Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Tawanan yang Dilepas Hamas Disebut Alami "Stockholm Syndrome", Apa Itu?

Baca di App
Lihat Foto
X
Tangkapan layar menyebut tawanan Hamas mengalami Stockholm syndrome.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Media sosial X (dulu Twitter) diramaikan dengan istilah stockholm syndrome,  terkait masa gencatan senjata antara Hamas dengan Israel di Gaza.

Pada masa gencatan senjata tersebut, Hamas dan Israel saling melepaskan tawanan untuk dikembalikan ke keluarga masing-masing.

Banyak akun X menyebutkan bahwa tawanan Hamas yang kebanyakan warga Israel terlihat memiliki raut wajah bahagia serta sempat melambaikan tangan dan berfoto bersama dengan pasukan Hamas.

Baca juga: Ramai soal Anak Kedua Disebut Sering Bermasalah Ternyata Middle Child Syndrome, Apa Itu?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa warganet menyebut tawanan Hamas mengalami stockholm syndrome.

“Confirmed Israelis have Stockholm syndrome. A hostage waves and greets Palestinians as they cheer and applaud (Warga Israel dikonfirmasi menderita Stockholm syndrome. Seorang sandera melambaikan tangan dan menyapa warga Palestina sambil bersorak dan bertepuk tangan),” tulis akun @YungravenCEO, Sabtu (25/11/2023).

“Stockholm syndrome is obvious when your prisoner alqassam trooper (Stockholm syndrome terlihat jelas ketika tawanan Anda adalah seorang tentara alqassam (sayap militer Hamas)),” tulis @dr_rahash, Minggu (26/11/2023).

"Stockholm syndrome at it finest (Stockholm syndrome yang terbaik)," ketik @rk_uae, Minggu (26/11/2023).

Dalam sebuah video, terlihat seorang tentara Hamas dan tawanan perempuan saling mengucapkan selamat tinggal satu sama lain.

Baca juga: Israel Berencana Tutup 6 Kementeriannya Imbas Perang dengan Hamas di Gaza

Lantas, apa itu stockholm syndrome?

Mengenal stockholm syndrome

Dosen psikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo membenarkan bahwa video yang beredar di media sosial merupakan stockholm syndrome atau sindrom stockholm.

“Stockholm syndrome memang ada, suatu gangguan psikologis pada korban penculikan, penyanderaan, atau tawanan perang,” kata Ratna kepada Kompas.com, Selasa (28/11/2023).

Ratna menuturkan, sindrom tersebut ada karena muncul perasaan positif seperti gembira dan nyaman selama menjadi tawanan atau korban penculikan.

“Korban tidak menyangka bahwa pelaku akan memanusiakan mereka dan bersikap santun,” ujar dia.

“Dalam bayangan kebanyakan orang, korban penculikan terutama tawanan perang akan diperlakukan tidak manusiawi dan caranya kejam hingga akhirnya muncul trauma,” imbuhnya.

Stockholm syndrome bisa terjadi karena berbagai faktor. Dari berbagai faktor inilah, perasaan yang positif bisa membuat tawanan menjadi “menyukai” atau “jatuh hati”.

Sehingga menurutnya, akan muncul kedekatan emosional yang terbangun di antara keduanya, pelaku dan tawanan bisa saling membantu di dalam keadaan terbatas.

“Bahkan saat dipulangkan atau bebas, akan terasa berat untuk meninggalkan pelaku, serta justru ingin membuat kenangan bersama, seperti meminta foto bersama,” terangnya.

Baca juga: Ramai soal Sindrom Nasi Goreng, Apa Itu?

Sebagai bentuk coping mechanism

Ratna menilai, sindrom stockholm ini juga sebagai bentuk coping mechanism atau suatu upaya yang dilakukan seseorang ketika dalam kondisi tertekan atau stres untuk mengatasi tekanan, melindungi diri, dan bertahan hidup.

“Stockholm syndrome ini muncul karena korban penculikan ingin memiliki kesempatan bertahan hidup atau waktu lebih lama untuk menikmati hidup,” ucap Ratna.

Menurutnya, coping mechanism ini bisa terjadi secara sadar ataupun tidak sadar.

“Dalam waktu lama, mereka harus menikmati kondisi yang ada. Di sisi lain, mereka diperlakukan dengan baik oleh pelaku,” ujar dia.

Sehingga, tawanan tidak melawan atau menolak untuk berinteraksi dengan pelaku.

Baca juga: Barack Obama Alami Sindrom Tidur Pendek, Apa Itu?

Awal mula istilah sindrom stockholm

Sesuai namanya, istilah sindrom tersebut muncul dari peristiwa perampokan bank di Stockholm, Swedia pada 1973.

Saat itu, banyak pegawai yang ditawan oleh perampok. Para tawanan tersebut kemudian bersimpati kepada para perampok yang telah menawannya.

Bahkan setelah bebas, para pegawai bank menolak untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan justru mengumpulkan uang untuk membela perampok.

“Kriminolog dan psikiater Swedia bernama Nils Bejerot menamainya dengan istilah sindrom stockholm,” jelas Ratna.

Baca juga: Ramai soal Sindrom Skibidi Toilet, Apa Bahayanya untuk Anak?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi