Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Rendahnya Pernikahan di Indonesia: Antara Pergeseran Paradigma dan Menguatnya Gejala "Waithood"

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/hendra yuwana
Ilustrasi pernikahan. Angka pernikahan di Indonesia pada 2023 capai titik terendah selama lebih dari seperempat abad. Sementara perceraian justru sebaliknya.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Angka pernikahan di Indonesia pada 2023 dilaporkan mencapai titik terendah selama lebih dari seperempat abad, tepatnya sejak 1996/1997.

Sebaliknya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka perceraian di Tanah Air pada tahun lalu terpantau tertinggi kedua dalam kurun waktu bersamaan.

BPS mencatat, 1,49 juta pasangan melangsungkan pernikahan pada 1996/1997. Jumlah ini fluktuatif hingga mencapai angka 2,21 juta pasangan pada 2013 dan 2,11 juta pasangan pada 2014.

Sempat turun, angka pernikahan kembali naik pada 2018 dengan total 2,01 juta pasangan. Namun, sejak itu, pernikahan tercatat turun secara signifikan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada 2019, BPS melaporkan ada 1,96 juta pasangan menikah. Jumlahnya kembali turun pada 2020 menjadi 1,78 juta pasangan, diikuti pada 2021 dengan 1,74 juta pernikahan, serta 2022 dengan total 1,70 juta pasangan.

Angka perkawinan di Indonesia kembali turun sekitar 128.000 menjadi "hanya" 1,58 juta pasangan pada 2023.

Baca juga: Benarkah NPWP Wanita yang Sudah Menikah Harus Dicabut?

Tren nikah dan cerai berbanding terbalik

Di sisi lain, tren perceraian cenderung menunjukkan peningkatan selama lebih dari seperempat abad, dengan total 114.252 pasangan bercerai sepanjang 1996/1997.

Sepuluh tahun berikutnya, angka perceraian melambung menjadi sebanyak 365.654 pada 2016 dan 374.516 pada 2017.

Angka kembali naik hingga mencapai 408.202 pasangan bercerai pada 2018, serta 439.002 pasangan pada 2019.

Meski sempat menyentuh 200.000-an pada 2020, jumlahnya terpantau melonjak lagi sebanyak 447.743 di 2021.

Hingga pada 2022, total pasangan Indonesia yang bercerai melambung ke angka 516.344 cerai, mencatatkan sejarah perpisahan rumah tangga tertinggi sejak 1996.

Kendati tahun selanjutnya turun sebanyak 52.690 pasangan, jumlah perceraian di Tanah Air pada 2023 masih relatif banyak, yakni 463.654 pasangan.

 Baca juga: Arab Saudi Kini Izinkan Akad Nikah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Tren global

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengungkapkan, tren penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di Indonesia.

"Penurunan angka perkawinan sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di tingkat global," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/3/2024).

Ida mengatakan, anjloknya angka pernikahan pada level global perlu ditelaah dan diperbandingkan antar negara maupun budaya.

Demikian pula dengan Indonesia, penting untuk menilik dan memadukan antara desa dan kota (wilayah), etnis, agama, serta faktor lainnya.

"Hal ini mengingat konsepsi tentang perkawinan bisa berbeda, beragam," imbuh Ida.

Kendati demikian, menurut Ida, fenomena menurunnya tren perkawinan secara sosiologis bisa dijelaskan dari berbagai aspek, mulai dari gagasan hingga perilaku orangnya.

Aspek-aspek sosiologis tersebut pun sedikit banyak berhubungan dengan isu perceraian yang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu.

Baca juga: Mulai Tahun Ini, KUA Akan Jadi Tempat Pencatatan Pernikahan Semua Agama

Pergeseran paradigma

Pertama, Ida memandang, gagasan tentang pernikahan semakin mengalami pergeseran, baik nilai, tujuan, maupun fungsinya.

Sebagai contoh, sejak beberapa tahun terakhir, nikah tidak lagi dimaknai sebagai lembaga sakral, sehingga harus dijunjung tinggi serta diperjuangkan keutuhan dan keharmonisannya.

"Nikah dulu lebih karena tuntutan sosial ekonomi bahkan politik. Kini tuntutan sosial atau obligasi tentang nikah semakin lunak atau cair, apalagi di perkotaan," paparnya.

Sementara itu, berkaitan dengan tujuan dan fungsi menikah, menurut Ida, sebagian kalangan tidak lagi merasakannya.

Menikah pun kerap dianggap sebagai beban psikososial dan ekonomi. Terlebih, saat ini marak tergambar perkawinan gagal dan mengkhawatirkan di media sosial, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan.

Gambaran kehidupan pernikahan tak harmonis juga dapat berasal dari pengalaman langsung, seperti pengamatan dari perkawinan orangtua maupun orang di sekitarnya.

Baca juga: Apakah Nikah Beda Agama di Luar Negeri Bisa Dicatat Disdukcapil?

Di samping itu, pola relasi sosial yang lebih cair menjadi aspek sosiologis berikutnya yang memicu penurunan angka pernikahan di Indonesia.

"Termasuk pilihan-pilihan atas bentuk relasi, misalnya memilih kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) dengan relasi yang lebih terbuka," ujar Ida.

Dosen Program Studi Sosiologi UI itu menjelaskan, praktik budaya seperti ini sebenarnya telah ada di wilayah-wilayah tertentu melalui kawin adat, kawin siri, kawin gantung, dan sebagainya.

Namun, praktik budaya tersebut kemudian bisa jadi diadopsi di masa kini, yakni dengan menikah tapi tidak dicatatkan.

"Termasuk kalau pasangannya beda agama, bahkan sejenis," katanya menambahkan.

Komitmen dalam membangun relasi juga cenderung tidak kuat, terindikasi dari tingginya angka perceraian dalam seperempat abad terakhir.

Bahkan, di tengah masyarakat, perceraian atau perpisahan dengan pasangan resmi saat ini tidak lagi dianggap tabu dan perlu dicegah.

Baca juga: Kembali Muncul Modus Penipuan Undangan Pernikahan, Kali Ini Format PDF

Fenomena waithood makin terasa

Aspek ketiga, turunnya tren perkawinan sebenarnya juga sebagai akibat dar menguatnya gejala waithood atau fenomena menunda pernikahan, termasuk di kalangan perempuan.

Padahal, Ida mengungkapkan, dulu ada stigma di masyarakat yang melekat pada perempuan telat menikah.

"Alasan waithood pun beragam, termasuk karier atau ekonomi. Pada laki-laki juga terjadi, dengan alasan belum siap secara ekonomi sebagai pencari nafkah utama," tuturnya.

Berkaitan dengan poin ketiga, beratnya sandwich generation turut menjadi latar belakang menunda pernikahan.

Sandwich generation atau generasi roti lapis merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi, meliputi orangtua, diri sendiri, dan anaknya.

 Baca juga: 5 Alasan Orang Tanya Kapan Nikah Saat Lebaran dan Cara Menjawabnya

Di sisi lain, Ida menilai, para anak muda saat ini juga dijuluki generasi "stroberi" yang tampak menarik, tetapi lemah dan kurang tangguh.

"Apakah ini yang berkontribusi pada rendahnya komitmen dalam berelasi, lebih labil, tidak siap sebagai caregiver (perawat) jika sebagai generasi sandwich?," kata Ida.

Aspek terakhir, menurut Ida, generasi muda saat ini hidup di masa artifisial atau tidak alami, di mana pasar jodoh lebih terbuka luas dan beragam, bahkan meliputi lokal, nasional, hingga global.

"Namun, hidupnya jadi lebih artifisial, kurang humanis. Apakah ini yang melatari ketidaksiapan membangun relasi jangka panjang, khususnya perkawinan?" terka Ida.

Baca juga: MA Larang Pengadilan Kabulkan Nikah Beda Agama, Perkawinan Tidak Akan Dicatat Dukcapil

Bukan masalah mental

Terpisah, psikolog klinis Personal Growth Stefany Valentia menyampaikan, turunnya tren pernikahan dalam seperempat abad lebih belum tentu dipicu masalah mental.

Dia mengatakan, penurunan cukup signifikan ini bisa jadi disebabkan prioritas masyarakat yang sudah mulai bergeser.

"Misalnya, orang dulu prioritas utamanya menikah karena memang jumlah penduduk dulu masih sedikit, lalu karier tidak dilihat sebagai fokus utama, melainkan berkeluarga," jelas Stefany, saat diwawancarai Kompas.com, Jumat.

Berbeda, fokus dan prioritas generasi saat ini mungkin sudah bergeser, salah satunya dengan mengutamakan karier dan pencapaian daripada pernikahan.

 Baca juga: Syarat Daftar Nikah di KUA, Apa Saja Dokumen yang Perlu Dipersiapkan?

Sementara itu, angka perceraian yang berbanding terbalik dengan perkawinan menurut Stefany dapat dilatarbelakangi banyak hal.

Misalnya, kurangnya pengenalan pasangan sebelum menikah atau kurangnya persiapan akan pernikahan.

"Sehingga saat sudah tinggal bersama, banyak mengalami kaget atau culture shock akibat dari belum mengenal pasangan secara mendalam," ucapnya.

Hal itu pun berimbas pada perceraian yang dilihat sebagai satu-satunya cara alih-alih memperbaiki atau mencari solusi untuk mempertahankan pernikahan.

Baca juga: Pasangan Gagal Nikah karena Penerbangan Kacau, padahal Tamu Sudah Tiba di Lokasi

Perlu persiapan psikologis sebelum menikah

Di satu sisi, Stefany menilai perlu adanya persiapan psikologis sebelum mulai menapaki kehidupan berumah tangga.

Persiapan tersebut juga meliputi persiapan dan diskusi yang sifatnya lebih teknikal, seperti menyangkut keuangan, pandangan terhadap anak, relasi dengan orangtua atau mertua, sampai rencana karier masing-masing.

Selain membicarakan hal-hal penting itu dengan pasangan, seseorang perlu kembali mengecek kesiapannya sebelum memutuskan untuk menikah.

Salah satunya, dengan kembali menilik alasan menikah, yakni bukan sekadar tuntutan sosial atau takut ketinggalan orang lain, melainkan memang karena mau, cinta, dan berkomitmen.

 Baca juga: Viral Video Istri Pergoki Suami Nikah Lagi, Apakah Poligami Tanpa Izin Sah secara Hukum?

"Mengenali diri sendiri dan pasangan, tahu apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan diri maupun pasangan," papar Stefany.

Ketika sudah siap menikah, menurutnya, seseorang harus bersedia untuk berusaha menjadi versi terbaik diri sendiri dan bukan sekadar pasrah.

Konsultasi sebelum menikah pun perlu dilakukan guna mempersiapkan kemungkinan konflik dan cara mengatasinya.

"Disarankan untuk mengikuti konseling pranikah untuk mengenali hal-hal yang berpotensi menjadi konflik dalam relasi pernikahan, sehingga bisa dicegah atau diantisipasi," tutur Stefany.

Baca juga: Dihantui Resesi Seks, China Beri Cuti Nikah 30 Hari

Jumlah kelahiran anak masih ideal

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengungkapkan, angka total fertility rate (TFR) atau jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan seorang perempuan selama masa reproduksi pada 2023 telah mencapai 2,1.

Artinya, setiap perempuan di Indonesia rata-rata memiliki dua anak, angka yang sebetulnya ideal dan bisa ditargetkan pada 2024.

Namun, menurutnya, tugas berat saat ini adalah memastikan agar angka tersebut bisa terjaga, bukan semakin menurun.

"Jika kurang dari itu, jumlah penduduk bisa semakin berkurang. Itu bisa menjadi ancaman," ujar Hasto, dikutip dari Kompas.id, Kamis (7/3/2024).

Hasto menilai, angka kelahiran yang rendah bisa menyebabkan bonus demografi tidak dicapai secara optimal.

 Baca juga: Cara Mengurus Penggantian Buku Nikah yang Rusak atau Hilang

Ketika angka kelahiran menurun, penduduk usia muda ikut menurun, sedangkan kelompok usia tua menjadi lebih banyak.

Hal ini berpotensi membuat Indonesia melewati potensi bonus demografi untuk mencapai cita-cita sebagai negara maju.

Oleh karenanya, Hasto mengatakan, BKKBN berupaya agar angka kelahiran di Indonesia bisa tetap terjaga.

Intervensi pada angka kelahiran ini pun dilakukan dengan pendekatan yang berbeda di setiap daerah.

"Di Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, dan Maluku itu TFR-nya tinggi, sementara di Bali, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu TFR-nya rendah. Jadi kebijakan tidak bisa one fit for all. Masing-masing harus ada kebijakan yang berbeda," tandasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi