Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Sejak Ken Arok sampai Orde Reformasi

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS
Ilustrasi Politik
Editor: Sandro Gatra

MENYIMAK kemelut yang sedang terjadi di panggung politik Indonesia masa kini, rawan muncul pertanyaan apakah politik dan moral bisa dipersatukan.

Sebenarnya pertanyaan tersebut sudah muncul pada saat Ken Arok mencuri keris pusaka buatan Empu Gandring dari rumah Kebo Ijo, kemudian menyelinap masuk ke kamar tidur Tunggul Ametung demi membunuh penguasa Tumapel tersebut.

Jelas mencuri dan membunuh bukan hanya amoral, namun kriminal yang secara hukum tidak bisa dibenarkan.

Justru dengan cara amoral tersebut terbukti kemudian Ken Arok berjaya mendirikan Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel yang kemudian tercatat dengan tinta emas pada lembaran sejarah Nusantara sebagai Kerajaan Singasari sebagai pendahulu Kerajaan Majapahit.

Meski akhirnya Ken Arok kualat terbunuh oleh keris pusaka buatan Empu Gandring.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan sejarah yang dibuat oleh Dinasti Yuan mengisahkan, pada 1293, pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang yang dipimpin Ike Mese, mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanagara.

Pasalnya, pada 1289, Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.

Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menaklukkan Jayakatwang. Ia mengajak Ike Mese untuk bekerjasama untuk merebut kembali kekuasaan Wangsa Rajasa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.

Jayakatwang yang mendengar persekutuan Raden Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kediri, namun berhasil dikalahkan oleh pasukan Mongol.

Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol, Majapahit dan Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kediri.

Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya meminta izin pada pihak Mongol untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga.

Sesampai di Canggu, Raden Wijaya dan pasukannya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.

Pada 19 April 1293, Raden Wijaya memimpin pasukannya menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta pora mabuk-mabukan di Daha.

Akibat kehilangan 3.000 tentaranya, Ike Mese memutuskan mundur. Sisa pasukan Mongol akhirnya meninggalkan Jawa pada 24 April 1293.

Kemudian Raden Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana.

Menurut catatan dinasti Yuan, Raden Wijaya berpolitik amoral sebab berkhianat terhadap tentara Mongol yang semula dimanfaatkan sebagai sekutu Raden Wijaya untuk menaklukkan Jayakatwang.

Fakta sejarah membuktikan kesuksesan para penguasa amoral berlanjut pada masa kerajaan Mataram, bahkan sampai dengan masa Orde Reformasi Republik Indonesia.

Segenap fakta sejarah tersebut merupakan indikasi bahwa pada hakikatnya politik dan moral merupakan dua unsur yang sulit dipersatukan. Meski sebenarnya bukan berarti mustahil dipersatukan.

Jika mau, sebenarnya politik dan moral mampu dipersatukan. Jika tidak mampu berarti sekadar tidak mau.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi