Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Sorotan Saat Debat Cawapres, Apa Itu "Greenflation"?

Baca di App
Lihat Foto
Screenshot/YouTube KPU
Apa itu Greenflation. Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD dalam debat pilpres ke-4, Minggu (21/1/2024).
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Istilah greenflation menjadi salah satu istilah yang muncul dalam debat keempat capres-cawapres untuk Pilpres 2024 pada Minggu (21/1/2024) di Jakarta.

Hal ini bermula ketika calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka mengajukan pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.

"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Terima kasih," tanya Gibran.

Menjawab pertanyaan, Mahfud mengatakan bahwa inflasi hijau atau ekonomi hijau adalah sebuah proses pemanfaatan produk ekonomi pangan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Atau produksi apa pun diproduksi kemudian dimanfaatkan di-recycle, bukan dibuat jadi bukan barang itu, lalu dibiarkan mengganggu ekologi," jelas Mahfud.

Baca juga: Gibran Sebut Akan Ada 5 Juta Lapangan Kerja Green Jobs, Apa Itu?

Namun, Gibran menyampaikan, greenflation adalah masalah inflasi hijau yang memicu Demo Rompi Kuning di Perancis.

Menurutnya, fenomena ini sangat berbahaya dan telah memakan korban jiwa, sehingga perlu diantisipasi agar tak terjadi di Indonesia.

"Negara maju saja masih ada tantangan-tantangannya. Intinya transisi menuju energi hijau itu harus super hati-hati, jangan sampai malah membebankan RnD yang mahal," tutur Gibran.

"Proses transisi yang mahal ini kepada masyarakat pada rakyat kecil itu maksud saya inflasi hijau," lanjutnya.

Lantas, apa itu greenflation?


Baca juga: Saat Muhaimin dan Mahfud MD Kompak Soroti Kegagalan Food Estate...

Pengertian greenflation

Greenflation adalah inflasi hijau, yang mengacu pada kenaikan harga bahan mentah dan energi sebagai akibat dari transisi hijau.

Dilansir dari Philonomist, greenflation mencerminkan kenaikan harga yang dapat bersifat jangka panjang, seiring dengan upaya negara untuk memenuhi komitmen lingkungannya.

Meningkatnya pengeluaran untuk teknologi ramah lingkungan, seperti bebas karbon pun menyebabkan kenaikan harga bahan-bahan yang strategis untuk infrastruktur.

Di sisi lain, intensifikasi peraturan lingkungan hidup kerap membatasi investasi pada proyek pertambangan yang berpolusi tinggi.

Kondisi tersebut berimbas pada terbatasnya pasokan bahan baku, sehingga mengakibatkan kenaikan harga.

Baca juga: Ungkap Sulitnya Cabut Izin Usaha Pertambangan yang Merugikan Rakyat, Mahfud: Mafianya Banyak

Sebagai contoh, pajak karbon yang membantu menjaga lingkungan hidup, menyebabkan harga bahan bakar naik. Hal inilah yang memicu gerakan protes Rompi Kuning di Perancis pada 2018.

Dari segi logam strategis, harga litium yang digunakan untuk membuat baterai mobil listrik meningkat sebesar 400 persen pada 2021.

Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, sementara permintaan litium diperkirakan akan meningkat sebanyak 40 kali lipat pada 2040.

Hal yang sama berlaku untuk aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, dengan harga naik dua kali lipat antara 2021 dan 2022.

Kondisi tersebut diperkirakan akan bertahan lama lantaran China yang memproduksi 60 persen dari seluruh aluminium, telah memutuskan untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi, untuk mencapai netralitas karbon.

Baca juga: Beda Cara Anies, Prabowo, dan Ganjar Berantas Korupsi jika Terpilih Jadi Presiden 2024

Greenflation picu kekhawatiran jangka pendek

Di sisi lain, anggota lembaga nirlaba yang berbasis di India, Dewan Energi, Lingkungan, dan Air (CEEW) Vaibhav Chaturvedi, melihat greenflation sebagai suatu kekhawatiran, terutama dalam jangka pendek.

"Harga komoditas yang mendasarinya meningkat di seluruh dunia," kata dia, dikutip dari laman Euronews.

Menurutnya, harga logam seperti timah, aluminium, tembaga, serta nikel-kobalt telah meningkat hingga 91 persen pada 2021.

Logam-logam tersebut kerap digunakan dalam teknologi yang merupakan bagian dari transisi energi.

Namun, Chaturvedi melihat penurunan biaya pendanaan proyek-proyek energi terbarukan dapat menjadi pengaruh yang besar untuk melawan kenaikan biaya-biaya mendasar.

Sementara itu, wakil direktur jenderal Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) Gauri Singh berpendapat, meski terjadi gangguan inflasi dan rantai pasokan, penurunan biaya pendanaan membantu menghasilkan rekor energi sebesar 260 gigawatt dari sumber terbarukan pada 2020.

"Anda tidak akan mendapatkan uang murah untuk hal-hal yang berisiko terhadap iklim, sedangkan untuk energi terbarukan, pasarnya melemah," kata Singh.

Baca juga: Anies dan Ganjar Ingin Hapus Syarat Batas Usia dalam Lowongan Kerja, Mungkinkah Diterapkan?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi