bellirica).

Untuk rompi penutup dress, Elkana menggunakan sampah perca, sampah kain dari studio fesyennya.

"Vest terbuat dari cuilan kain batik lawasan yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pola pachwork," ujarnya.

Khusus untuk bagian lengan, Elkana mengolah percanya dengan teknik water soluble stabilizer di mana tercipta seni krancang atau lubang.

Menurut Elkana, busana yang dikenakan Anthea selaras dengan tema fesyen berkelanjutan yang meminimalkan sampah kain atau perca, dan sesuai dengan komitmen Miss Eco Teen dalam meminimalkan pencemaran lingkungan.

Baca juga: Polusi Jadi Sorotan, Bagaimana Cara Mengecek Kualitas Udara?

Sejarah sustainable fashion

Sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan bukan hal baru di dunia mode.

Fesyen berkelanjutan adalah konsep yang bertujuan mengurangi dampak negatif dari industri mode atau pakaian. 

Dimana diketahui, sampah atau limbah industri fesyen menduduki peringkat kedua setelah sampah plastik.

Dalam konsep ini, dititikberatkan pada industri fesyen yang miminimalkan sampah, baik sampah kain maupun sampah zat kimia dari bahan pewarna.

Jika ada sampah (perca), maka ia akan dirombak menjadi busana baru, ketimbang dibuang dan mengotori lingkungan.

Dilansir dari Kompas.com (7/8/2022), menurut penelusuran sejarah, upcycle fesyen atau daur ulang fesyen sudah ada sejak awal abad ke-19 di masa Ratu Victoria dari Britania Raya.

Selain dilakukan oleh Ratu Victoria, usaha merombak dan mendandani kembali gaun lama agar bisa tampil beda juga kerap dilakukan oleh Puteri Alexandra dari Denmark.

Di tahun 1863, sehari sebelum hari pernikahan Pangeran Edward VII, Putri Alexandra meminta Elise Kreutzer, ahli mode Inggris, untuk mendaur ulang gaun-gaun lamanya termasuk gaun pernikahannya.

Ahli sejarah, Kate Stradstin, membenarkan hal itu. Ia yang menelusuri jejak sejarah menemukan bahwa gaun yang dikenakan Alexandra di tahun 1874 adalah gaun lama Alexandra tiga tahun sebelumnya yang didaur ulang.

Di awal abad ke-19 tersebut, hobi daur ulang baju tak hanya menjadi kegemaran kalangan istana. Rakyat kecil pun banyak yang mencoba teknik ini demi menghemat dana.

Kini, fesyen berkelanjutan semakin didengungkan di antara isu pencemaran lingkungan dan global warming.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi