Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revaluasi Orde Reformasi

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka.
Penulis: Jaya Suprana
|
Editor: Sandro Gatra

TERUS terang harus saya akui bahwa sebenarnya saya tergolong rakyat yang antusias mendukung Orde Reformasi karena memang mengharapkan masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik dalam arti lebih demokratis, lebih konstitusional, serta lebih memberantas KKN.

Reformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna “perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara”.

Di dalam makna Reformasi terkandung kata “perubahan” dan “perbaikan”, maka wajar apabila saya bersama sesama rakyat jelata mengharapkan Orde Reformasi akan berhasil melakukan perubahan demi bukan perburukan, namun perbaikan masa depan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Tak terasa sudah lebih dari seperempat abad berlalu, maka tidak ada salahnya dilakukan reinventarisasi serta revaluasi terhadap kinerja Orde Reformasi demi meninjau kenyataan pada masa kini.

Ternyata kenyataan masa kini beda dari harapan masa lalu. Das Sein beda dari Das Sollen.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alih-alih lebih konstitusional ternyata yang nyata terwujud malah lebih inkonstitusional karena penguasa sedemikian berkuasa sehingga mampu menyesuaikan konsitusi dengan kepentingan penguasa.

Terbukti Trias Politica berhasil dikerdilkan menjadi Singularitas Politica semata.

Alih-alih demokrasi, yang merajalela malah democrazy di mana rakyat jelata hanya diutamakan terbatas pada masa kampanye pemilu belaka.

Setelah terpilih, maka para penguasa terjangkit virus amnesia sehingga lupa segala janji yang diobral pada masa kampanye.

Janji-janji manis segera dilupakan setelah penguasa dipilih oleh rakyat untuk berkuasa akibat pada hakikatnya yang diwakili oleh para anggota parlemen memang bukan rakyat, tetapi parpol.

Alih-alih diberantas, korupsi yang semula dilakukan terbatas kelompok elite malah dipemeratakan sedemikian rata sehingga kini bisa dilakukan oleh siapapun mulai dari jenjang hirarki teratas sampai ke terbawah.

Alih-alih dibasmi, nepotisme malah dieufemisasikan demi berganti istilah menjadi lebih keren dan lebih samar, yaitu politik dinasti yang pengejawantahannya didukung oleh Mahkamah Konstitusi demi mengedepankan semangat kekeluargaan.

Memang benar Orde Reformasi telah berhasil melakukan perubahan, namun tampaknya bukan ke arah perbaikan. Maka sebenarnya sebutan Orde Reformasi sudah tidak layak lagi disandang oleh rezim masa kini.

Menurut pendapat saya yang belum tentu benar, namun juga belum tentu keliru, pada hakikatnya sebutan yang lebih sesuai kenyataan bukan Orde Reformasi, tetapi Orde Deformasi sebagai perubahan secara drastis untuk bukan perbaikan negara, bangsa dan rakyat Indonesia.

Mohon dimengerti maka dimaafkan bahwa kali ini saya merasa kurang layak mengakhiri naskah ini dengan seruan “Merdeka”.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi