Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti BRIN Sebut Hujan Deras di Bandung sebagai Orkestra Hujan, Kok Bisa?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Alexandru Chiriac
Ilustrasi hujan lebat.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut hujan deras yang terjadi di wilayah Bandung, Jawa Barat pada Kamis (11/1/2024) layaknya orkestra hujan.

Hal itu disampaikan oleh Erma melalui akun Twitter pribadi miliknya, @EYulihastin, pada Kamis.

Dalam unggahan tersebut, Erma membagikan momen ketika dirinya mengalami tiga kali hujan deras di lokasi berbeda di wilayah Bandung.

Erma awalnya berangkat menuju sekitaran Cisitu-Dago, saat tiba-tiba turun hujan deras di daerah Tamansari sekitar pukul 14.00 WIB. Hujan tersebut terjadi selama 30 menit, atau selesai sekitar pukul 14.30 WIB.

Kemudian, hujan deras menerjang kembali sekitar pukul 15.00 WIB, ketika dirinya dalam perjalanan pulang di daerah Gunung Batu, dekat Kota Cimahi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan deras pun sempat mereda, yang kemudian terjadi kembali sekitar pukul 15.30 WIB. Saat itu, ia sedang melakukan perjalanan dari rumahnya menuju Padalarang.

Saat awal perjalanan, hujan yang melanda hanya gerimis. Namun berubah menjadi deras ketika ia memasuki Tol Pasteur menuju Tol Padalarang.

“Itu salah satunya, ada lagi kejadian di Serpong-Tangerang-Gunung Sindur (Banten) sekitar 6 Januari 2024 lalu,” ujar Erma kepada Kompas.com, Jumat.

Baca juga: Cara agar Tak Mudah Sakit Saat Puncak Musim Hujan Menurut Kemenkes

Mengenal orkestra hujan

Erma menerangkan, hujan deras yang terjadi sebanyak tiga kali itu ia sebut sebagai “orkestra hujan”.

“Cuaca ekstrem atau hujan deras saat ini menyerupai sebuah orkestra,” kata dia.

Dalam artian, hujan deras tersebut seperti menunggu aba-aba dari dirigen, pemimpin musik simfoni.

“Hujan deras tidak serentak, tapi menunggu giliran waktu dan lokasi. Menunggu sang dirigen hujan memberi aba-aba,” terangnya.

Erma melanjutkan, orkestra hujan tersebut menggambarkan teori hujan ekstrem yang disebut sebagai Self-Organized Criticality (SOC) yang terjadi di beberapa titik.

Ia menjelaskan, dirigen pada orkestra hujan yang dimaksud adalah alam itu sendiri, hasil dari penggabungan sejumlah SOC yang ada.

“Nah proses penggabungan itu secara alamiah akan memunculkan leader atau dirigen bagi orkestra itu,” tuturnya.

Baca juga: Fenomena Tanah Bergerak Usai Hujan Deras di Bekasi, Apa Penyebabnya?

Tentang Self-Organized Criticality

Pada dasarnya, Self-Organized Criticality atau SOC tersebut terjadi setiap waktu di atmosfer Bumi. Dalam artian, atmosfer itu bisa meregulasi dirinya sendiri sebagai sebuah sistem.

Dalam sistem tersebut, terdapat uap air, temperatur atau suhu, tingkat kelembapan, dan lain sebagainya.

“Seluruh parameter yang punya potensi membentuk uap air yang kemudian menjadi hujan dalam bentuk awan melalui satu proses yang disebut dengan SOC,” terangnya.

Ia menambahkan, SOC mempunyai ambang batas untuk meregulasi dirinya sendiri. Ia pun mengumpamakannya seperti sebuah tumpukan pasir.

“Seperti sebuah pasir kalau diumpamakan, terus-menerus pasir itu kita tumpuk maka pada suatu ambang batas tertentu akan kolaps,” ucapnya.

“Artinya, ada satu titik kritis tertentu ketika sistem sudah tidak mampu menampung, maka akan kolaps. Sama seperti itu proses hujan di alam ini,” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa terdapat multiplikasi energi dikarenakan ada proses pembentukan badai di dalam SOC tersebut, yang disebut sebagai squall line.

Sehingga squall line ini yang tadinya berupa barisan hujan, akan menimbulkan angin kencang, dan hujan yang bisa sangat ekstrem di suatu tempat tertentu.

Bahkan, hujan jenis ini juga bisa disertai petir dan angin puting beliung.

“Ada microburst dan downburst, artinya hujannya luar biasa derasnya, fokus di satu titik atau satu area yang terbatas,” jelasnya.

Baca juga: Viral, Video Hujan Es di Kompleks Candi Arjuna, Ini Penjelasan BMKG

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi