Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua KPU Hasyim Asy'ari Terbukti Langgar Etik Terkait Pendaftaran Gibran Jadi Cawapres, Ini Penjelasan DKPP

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Fika Nurul Ulya
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari buka suara terkait salah satu anggota KPU Padangsidimpuan, Parlagutan Harahap, yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan calon legislatif di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2023).
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari terbukti melakukan pelanggaran etik terkait proses pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito dalam sidang putusan di Jakarta, Senin (5/2/2024).

Atas pelanggaran kode etik yang dilakukan, DKPP menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras terakhir kepada Hasyim.

Ia terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam empat perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Hasyim Asy'ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu," ujar Heddy dikutip dari Kompas.com, Senin.

"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu 1," sambungnya.

Selain Hasyim, DKPP juga menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras kepada enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Kholid.

Baca juga: Mengapa Pemilu Selalu Digelar Hari Rabu? Ini Kata KPU

Duduk perkara Ketua KPU langgar kode etik

Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menjelaskan alasan pihaknya memutus bahwa Hasyim terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

Ia menjelaskan, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.

Adapun, putusan MK tersebut membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, kata Wiarsa, berdampak pada syarat calon peserta pemilihan presiden (pilpres).

Oleh sebab itu, KPU seharusnya melakukan perubahan atas Peraturan KPU (PKPU) sebagai pedoman teknis pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024.

"Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau tujuh hari setelah putusan MK diucapkan," jelas Wiarsa.

Baca juga: Petugas PPS dan KPPS di Bantul Wajib Setor Nomor KK, NIK, dan Nama Ibu Kandung, Ini Penjelasan KPU

DKPP sebut langkah KPU tidak tepat

Para teradu, termasuk Hasyim, sempat memberi penjelasan kepada DKPP terkait mengapa permohonan konsultasi kepada DPR baru dilakukan pada 23 Oktober 2023.

KPU mengatakan, hal tersebut baru dilakukan pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang masa reses.

Namun, DKPP menilai alasan dari KPU mengenai terlambatnya mengirimkan permohonan konsultasi kepada DPR dan pemerintah setelah MK mengeluarkan putusan tidak tepat.

"DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib," tandas Wiarsa.

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden dan Menteri Boleh Kampanye, Ini Kata KPU

DKPP nilai langkah KPU menyimpang

Tak hanya itu, Wiarsa juga menyampaikan, komisioner KPU yang lebih dulu menyurati pimpinan partai politik setelah putusan MK tentang syarat batas usia capres dan cawapres ketimbang berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR sebagai hal yang menyimpang dari Peraturan KPU (PKPU).

Tindakan komisioner KPU yang tidak berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR dengan segera untuk mengubah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang pencalonan peserta Pemilu dan capres dan cawapres juga dinilai sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

"Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah Pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU," ucap Wiarsa.

"Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024," tambahnya.

Wiarsa menjelaskan, PKPU sebagai peraturan teknis sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman cara bekerjanya KPU dalam melakukan tindakan penerimaan pendaftaran bakal capres-cawapres pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo.

DKPP memerintahkan KPU untuk melaksanakan amar putusan paling lama tujuh hari setelah dibacakan.

DKPP turut memerintahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengawasi putusan tersebut.

"DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib," ujar Wiarsa dikurtip dari Kompas.com, Senin.

(Sumber: Kompas.com/Aryo Putranto Saptohutomo). 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi