KOMPAS.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari.
Penjatuhan sanksi ini dikarenakan terbukti melanggar kode etik terkait proses pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta pemilihan presiden (pilpres).
"Hasyim Asy'ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu," kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan sidang di Jakarta, dikutip dari Kompas.com, Senin (5/2/2024).
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu 1," sambungnya.
Terima pendaftaran saat PKPU belum revisi
DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Para teradu didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres pada 25 Oktober 2023.
Menurut para pengadu, hal itu tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 karena belum direvisi atau diubah setelah adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Lantas, bagaimana nasib pencalonan Gibran Rakabuming Raka setelah putusan DKPP?
Putusan DKPP tidak berpengaruh pada pencalonan Gibran
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, putusan DKPP untuk memberi sanksi pada Ketua dan Komisioner KPU tidak berpengaruh terhadap penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dalam Pemilu 2024.
"Pada dasarnya tentu saja putusan DKPP tidak dapat mengubah hasil pendaftaran karena yang disasar etika penyelenggara pemilu," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/2/2024).
Namun, menurutnya, perbuatan tidak etis penyelenggaraan pemilu tersebut dapat berdampak pada administrasi pendaftaran Gibran sebagai salah satu kontestan Pilpres 2024.
Dengan syarat, pihak-pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Feri melanjutkan, pelanggaran kode etik oleh ketua beserta anggota KPU nantinya dapat menjadi alat bukti adanya pelanggaran administrasi.
"Tentu langkah hukumnya tidak serta-merta, tetapi dapat digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pelanggaran administrasi," ungkap Feri.
Baca juga: Hari Ini DKPP Periksa Komisioner KPU soal Gibran Jadi Cawapres
Pencalonan Gibran dapat batal jika diputus PTUN/Bawaslu
Jika PTUN maupun Bawaslu melihat adanya pelanggaran administrasi dalam pendaftaran peserta pilpres, barulah penetapan Gibran sebagai cawapres dapat dibatalkan.
"Mereka bisa memutus telah terjadi pelanggaran administrasi dan kemudian membatalkan proses administrasi pemilihan atau terdaftarnya Gibran sebagai salah satu peserta pilpres," tuturnya.
Di sisi lain, Feri berpandangan, putusan DKPP sedikit banyak akan memengaruhi elektabilitas pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Terlebih, jika publik menyadari sederet tindakan yang ditempuh untuk meloloskan peserta Pilpres 2024 ini.
"Tentu ada pengaruhnya, kalau publik menyadari bahwa seluruh proses dilakukan dengan curang dan melibatkan berbagai pihak untuk melakukan kecurangan itu," ucapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.