Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Thomas Alva Edison, Pengembangan Paten Industri Musik, dan AI

Baca di App
Lihat Foto
wikipedia.org/Andrew Balet
Di lantai atas di Laboratorium Menlo Park Thomas Edison (bangunan replika dibangun pada tahun 1929 di Greenfield Village).
Editor: Sandro Gatra

ALKISAH suatu hari Thomas Alva Edison menyambangi kantor. Ia meletakkan mesin kecil di atas meja dan kemudian memutar engkolnya.

Peristiwa yang terjadi pada 1877 itu amat membekas dan kemudian menjadi bagian sejarah paten dunia.

Mesin yang diperagakan Thomas Edison tersebut kemudian mengeluarkan suara. Menanyakan kesehatan, bertanya bagaimana menyukai fonograf, memberi tahu bahwa alat tersebut sangat bagus, dan menyampaikan ucapan selamat malam yang ramah.

Peristiwa itu adalah awal perjalanan invensi paten fonograf, sebagai alat perekam suara yang sangat menakjubkan di mana suara bisa disimpan setelah ditangkap oleh silinder.

Momen bersejarah itu dilaporkan Scientific American 22 Desember 1877, dan dikutip Kembali oleh Doug Boilesen delam publikasinya “Scientific American publishes "The Talking Phonograph" 2017.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilansir portal This Day In History: “1878 Thomas Edison patents the phonograph” bahwa Thomas Edison diganjar mendapatkan Paten AS No. 200.521 untuk invensi fonograf tertanggal 19 Februari 1878.

Artikel ini saya tulis dalam rangka penelitian Academic Leadership pada Pusat Studi Cyberlaw dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Materi ini saya bagikan juga kepada pembaca Kompas.com untuk manfaat lebih luas.

Invensi Paten

Invensi paten Fonograf saat itu tidak sekadar merupakan hal baru (new invention). Teknologi fonograf juga merupakan hal tak terduga, yang tak pernah terpikirkan bukan hanya oleh awam, bahkan oleh seorang ahli sekalipun yang kemudian bermanfaat bagi industri musik dunia.

Paten yang kemudian dikembangkan di laboratorium New Jersey itu membuat bisnis musik modern berkembang pesat.

Realitas ini juga menunjukan bahwa industri musik tak hanya melulu berurusan dengan hak cipta. Musik juga lekat dengan paten, bagian kekayaan intelektual lain berbasis teknologi.

Sebagai inventor, Thomas Edison memang luar biasa. Dikutip dari publikasi resmi Kantor Paten AS, United State Patent And Trade Mark Office (USPTO), inventor hebat itu lahir 11 Februari 1847 di Milan, Ohio.

Sejarah mencatat ia menerima lebih dari 1000 paten granted selama hidupnya. Termasuk paten legendaris atas invensi lampu pijar listrik yang mengubah pola kehidupan manusia, pemancar telepon karbon, dan proyektor gambar bergerak.

Sejarah mencatat, memang sebelum Thomas Edison menemukan fonograf sudah ada penemuan invensi alat perekam suara.

Emma Jacobs dalam artikelnya “Edison vs. Scot The complicated story behind the invention of sound recording” (31/5/ 2017) menyatakan, bahwa inventor Perancis abad ke-19 Edouard-Léon Scott de Martinville, telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan konversi ucapan menjadi teks.

Dua dekade sebelum Edison menemukan Fonograf, Scott mengklaim telah bisa menangkap suara dari udara berdasarkan invensi yang disebutnya “phonautograph”, yang instrumennya terdiri dari drum besar.

Suara yang diarahkan ke dalam drum bergetar. Membran yang dipasang pada jarum kemudian menggoreskan garis bergelombang pada kertas hitam jelaga, yang dililitkan pada silinder engkol tangan. Invensi Scott dalam sistem hukum paten disebut sebagai prior art.

Prior art adalah pengetahuan atau kecakapan terdahulu yang telah diungkapkan kepada umum, baik berasal dari referensi paten maupun non paten.

Apakah invensi Scott menjadi prior art untuk invensi Thomas Edison, selanjutnya akan saya uraikan.

Realitasnya, Scott ternyata tidak pernah mengembangkan invensi berupa cara atau teknologi untuk memutar rekamannya kembali. Dari fakta teknologi ini, terdapat perbedaan antara invensi "fonograf" milik Edison dengan invensi “phonautograph” milik Scott.

Sistem paten pada prinsipnya selalu melihat kebaruan berdasar hal-hal spesifik, dan hal-hal tak terduga sebelunya (non-obvious), bukan sekadar dari sisi kesamaan fungsionalnya.

Meskipun keduanya secara fungsional memiliki kesamaan sebagai alat perekam, tetapi jika metode, langkah inventif, dan produk akhirnya berbeda, maka keduanya dianggap sebagai invensi berbeda dan memenuhi nilai “novelty” atau syarat kebaruan untuk diberi paten (patent granted).

Hal yang juga penting adalah, secara hukum kapan invensi mulai dilindungi paten?

Kebanyakan negara termasuk Indonesia, dalam UU Patennya menganut prinsip “first to file”, yaitu prinsip pelindungan paten berdasarkan pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran.

Tanggal penerimaan pendaftaran menjadi dasar mulainya pelindungan hukum itu. Prinsip ini diakui sebagai stelsel paten yang paling memberikan kepastian hukum.

Hilirisasi Paten

Sejarah mencatat, bahwa Thomas Edison, tidak berhenti hanya sampai ditemukannya invensi fonograf. Ia dikenal sebagai ilmuwan yang intens mengembangkan salah satu laboratorium penelitian industri pertama di dunia.

Korelasi antara hasil riset dengan aplikasi nyatanya dalam industri adalah keniscayaan. Dalam hal inilah hilirisasi paten, dalam arti diaplikasikan dalam industri dan dikomersialkan merupakan strategi yang harus direalisasikan. Dan itu yang dicontohkan tokoh Thomas Edison.

Negara-negara maju menunjukan, riset adalah jantung industri mereka. Namun demikian, mendorong para peneliti menemukan invensi baru yang non-obvious saja tidak cukup, jika tanpa hilirisasi dan aplikasinya dalam industri.

Indonesia memiliki UU 13/2016 tentang Paten. Agar invensi dapat dilindungi secara ekslusif, maka harus didaftarkan sebagai paten dengan memenuhi persyaratan patentabilitas.

Untuk paten biasa, syarat itu mencakup unsur kebaruan (Novelty), dan langkah Inventif (Inventive Step) di mana invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh level ahli sekalipun.

UU Paten juga menekankan bahwa hal lain yang harus dipenuhi sebagai syarat patentabilitas adalah unsur praktis, yaitu harus dapat diterapkan dalam Industri (Industrial Applicable).

Paten terus berkembang. Berkaca dari Paten Fonograf, tak jarang invensi baru ditemukan pada model yang mungkin memiliki kesamaan atau kemiripan fungsi dalam produk akhirnya, tetapi berbeda dari nilai guna, kecanggihan, penggunaan bahan, metode dan spesifikasi teknisnya.

Terkait dengan ukuran similaritas paten, dalam teori kita kita mengenal Doctrine of Equivalents. Doktrin ini berbicara tentang ekuivalensi klaim invensi paten seperti melakukan hal yang sama dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang sama.

Di AS negara gudangnya inventor dunia, doktrin ini dalam praktik diterapkan sangat hati-hati oleh pengadilan.

Karena similaritas benar-benar harus dilihat dan dikaji detail berdasarkan klaim-klaim patennya yang sangat spesifik dan detail.

Penerapan doktrin ini secara tak tepat akan berdampak menghambat pengembangan invensi yang merugikan inventor dan tingat inovasi negara,

Mesin perekam suara fonograf yang ditemukan Thomas Edison dan Edouard-Léon Scott de Martinville adalah contohnya.

Meskipun keduanya memiliki fungsi perekam suara, tetapi proses, produk akhir dan spesifikasi teknologinya sangat berbeda. Oleh karenanya kantor paten AS mengakuinya sebagai invensi baru sehingga layak diberi paten.

Pengembangan Invensi dan AI

Sebuah invensi juga cenderung terus dikembangkan. Sehingga dimungkinkan lahirnya invensi baru di atas invensi eksisting karena ditemukannya unsur kebaruan atau unsur langkah inventif.

Untuk mengembangkan dan mempertahankan patennya, seorang inventor akan terus mengembangkan paten yang telah dimiliknya.

Klaim-klaim paten eksisting tidak jarang dikembangkan dengan klaim-klaim mandiri (independent claim) atau klaim turunannya (dependent claim) dalam invensi berikutnya, untuk menjawab kebutuhan industri.

Pengembangan paten atas paten sebelumnya di dunia lazim dilakukan, dan menjadi langkah strategis untuk menghadapi kompetitor dan tetap mendapat pelindungan invensinya berdasarkan hak ekslusif.

Demikian halnya terkait fonograf. Instrumen ini dalam industri musik terus berkembang seiring perkembangan Artificial Intelligence (AI).

Dilansir Time dalam tulisan Andrew R Chow bertajuk "AI’s Influence on Music Is Raising Some Difficult Questions" (4/12/2023), bahwa AI sudah digunakan oleh produser musik untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

AI dapat membantu mengoreksi nada vokal dan memungkinkan untuk melakukan editing dan "mixing" rekaman musik dengan lebih cepat dan murah.

Andrew lebih lanjut menyatakan, The Beatles baru-baru ini menggunakan AI untuk mengisolasi suara John Lennon dari demo tahun 1978, menghilangkan instrumen lain, dan suara sekitar untuk membuat lagu baru yang diproduksi secara murni.

AI juga digunakan dalam merespons kebiasaan mendengarkan musik banyak orang. Platform streaming seperti Spotify dan Apple Music, menggunakan AI untuk rekomendasi lagu berdasarkan kebiasaan pelanggan mendengarkan jenis musik yang mereka sukai.

Saat fonograf sebagai mesin perekam dulu ditemukan, tentu AI Generatif yang bisa dilatih, dan kemudian mampu memproduksi respons dengan luarannya sendiri belum ada.

Saat ini AI telah menjadikan invensi instrumen rekaman dan akses penyebarannya semakin kaya sekaligus kompleks, tetapi semakin memanjakan para pelanggannya.

Pesan moral dan ilmiahnya adalah, bahwa kreativitas manusia akan selalu lahir dan terus berkembang. Maka tak heran jika inventor terus berupaya untuk mengembangkan invensi terdahulunya.

Kita harus berterimakasih pada Thomas Edison yang membuat industri musik berkembang spektakuler, dan menghasilkan banyak invensi bagi kehidupan manusia.

Kita juga amat kagum kepada pengembang AI. Merekalah yang mendorong instrumen digital yang familiar dengan selera banyak orang dan memberi berbagai kemudahan bagi manusia tanpa kendala ruang dan waktu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi