Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Banyak Wanita Korea Selatan Memilih Tidak Memiliki Anak?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/CHINTUNG LEE
Ilustrasi Korea Selatan.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura mengalami ancaman kekurangan penduduk dengan semakin sedikitnya bayi yang dilahirkan.

Sementara di sisi lain, penduduk yang menua semakin banyak.

Dikutip dari Kompas.id, Korsel bahkan mencatatakan rekor terendah angka kelahiran total (total fertility rate) pada 2023 dengan 0,72.

Artinya, seorang perempuan di Korsel melahirkan tak sampai satu anak selama masa reproduksinya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apabila kondisi ini terus terjadi, diperkirakan Korsel akan kehilangan separuh populasinya dari saat ini dalam 75 tahun mendatang.

Baca juga: Atasi Resesi Seks, Korsel Bayar Pembekuan Sel Telur dan Gelar Kencan Massal

Respons pemerintah

Pemerintah Korsel bukannya tanpa usaha untuk mengatasi ancaman tersebut.

Dikutip dari BBC, selama hampir 20 tahun Pemerintah Korsel telah menggelontorkan dana hingga 379,8 triliun won atau sekitar Rp 4.456 triliun.

Bantuan diberikan pemerintah kepada pasangan yang memiliki anak berupa uang tunai. Mulai dari bantuan bulanan, perumahan subsidi, hingga taksi gratis.

Tidak hanya itu, tagihan rumah sakit dan prosedur bayi tabung juga ditanggung pemerintah.

Namun, insentif finansial tersebut dinilai masih kurang berhasil sehingga politisi mengusulkan sejumlah solusi.

Seperti mengecualikan pria dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak sebelum mencapai usia 30 tahun.

Alasan wanita Korsel ogah punya anak

Perempuan Korsel termasuk perempuan yang berpendidikan paling tinggi di antara negara-negara OECD.

OECD adalah Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

Meskipun termasuk berpendidikan tinggi, Korsel mempunya kesenjangan upah antargender yang paling buruk.

Sejumlah peneliti mengatakan, hal ini yang membuat perempuan Korsel dihadapkan pada pilihan antara memilih karier atau memiliki keluarga. Sebagian besarnya memilih karier.

Seorang produser televisi, Yejin (30) memutuskan untuk hidup sendiri di usia pertengahan umur 20-an.

Ia juga memutuskan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak (childfree) sejak lima tahun lalu.

“Sulit untuk menemukan laki yang hanya ingin berdua dan tidak punya anak. Ketika punya anak, banyak laki-laki yang tidak mau berbagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak secara setara,” ungkap Yejin.

Baca juga: Resesi Seks, 68 Persen Pasutri di Jepang Tidak Berhubungan Intim

Stigma masyarakat

Tak hanya itu, Yejin mengungkapkan bahwa perempuan yang menjadi orang tua tunggal juga dianggap buruk oleh masyarakat umum.

Dia juga memiliki ketakutan ketika menikah dan harus mengambil cuti untuk memiliki anak, hal itu bisa berisiko untuk tidak dapat kembali bekerja.

“Ada tekanan tersirat dari perusahaan bahwa ketika kami mempunyai anak, kami harus meninggalkan pekerjaan kami,” ucap Yejin.

Selama hidupnya, Yejin sudah pernah melihat hal ini terjadi pada saudara perempuannya dan dua presenter berita lainnya.

Seorang perempuan berusia 28 tahun yang bekerja sebagai staf Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) mengungkapkan, ia pernah melihat orang yang terpaksa keluar dari pekerjaannya atau tidak mendapat promosi setelah mengambil cuti hamil.

Hal ini didukung dengan data bahwa hanya 7 persen laki-laki yang baru memanfaatkan cuti melahirkan, sedangkan 70 persen perempuan akan mengambil cuti yang sama.

Baca juga: Resesi Seks, Ini Alasan Mengapa Banyak Orang Jepang Memilih untuk Tidak Punya Anak

Biaya hidup tinggi

Stella Shin (39), pengajar bahasa Inggris untuk anak usia 5 tahun mengaku telah menikah selama 6 tahun.

Namun dia dan suaminya mengaku begitu sibuk bekerja di Seoul, dan menginginkan anak menurutnya menjadi "mustahil".

Dia tidak bisa berhenti bekerja karena biaya sewa apartemen terlalu tinggi.

Stella dan suaminya semakin lama tinggal semakin jauh dari Seoul dan masih belum mampu membeli rumah atau apartemen sendiri.

Tingkat kelahiran di Seoul telah merosot menjadi 0,59, yang terendah di negara tersebut.

Selain biaya sewa rumah, ada biaya pendidikan swasta jika mereka memiliki anak.

Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa hanya 2 persen orang tua yang tidak membayar les.

Sementara 94 persen mengatakan hal tersebut merupakan beban keuangan.

Sebagai guru di salah satu tempat les, Stella menyaksikan orang tua menghabiskan hingga Rp 13,9 juta per anak per bulan.

Banyak dari orang tua tidak mampu membayar.

Baca juga: Kepala BKKBN Bantah Indonesia Alami Resesi Seks, Apa Alasannya?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi