Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Amplop Putih Isi Rp 100 Ribu, Serangan Fajar di Masa Tenang Pemilu 2024

Baca di App
Lihat Foto
THINKSTOCK
Ilustrasi politik uang seranga fajar.
|
Editor: Mahardini Nur Afifah

KOMPAS.com - Memasuki masa tenang Pemilu 2024, serangan fajar intens terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah. Berikut sejumlah potret kisahnya. 

Sesaat selepas shalat subuh ketika matahari baru beranjak naik, Senin (12/2/2024), pintu rumah KA, 35, diketuk beberapa kali.

Warga yang tinggal di salah satu kabupaten di Jawa Tengah ini masih berada di tempat tidur. Ia pun enggan buru-buru beranjak karena tak lazim ada tamu sepagi itu.

Namun, ibunda KA yang mendengar ada orang bertamu ke rumahnya penasaran dan segera membukakan pintu. 

Sayup-sayup dari dalam rumah, KA mendengar seorang pria paruh baya tengah berbincang dengan ibunya dengan bahasa Jawa halus. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dari dalam kamar itu aku dengar kalau ibu ditanya, di rumah ada berapa orang yang mencoblos. Lalu dia kayak mengeluarkan amplop putih sebanyak orang yang punya hak pilih di rumah," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Senin siang. 

Setelah sang tamu beranjak pergi, KA baru keluar kamar. Ia lalu menanyai ibunya, siapa tamu yang barusan bertandang ke tempatnya, sembari membuka amplop putih yang isinya selembar uang Rp 100.000. 

Dari cerita ibunya, ia lalu tahu bahwa sosok yang barusan mengantar amplop ke rumahnya adalah orang yang sama, yang membagikan amplop saat pilkades beberapa waktu lalu. 

"Pesannya disuruh milih presiden-wakil presiden tertentu, kader partai di DPR RI ditentukan, caleg DPRD Kota/Kabupaten juga ditentukan. Untuk caleg DPD dan DPRD Provinsi tidak ditentukan," beber dia. 

Menurut KA, tidak semua orang di sekitar tempat tinggalnya didatangi sosok kurir amplop serangan fajar tersebut. 

Biasanya, beberapa di antara mereka lebih dulu melakukan pemetaan dengan cara mendata warga yang terkait atau kenal dengan kader parpol, atau orang yang berhubungan dekat dengan kurir amplop.

KA mengaku keluarganya atau warga di sekitar tempat tinggalnya tidak enak hati menolak amplop tersebut. Pasalnya, mereka kenal dengan sosok pengantar amplop serangan fajar.

Selain itu, KA mengaku tidak mengembalikan menerima amplop tersebut karena berdasarkan pengalaman di pilkades sebelumnya, arahan tersebut tidak diikuti paksaan atau intimidasi saat pencoblosan. 

Baca juga: Kenali Apa itu Serangan Fajar dalam Pemilu, Contoh Aksi, dan Hukumnya

"Ya, enggak nurut mencoblos yang ditunjuk juga sih. Karena kan aku enggak sreg dengan mereka-mereka itu," ungkap dia.  

Pengalaman pertama menerima amplop serangan fajar pada pemilu serentak ini lantas KA bagikan di grup obrolan teman dekatnya di Whatsapp. 

HA, 32, teman dekat KA lantas merespons, "Di tempatku juga ada kemarin," kata warga yang tinggal berbeda kabupaten dari KA, tapi masih berada di wilayah Jawa Tengah ini. 

Berbeda dari KA, HA mengaku amplop yang dibagikan salah satu tetangganya berisi uang Rp 50.000.

Arahannya sedikit berbeda dari KA. Penerima amplop di tempat HA diarahkan untuk mencoblos caleg tertentu yang akan mewakili DPRD Kota/Kabupaten. 

"Mereka bagi-bagi habis Maghrib. Terus dibilangin kalau disuruh mencoblos caleg DPRD kota/kabupaten tertentu," ujar dia, saat berbincang terpisah dengan Kompas.com. 

Seperti serangan fajar di tempat KA, di tempat HA, politik uang juga tidak disertai intimidasi atau ancaman tertentu saat di TPS.

Baca juga: Bawaslu Petakan 7 Potensi Kerawanan di TPS Pemilu 2024, Ada Netralitas dan Kendala Internet


Baca juga: Masa Tenang Pemilu 2024 Dimulai Hari Ini, Berikut Hal yang Tidak Boleh Dilakukan

Sanksi hukum serangan fajar dan politik uang

Warga yang menerima serangan fajar seperti KA dan HA sebenarnya menjadi bagian dari praktik politik uang.

Mereka perlu melaporkan kejadian tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di sekitar tempat tinggalnya.

Pelaku serangan fajar bisa dijerat dengan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berikut perinciannya:

  • Orang yang sengaja berjanji atau memberikan uang/materi lain saat pemungutan suara agar pemilih tidak memilih, memilih peserta pemilu tertentu, atau membuat surat suaranya tidak sah, dipidana penjara maksimal tiga tahun dan denda maksimal Rp 36.000.000.
  • Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang menjanjikan atau memberikan uang/materi lain kepada pemilih pada masa tenang akan dipidana penjara maksimal empat tahun dan denda maksimal Rp 48.000.000
  • Orang yang sengaja menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya pada hari pemungutan suara kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00.

Serangan fajar akan makin intens

Dihubungi terpisah, Direktur Setara Institute Halili Hasan menilai aksi serangan fajar akan semakin meningkat jelang hari H atau pencoblosan Pemilu 2024.

"Kalau melihat data kecurangan, dalam tiga bulan terakhir (November 2023-Februari 2024), terjadi lonjakan hampir 300 persen dari pemantauan antara Mei-Oktober 2023," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (12/2/2024).

Data kecurangan tersebut dihimpun Setara Institute bersama Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Keadilan Pemilu (Singkap) dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis.

Menurut data per 5 Februari 2024, pelanggaran kampanye pemilu terjadi di hampir seluruh provinsi Indonesia.

Lima provinsi dengan jumlah pelanggaran terbanyak yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, serta Jawa Timur.

Halili menjelaskan, serangan fajar politik termasuk salah satu bentuk pelanggaran yang masih terjadi semasa pemilu meskipun transparansi cenderung mulai diterapkan di Indonesia.

"Serangan fajar terjadi karena kuatnya kecenderungan machiavellisme atau strategi politik untuk menghalalkan segala cara," terangnya. 

Para politikus ingin meraih suara yang lebih banyak di pemilu dengan bertindak manipulatif, dan melakukan segala hal termasuk membeli hak pilih rakyat.

Selain itu, dia juga menyoroti pendidikan politik di dalam negeri yang masih belum matang. Padahal, nilai elektoral dan jumlah pemilik hak suara di Indonesia besar.

Atas kondisi ini, Halili mengungkapkan hal yang paling ideal dilakukan publik saat mengetahui adanya serangan fajar adalah dengan melaporkan tindakan tersebut.

"(Melaporkan) secara formal ada jejaring kelembagaan pengawas pemilu yaitu Bawaslu," lanjut dia.

Jika melaporkan secara formal tidak cukup atau prosesnya terlalu berbelit-belit, warga dapat membagikan kejadian serangan fajar melalui media sosial.

"Ada media publik untuk memviralkan serangan fajar, baik melalui media mainstream atau melalui media sosial," imbuh Halili.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi