Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga China Enggan Punya Anak karena Biaya Hidup Tinggi

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Unsplash/Denny Ryanto
Ilustrasi Haikou di China.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Selain Jepang, dan Korea Selatan, China menjadi salah satu negara di Asia Timur yang mengalami penurunan angka kelahiran.

Merujuk laporan Reuters, populasi di Negeri Tirai Bambu mengalami penurunan pada 2022-2023 imbas angka kelahiran yang rendah dan pandemi Covid-19.

Biro Statistik Nasional China mengatakan, jumlah total penduduk turun sebanyak 2,08 juta jiwa sehingga populasi negara ini menjadi 1,409 miliar jiwa pada 2023.

Jumlah tersebut lebih banyak ketimbang penurunan populasi sebesar 850.000 jiwa pada 2022.

Baca juga: Susul Jepang dan Korea Selatan, China Juga Alami Krisis Populasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan warga China enggan memiliki anak

Sebagian warga China yang sudah menikah mengungkap alasan mereka memilih tidak mempunyai anak.

Seorang warga Beijing yang bekerja di sektor keuangan, Wang (42), mengatakan keputusan untuk mempunyai anak terlalu berisiko.

Ia menggambarkan memiliki keturunan seperti membuka kotak misteri dan pengeluarannya akan menjadi mahal bila keluarganya mempunyai anak.

"Saya tidak punya keberanian untuk membukanya," kata Wang dikutip dari ABC.

Wang juga menyatakan, kualitas hidupnya menjadi berkurang jika kehadiran anak ada dalam hidupnya.

"Uang yang saya tabung bisa digunakan untuk berbelanja. Saya tidak perlu khawatir tentang kehidupan anak-anak, kesehatan, keselamatan, dan lain-lain," sambungnya.

Baca juga: Untuk Pertama Kali, Populasi Jepang Menurun di Seluruh Prefektur, Jumlah Warga Asing Meningkat

Tidak memiliki anak karena faktor ketidakpastian

Seorang warga Tianjing yang bekerja di perusahaan makanan hewan peliharaan, Nancy Zhang (34) mengaku, ia tidak memiliki anak karena terlalu banyak faktor yang tidak pasti dalam masyarakat China, seperti akses pendidikan.

Ia mengatakan bahwa dirinya sudah menjalin rumah tangga selama enam tahun dan bisa menikmati hidupnya tanpa kehadiran anak.

Menurut Zhang, tidak ada jaminan bahwa hidupnya akan menjadi bahagia jika memiliki anak.

Dia mengatakan, terlalu banyak tekanan untuk memiliki anak, baik secara fisik maupun mental.

Selain itu, biaya pendidikan dan pengasuhan anak juga menghabiskan uang yang tidak sedikit. 

"Perempuan cenderung menanggung lebih banyak tekanan daripada laki-laki begitu mereka memiliki anak," ujar Zhang.

Baca juga: Atasi Resesi Seks, Korsel Bayar Pembekuan Sel Telur dan Gelar Kencan Massal

Ingin habiskan semua uang sebelum meninggal

Warga China lainnya yang tinggal di Dalian, Jian Ma (49), mengatakan kualitas hidupnya akan turun apabila memiliki anak.

Sambil menilai keputusan tersebut sebagai hal yang keren, Ma menyampaikan, hidupnya akan menjadi lebih baik jika dapat menghabiskan semua uang sebelum dirinya meninggal.

Padahal, Ma pernah berjanji kepada ayahnya untuk mempunyai anak suatu saat nanti.

Ma mengaku, ia bersama istrinya memutuskan untuk tidak memiliki anak karena usia istrinya dan keadaan mereka.

Mereka juga merasa bahwa mereka dapat melakukan perencanaan pensiun dengan cara yang berbeda.

"Saya punya dua rencana. Salah satunya adalah saya akan pindah ke negara yang memiliki kesejahteraan sosial yang tinggi," ungkap Ma.

"(Rencana lainnya) adalah semua tabungan saya akan diberikan ke panti jompo untuk merawat saya di masa depan, atau seorang pengacara yang akan mengelolanya," sambungnya.

Baca juga: Resesi Seks, 68 Persen Pasutri di Jepang Tidak Berhubungan Intim

Faktor warga China enggan memiliki anak

Menurut sosiolog di Chinese University of Hong Kong, Yuying Tong, warga China enggan memiliki anak karena meningkatnya pilihan untuk pensiun dan perbaikan dalam sistem sosial di negara ini yang berdampak pada tingkat kelahiran.

Ia menjelaskan, jaminan sosial di China yang berkembang telah mengurangi ketergantungan orang pada keluarga ketika mereka menua. 

Banyak orang kemudian merasa bahwa membesarkan anak bukanlah hal yang proporsional.

"Dengan perkembangan sosio-ekonomi yang dipengaruhi oleh budaya Barat, keluarga tidak lagi menjadi tujuan terpenting yang menjadi fokus masyarakat," kata Tong.

Selain itu, faktor lainnya adalah biaya membesarkan anak di China menjadi yang tertinggi kedua di dunia.

Lembaga penelitian Yuwa Population Research menyebutkan, biaya membesarkan anak di China 3,3 kali lebih mahal daripada di Australia.

Baca juga: Kepala BKKBN Bantah Indonesia Alami Resesi Seks, Apa Alasannya?

Harga properti di China mahal

Di sisi lain, masalah turunnya populasi juga dibarengi dengan harga properti di China yang begitu tinggi.

Kondisi seperti itu menghambat keluarga di China dalam memiliki rumah, menurut seorang ekonom independen, Andy Xie.

"Harga rumah harus turun setidaknya 50 persen agar pernikahan menjadi lebih diminati," ujarnya dikutip dari CNBC.

"Tidak ada solusi tunggal di sini. Ketersediaan dan harga rumah bergantung pada pernikahan dan jumlah anak yang dimiliki pasangan," jelas Xie.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi