Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Pemakzulan Presiden, Bagaimana Proses dan Dasar Hukumnya?

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan di acara Forum Rektor Indonesia yang digelar di Surabaya, Jawa Timur pada Senin (15/1/2024) sebagaimana dilansir siaran YouTube Sekretariat Presiden.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Isu pelengseran Presiden Joko Widodo muncul setelah sejumlah tokoh yang mengatasnamakan diri sebagai Petisi 100, mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Selasa (9/1/2024).

Mereka melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2024 hingga pemakzulan terhadap Jokowi.

Para tokoh ini, seperti, Faizal Assegaf, Marwan Batubara, dan Letnan Jenderal TNI Marsekal (Purn) Suharto.

"Ada 22 orang (yang datang). Mereka menyampaikan, tidak percaya, pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan, melalui desk pemilu yang ada," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Respons Menko Polhukam

Terkait adanya Petisi 100 tersebut, Mahfud mengaku tidak bisa menindak laporan itu.

Hal tersebut karena masalah itu menurutnya bukan kewenangannya.

Mahfud mengatakan, laporan tersebut seharusnya disampaikan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai penyelenggara pemilu.

"Menko Polhukam tidak boleh menilai jalannya pemilu itu karena yang bertugas menilai, menurut konstitusi adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP. Atau kalau kecurangan, Mahkamah Konstitusi nantinya," ujar Mahfud.

Lalu, apa itu pemakzulan presiden dan bagaimana aturannya dalam Undang-Undang Dasar 1945?

Baca juga: Memahami Penyelidikan Pemakzulan yang Sedang Dihadapi Presiden Joe Biden...


Baca juga: [HOAKS] BEM SI Akan Gelar Demo, Agendanya Pemakzulan Presiden Jokowi

Penjelasan ahli

Dosen hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan, pemakzulan presiden tidak terikat oleh waktu tertentu dan dapat terjadi kapan saja.

Meskipun demikian, pemakzulan presiden tidak dapat dilakukan oleh kelompok tertentu dan harus diusulkan oleh DPR sebagai lembaga yang berhak mengusulkan.

“Jadi mau namanya forum gerakan apapun, kalau bisa menggalang dukungan di DPR dan disetujui lalu memenuhi syarat, maka DPR dapat mengajukan usul ini ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkap Manunggal saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/1/2024).

Dasar hukum pemakzulan presiden

Seperti diketahui, pemakzulan berasal dari kata dasar makzul yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta.

Dasar hukum pemakzulan presiden tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi sebagai berikut:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Memakan waktu lama dan rumit

Manunggal mengatakan, meskipun mekanisme pemakzulan diatur dalam UUD 1945, proses pemakzulan memerlukan waktu yang lama dan rumit. 

Disebutkan, dari usulan hingga nantinya jika disetujui presiden turun dari jabatannya akan melalui waktu yang cukup panjang. 

“Jika dikatakan mungkin, ya mungkin saja terjadi. Namun proses hukum yang akan dilakukan tidak semudah itu,” ujarnya.

Pihaknya menjelaskan, usulan pemakzulan harus diajukan DPR dan diserahkan ke MK, dan dalam prosesnya akan memakan waktu paling lambat 90 hari untuk mempertimbangkan usulan tersebut.

Di waktu tersebut, MK harus mempertimbangkan alasan pemakzulan apakah dinilai rasional untuk dilakukan atau tidak.

“Bahasa mudahnya, nanti MK akan menentukan setuju dengan usul pemakzulan DPR atau tidak,” katanya.

Apabila MK menyetujuinya, baru berkas akan dikirimkan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dipertimbangkan kembali.

Barulah ketika MPR menyetujui, maka presiden secara resmi dimakzulkan atau turun dari jabatannya.

“Jadi tidak hanya satu lembaga saja yang berperan, tapi ada tiga lembaga sekaligus yang memproses pemakzulan presiden," paparnya. 

Hal ini lah yang menurutnya disebut check and balances, yaitu ketika ada lembaga yang mengusulkan, yang lain dapat mengimbangi dan mempertimbangkan usulan. 

Baca juga: Sudah Lengser, Apa Hukuman bagi Trump jika Terbukti Bersalah dalam Sidang Pemakzulan?

Aturan dan tahapan pemakzulan presiden

Presiden dapat dimakzulkan sebagaimana diatur dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Adapun bunyi dari pasal 7A UUD 1945 berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Dari pasal tersebut, syarat pemakzulan Presiden yaitu ketika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa:

  • Pengkhianatan terhadap negara,
  • Korupsi,
  • Penyuapan,
  • Tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
  • Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Adapun usulan awal pemakzulan presiden dapat diusulkan oleh DPR yang tercantum dalam pasal 7B ayat 1UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Usul pemakzulan presiden oleh DPR dinyatakan sah jika memenuhi syarat sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR seperti yang tercantum dalam pasal 7B ayat 3 UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”

Jika sudah memenuhi syarat, selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) akan meninjau kembali usulan pemakzulan seperti yang tercantum dalam pasal 7B ayat 4 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil -adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.”

Apabila MK memutuskan presiden terbukti melakukan pelanggaran, selanjutnya DPR merumuskan usul pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7B ayat 5 UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk merumuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Selanjutnya, MPR akan menggelar sidang untuk memutuskan usul dari DPR sebagaimana tercantum dalam pasal 7B ayat 6 yang berbunyi:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.”

Adapun usul tersebut menjadi sebuah putusan apabila dihadiri sekurang-kurangnya ¾ jumlah anggota MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir seperti yang tercantum dalam pasal 7B ayat 7 UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.”

Baca juga: Seruan Pemakzulan Muncul, Bisakah Trump Dicopot Sebelum Jabatannya Berakhir pada 20 Januari?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi