Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang Indonesia Hampir Rp 8.000 Triliun, Kemenkeu Ungkap Penyebabnya

Baca di App
Lihat Foto
Litbang Kompas
Posisi utang pemerintah. Sumber IMF, Kementerian Keuangan
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Utang Indonesia per Oktober 2023 naik menjadi Rp 7.950,52 triliun.

Angka itu meningkat dibandingkan dengan utang Indonesia pada September 2023 Rp 7.891,61 triliun.

Dilansir dari Kontan, posisi utang pada Oktober 2023 didominasi oleh utang dari surat berharga negara (SBN) yang terdiri dari SBN domestik mencapai Rp 5.677,55 triliun dan SBN valuta asing (valas) mencapai Rp 1.371,35 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, utang pemerintah salah satunya digunakan untuk pendalaman pasar domestik sehingga lebih terjaga dari fluktuasi mata uang luar.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yustinus juga menyebutkan, utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang.

"Seperti membangun infrastruktur, membiayai pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak berlipat untuk generasi mendatang," terang Yustinus, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/11/2023).

Besaran utang diklaim masih di bawah UU

Meskipun utang Indonesia hampir mencapai Rp 8.000 triliun, Yustinus mengatakan pengelolaan defisit APBN dan utang pemerintah masih aman sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Amanat dalam UU tersebut merupakan batasan dalam pengelolaan utang pemerintah yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko pemerintah dalam berutang.

"Defisit APBN masih terjaga kurang dari 3 persen terhadap PDB (2,1 persen per Oktober 2023) dan rasio utang kurang dari 60 persen dari PDB (37,7 persen per Oktober 2023)," kata Yustinus.

Menurutnya, utang pemerintah dikelola secara pruden dan terukur agar bermanfaat besar bagi Indonesia.

Dengan defisit yang rendah, menurut Yustinus, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

"Hal ini menunjukkan utang dikelola dengan baik, terjaga dan hati-hati. Dari rata-rata defisit selama 10 tahun terakhir Indonesia termasuk yang paling kecil di dunia," terang dia.

Baca juga: Kata Pengamat soal Utang Indonesia ke Jepang Rp 4,7 Triliun

Dampak kenaikan utang Indonesia

Di sisi lain, ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan utang Indonesia dikhawatirkan tidak mencerminkan produktivitas ekonomi.

Hal ini karena pertumbuhan utang yang naik tapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen tetapi pertumbuhan utang lebih tinggi, yakni 6 persen.

"Jadi kenaikan utang ini semakin mencerminkan ekonomi yang kurang produktif," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/11/2023).

Menurutnya, hal itu menjadi catatan krusial karena bisa menjadi beban negara.

"Kalau utang pertumbuhannya terlalu cepat dibandingkan sektor riil, maka keberadaan utang ini bukan menjadi leverage tapi justru menjadi beban ekonomi atau yang disebut sebagai dead overhang," terang dia.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa persentase utang masih di bawah ketentuan Undang-Undang, Bhima berpendapat, utang Indonesia sudah masuk ke dead overhang.

Hal tersebut bisa terjadi akibat besarnya biaya bunga utang yang harus dibayar dan juga utang jatuh tempo baru sehingga membuat ruang fiskal semakin sempit.

Misalnya, anggaran untuk bunga utang bisa dialokasikan untuk pembayaran bantuan sosial atau dialokasikan untuk belanja yang lebih produktif tapi sebagian APBN justru habis untuk membayar bunga utang.

"Meskipun utangnya rendah masih jauh di bawah 60 persen, tetapi dari indikator kesehatan utang, misalnya dead to service ratio ataupun perbandingan antara total utang dengan penerimaan, negara ini sudah menunjukkan tanda-tanda yang kurang sehat," tandas dia.

Selain itu, laju utang Indonesia yang terus naik juga bisa berimplikasi pada kondisi crowding out effect di mana keadaan pengeluaran investasi dari sektor swasta menurun karena adanya peningkatan pinjaman pemerintah.

"Kalau ini terjadi apalagi simpanan perbankan saat ini likuiditasnya sangat gemuk tapi tidak terlalu cepat menyalurkan ke kredit maka yang terjadi adalah perebutan dana yang kurang sehat antara dunia usaha dengan pemerintah," tandas Bhima.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi