KOMPAS.com - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1445 H jatuh pada Senin (11/3/2024).
Di sisi lain, pemerintah masih menunggu keputusan sidang isbat yang akan digelar pada Minggu (10/3/2024) untuk menetapkan awal puasa Ramadhan 2024.
Namun, menilik posisi hilal, awal bulan kesembilan dalam kalender Hijriah ini kemungkinan akan berbeda lantaran pemerintah diprediksi menetapkan Ramadhan jatuh pada Selasa (12/3/2024).
Meski awal Ramadhan diperkirakan berbeda, hari raya Idul Fitri berpotensi berlangsung serentak.
Baca juga: Harga Bahan Pokok Naik, OJK Ungkap Modus Penipuan yang Rawan Jelang Ramadhan
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah resmi menetapkan 1 Syawal 1445 H atau Idul Fitri jatuh pada 10 April 2024.
Sementara pemerintah, diprediksi akan memutuskan tanggal yang sama karena posisi hilal di wilayah Asia Tenggara pada 9 April 2024 petang telah memenuhi kriteria baru MABIMS.
Lantas, mengapa awal Ramadhan berpotensi berbeda tetapi lebaran bisa serentak?
Baca juga: Cara Cek Jadwal Lengkap Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 2024 Seluruh Indonesia
Perbedaan kriteria yang digunakan
Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menjelaskan, perbedaan penetapan awal bulan Hijriah muncul karena perbedaan kriteria yang digunakan.
"Ya, sumber perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena beda kriteria saat posisi Bulan rendah (hilal)," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (5/3/2024).
Thomas menegaskan, perbedaan penetapan bukan disebabkan penggunaan metode hisab maupun rukyat.
"Untuk saat ini sulit dipertemukan. Jadi, perbedaan akan terus ada, mungkin makin sering terjadi," imbuhnya.
Diketahui, Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau penghitungan secara astronomis, sedangkan pemerintah melalui Kemenag menggunakan metode hisab yang dikonfirmasi dengan rukyat.
Rukyat atau aktivitas melihat penampakan hilal (Bulan sabit) tersebut dilakukan pada hari ke-29 dalam satu bulan di kalender Hijriah.
Baca juga: Daftar Harga Sembako Jelang Ramadhan 2024, Beras Termahal Rp 25.000
Menurut Thomas, rukyat terkadang gagal melihat hilal, sehingga satu bulan digenapkan menjadi 30 hari, dan puasa atau Idul Fitri ditetapkan pada hari berikutnya.
Dia pun mengungkapkan, satu bulan pada kalender Hijriah selalu terdiri dari 29 hari atau 30 hari.
"Karena rata-ratanya siklus sinodis atau Bulan baru ke Bulan baru berikutnya, 29,53 hari," terang Thomas.
Thomas melanjutkan, pengamal rukyat perlu kriteria agar saat melakukan pengamatan tidak keliru. Sebab, hilal sangat tipis dan redup, serta dihadapkan dengan cahaya senja yang masih terang.
Demikian pula pengamal hisab, perlu kriteria agar angka-angka hasil perhitungan bisa dimaknai dalam menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah.
"Hal pokok yang dilakukan pengamal rukyat dan pengamal hisab adalah menentukan batas minimal keberadaan hilal sebagai penanda awal bulan," ujarnya.
Baca juga: Arab Saudi Gelar Pemantauan Hilal 10 Maret 2024, Kapan Awal Ramadhan?
Kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah
Baik metode hisab maupun rukyat, sama-sama bertujuan menentukan awal bulan dengan hilal sebagai obyeknya.
Kendati demikian, menurut Thomas, hilal bukanlah benda, tetapi fenomena ketampakan Bulan dari Bumi.
Pada kriteria wujudul hilal atau WH yang digunakan PP Muhammadiyah, mensyaratkan Bulan terbenam lebih lambat daripada Matahari, dan ijtimak sudah terjadi sebelum maghrib.
Ijtimak sendiri merupakan saat berakhirnya Bulan lalu dan munculnya Bulan baru dalam penanggalan Hijriah.
"Dari definisi tersebut jelas syarat minimalnya adalah piringan atas Bulan masih berada di atas ufuk (secara hitungan) pada saat maghrib," tutur Thomas.
Kriteria wujudul hilal tersebut termasuk kriteria yang paling sederhana dan telah digunakan sejak 1970-an.
Menurutnya, cukup menggunakan data waktu Bulan terbenam (moonset), Matahari terbenam (sunset), serta ijtimak sebelum maghrib, ahli hisab sudah bisa menentukan awal bulan Hijriah.
Baca juga: Awal Puasa Ramadhan 2024 Diprediksi Berbeda, BMKG Ungkap Potensi Keterlihatan Hilal
Kriteria lama MABIMS (kriteria 2-3-8)
Dahulu, kata Thomas, pemerintah menggunakan kriteria lama MABIMS atau forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Kriteria ini resmi dipakai pada awal 1990-an, dan mensyaratkan batas minimal tinggi Bulan 2 derajat serta elongasi 3 derajat atau umur bulan (sejak ijtimak sampai maghrib) 8 jam.
"Sering juga disebut kriteria 2-3-8. Dalam prakteknya batas ketinggian 2 derajat yang banyak digunakan," tutur Thomas.
Mantan Kepala LAPAN itu mengungkapkan, kriteria 2-3-8 sejak 2010-an banyak dikritisi karena dianggap terlalu rendah.
Pasalnya, hilal pada ketinggian 2 derajat sangatlah tipis, sedangkan cahaya senja di langit masih cukup terang.
Oleh karena itu, seiring berkembangnya waktu, muncul usulan untuk mengganti kriteria MABIMS ini dengan kriteria lebih tinggi.
Baca juga: Lembaga Falakiyah PBNU: Hilal Awal Ramadhan Tak Mungkin Tampak pada 10 Maret 2024
Kriteria baru MABIMS digunakan Kemenag
Thomas menjelaskan, pemerintah Indonesia saat ini menggunakan kriteria baru MABIMS untuk menentukan awal bulan Hijriah.
Menurutnya, kriteria tersebut cukup sederhana, hanya mensyaratkan tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.
Merujuk data internasional, ketinggian 3 derajat dinilai sebagai minimal ketinggian hilal yang teramati karena di bawah angka ini hilal masih terlalu tipis untuk mengalahkan cahaya senja.
Sementara itu, elongasi minimal 6,4 derajat merujuk pada rekor ketampakan hilal atau Bulan baru.
"Kriteria ini bukanlah kriteria terbaik, karena memang tidak ada kriteria yang sempurna. Namun setidaknya, kriteria telah disepakati oleh empat negara, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura," kata Thomas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.