Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi

Baca di App
Lihat Foto
shutterstock
Buchenwald
Penulis: Jaya Suprana
|
Editor: Sandro Gatra

SAYA membaca buku dan menonton film tentang kekejaman kamp konsentrasi yang didirikan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II.

Bahkan setelah Perang Dunia II dan Jerman kembali bersatu, saya menyempatkan diri berziarah ke petilasan kamp konsentrasi Buchenwald yang kini berfungsi sebagai museum pengingatan kekejaman manusia terhadap sesama manusia.

Namun semula saya tidak tahu ada orang Indonesia yang pernah menjadi tahanan di kamp konsentrasi Buchenwald sampai saat saya membaca buku berjudul “Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi” yang ditulis oleh Parlindoengan Loebis dengan kata pengantar sejarawan dan Direktur KITLV penyusun biografi Tan Malaka, DR. Harry A.Poeze dengan editor sejarawan JJ Rizal diterbitkan pada 2006 oleh Komunitas Bambu.

Otobiografi Parlindoengan Loebis yang wafat di Jakarta 31 Desember 1994 merupakan dokumen unik mengenai pengalaman seorang mahasiswa Indonesia di Belanda.

Dr. Loebis tidak hanya berkisah kegiatan pribadi sebagai mahasiswa kedokteran sejak 1932, namun juga organisasi-organisasi tempat mahasiswa Indonesia melakukan pergerakan khususnya Perhimpunan Indonesia yang diketuainya sejak 1936.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada Juni 1941, Parlindoengan Loebis ditangkap oleh tentara pendudukan Nazi Jerman tanpa tuduhan. Ia disekap di dalam kamp konsentrasi di Schoorl dan Amersfoort, Belanda sebelum dipindah ke Jerman, yaitu di Buchenwald dan Sachsenhausen.

Di dalam buku “Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi”, Parlindoengan Loebis berkisah tentang penderitaan yang tak terbayangkan oleh nalar sehat manusia sebagai berikut:

“Sebagai seorang tawanan dalam kamp konsentrasi, untuk bertahan hidup kita harus menjadi manusia yang primitif kembali dan berusaha hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang paling primitif, yaitu makan secukup mungkin, tidak menjadi sakit dan mengeluarkan tenaga sedikit mungkin. Masa lampau sekali-kali jangan dikenang. Masa yang akan datang jangan diharapkan. Hiduplah untuk hari ini saja. 'Live just for now!' Itulah semboyan yang harus kupegang untuk survive!”

Mengharukan adalah kata pengantar keluarga yang ditulis oleh putri kandung Dr. Parlindoengan Loebis, Cary Sutan Loebis sebagai berikut:

“Para pendahulu kita, orang tua kita, Pejuang Kemerdekaan serta para pahlawan sudah berkorban untuk kemerdekaan Indonesia, bukan untuk kemerdekaan daerah-daerah dari mereka berasal, baik itu perjuangan secara fisik, politik maupun kebudayaan.

Masih teringat sebuah pesan dari almarhum ayah saya – Parlindoengan Loebis – yang kebetulan sebagai pelajar di Belanda pada zaman kolonial ikut berjuang untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan dan kemudian terseret masuk konsentrasi kamp Nazi pada Perang Dunia II di Eropa.

Pesan itu berbunyi 'Pertahankan Kewibawaan Sang Saka Merah Putih, jangan sia-siakan darah dan air mata kami'”.

Insya Allah, pesan almarhum Dr Parlindoengan Loebis berkenan cermat dan seksama dihayati bersama oleh para warga bangsa Indonesia yang sedang sibuk memecah-belah bangsa, negara dan rakyat Indonesia hanya demi memperebutkan singasana tahta kekuasaan yang sebenarnya fana belaka.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi