Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendaki Harus Melewati "Death Zone" untuk Mencapai Puncak Everest, Apa Itu?

Baca di App
Lihat Foto
Unsplash/Kubindra Basnet
Ilustrasi trekking di Gunung Everest, Nepal.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Para pendaki dari seluruh penjuru dunia harus melewati death zone atau zona kematian untuk bisa meraih puncak Gunung Everest.

Namun seperti namanya, banyak pendaki terpaksa mengorbankan nyawa saat berada di titik ini.

Di sana, manusia akan kesulitan bernapas dan mengalami gangguan kesehatan karena kadar oksigen menipis di puncak tertinggi dunia tersebut.

Pendaki Everest yang gagal melewati death zone biasanya akan menemui maut, dan tergeletak begitu saja di sepanjang lereng gunung.

Kondisi gunung yang tinggi sulit untuk membawa mereka turun sehingga banyak mayat dibiarkan tetap berada di "pelukan" Everest. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waktu berlalu, mayat yang berserakan justru menjadi petunjuk jalan bagi pendaki lain.

Baca juga: Lebih dari 300 Pendaki Tewas di Gunung Everest, Bagaimana Mayatnya?


Apa itu death zone Everest?

Puncak Gunung Everest berada di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Diberitakan Mirror (31/12/2023), orang yang melakukan pendakian di gunung tersebut pada ketinggian di atas 8.000 mdpl berarti memasuki lokasi yang sering disebut death zone.

Di lokasi ini, beberapa pendaki akan merasa euforia atau kegembiraan karena sebentar lagi mencapai puncak. Sayangnya, keinginan itu akan berakibat fatal.

Ini karena kondisi angin kencang di death zone ditambah tubuh kekurangan oksigen, dehidrasi, dan kelelahan membuat pendaki kurang hati-hati hingga akhirnya meninggal.

Diperkirakan sekitar 200 mayat pendaki tergeletak di lereng Everest. Karena sulit dipindahkan, mereka menjadi penanda ketinggian dan lokasi di gunung tersebut.

Sesosok mayat yang disebut green boots karena memakai sepatu hijau, menjadi tanda para pendaki sudah memasuki death zone. Mayat itu sudah ada di ceruk berbatu lereng gunung selama 20 tahun.

Suhu gunung yang dingin membuat mayat itu terpelihara dan terawetkan dengan baik, dan hingga kini berguna sebagai peringatan bagi para pendaki yang ingin memasuki zona kematian.

Baca juga: Apa Itu Sherpa, yang Videonya Viral Selamatkan Pendaki Malaysia di Gunung Everest?

Kondisi tubuh di death zone

Seorang pendaki mengaku merasa seperti berlari di atas treadmill dan bernapas melalui sedotan saat berada di zona kematian.

Sementara pendaki lain menyebut dirinya seperti sekarat dan berpacu dengan waktu agar tidak meninggal.

Zona kematian di Everest yang tinggi membuat atmosfernya tipis sehingga pendaki bisa kekurangan oksigen.

Dikutip dari Bussiness Insider (5/9/2023), tubuh manusia bekerja paling baik di permukaan laut karena memiliki kadar oksigen yang cukup untuk otak dan paru-paru.

Di tempat yang lebih tinggi, tubuh kita tidak dapat berfungsi dengan baik karena kekurangan oksigen.

Pada ketinggian 8.000 mdpl, kadar oksidegn yang sangat sedikit membuat sel-sel tubuh mulai mati dalam waktu yang cepat.

Di death zone, para pendaki juga berpotensi mengalami serangan jantung atau stroke, serta kehilangan kemampuan berpikir atau menilai sesuatu.

Hal ini terjadi karena jumlah oksigen dalam darah yang rendah membuat detak jantung bisa melonjak. Kondisi tersebut meningkatkan risiko serangan jantung.

Di dataran tinggi, tubuh memproduksi lebih banyak hemoglobin yang dapat mengentalkan darah. Kondisi ini menyulitkan jantung saat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Dan hal itu dapat meningkatkan risiko stroke.

Masalah lain yang dialami pendaki Everest adalah kelelahan, sesak napas, lemas, bahkan batuk terus-menerus hingga tulang rusuknya patah.

Di zona kematian, otak juga bisa mulai membengkak sehingga menyebabkan mual, sakit kepala, kesulitan berpikir, dan kehilangan nalar yang menghasilkan halusinasi.

Selain itu, tubuh akan mengalami penyusutan otot, penurunan nafsu makan dan berat badan, kebutaan sementara, serta kulit membeku.

Baca juga: Mungkinkah Gunung Everest Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Lagi?

Butuh waktu lama 

Meski death zone berbahaya, banyak pendaki yang terpaksa berada di sana dalam waktu lama. Padahal, menghabiskan waktu sesedikit mungkin di area itu akan lebih aman.

Pendaki Everest dapat mendaki zona kematian dalam waktu sehari. Namun, mereka juga bisa mengantre berjam-jam dengan pendaki lain.

Di waktu normal, mereka mendaki tujuh jam sampai puncak. Perjalanan ini dilakukan di malam hari. Setelah itu, butuh 12 jam perjalanan untuk kembali ke tempat aman sebelum malam.

Meski sulit dan mematikan, diperkirakan sebanyak 4.000 pendaki telah mencapai puncak Gunung Everest dan mengalahkan death zone.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi