KOMPAS.com - Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.
Kepastian itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Airlangga mengatakan, ketentuan tersebut diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan akan dilanjutkan pemerintahan selanjutnya.
"Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan," katanya, diberitakan Kompas.com (8/3/2024).
"Tentu kalau berkelanjutan berbagai program yang dicanangkan pemerintah tentu akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN," lanjut Airlangga.
Baca juga: Besaran PPN, PPh, dan Cukai Rokok yang Naik Mulai 2022
Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun, aturan itu belum berlaku hingga paling lambat 1 Januari 2025. Saat ini, tarif PPN yang berlaku masih 11 persen.
Lalu, apa itu PPN dan adakah pengaruh bagi masyarakat jika tarifnya naik?
Baca juga: Potret Kelas Menengah di Tanah Air: Serba Terimpit, Wajib Bayar Pajak, tapi Minim Bantuan
Apa itu PPN?
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam jalur peredaran dari produsen ke konsumen.
Dikutip dari laman Learning Center Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tarif PPN yang saat ini berlaku sebesar 11 persen per 1 April 2022. Tarif tersebut direncanakan naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
PPN merupakan pajak tidak langsung karena masyarakat selaku penanggung pajak membayar melalui pemungut pajak, yakni orang atau badan yang ditunjuk membayar pajak.
Perlu diketahui, seluruh barang dan jasa memiliki pajak, kecuali yang ditetapkan tidak kena pajak.
Pembayaran PPN berlaku untuk dua kategori, barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Berikut rincian barang dan jasa yang bebas PPN.
Baca juga: Daftar Provinsi yang Gelar Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor pada Maret 2024
Barang yang tidak dikenai PPN- Barang hasil pertambangan langsung dari sumbernya
- Kebutuhan pokok, termasuk beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah, sayur, dan gula konsumsi.
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya.
- Uang, emas batangan, dan surat berharga.
- Minyak mentah, gas, dan panas Bumi
- Jasa kesehatan, pendidikan, sosial, asuransi, keuangan, angkutan umum, dan tenaga kerja.
- Vaksin, buku pelajaran, dan kitab suci.
- Air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap).
- Listrik, kecuali rumah tangga dengan daya lebih dari 6600 VA.
Baca juga: Ramai soal Larangan Isi BBM Subsidi jika Telat Bayar Pajak, Ini Penjelasan Pertamina
Jasa yang tidak dikenai PPN- Jasa pelayanan kesehatan medis
- Jasa pelayanan sosial
- Jasa pengiriman surat dengan perangko
- Jasa keuangan
- Jasa asuransi
- Jasa keagamaan
- Jasa Pendidikan
- Jasa kesenian dan hiburan
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
- Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
- Jasa tenaga kerja
- Jasa perhotelan
- Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
- Jasa penyediaan tempat parker
- Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
- Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
- Jasa boga atau katering
Selain barang dan jasa tersebut, masyarakat harus membayar PPN terhadap barang dan jasa lainnya.
Baca juga: Daftar Barang dan Jasa yang Berpotensi Naik akibat PPN 11 Persen
Dampak kenaikan PPN
Bhima menjelaskan, pemerintah Indonesia sebenarnya telah menaikkan tarif PPN dengan total kenaikan mencapai 20 persen selama empat tahun terakhir.
"Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi," katanya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/3/2024).
Bhima menyebutkan, kenaikan ini semakin menyulitkan kondisi masyarakat Indonesia kelas menengah yang masih terbebani harga beras naik, suku bunga tinggi, dan sulit mencari pekerjaan.
Baca juga: Tidak Padankan NIK dengan NPWP, Siap-siap Kena Pajak 20 Persen Lebih Tinggi
Jika pemerintah menambah tarif pajak pada barang dan jasa yang beredar di Indonesia, harganya tentu akan meningkat.
"Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat," terangnya.
Secara makro di level perekonomian negara, Bhima menambahkan, kenaikan tarif PPN 12 persen juga akan mengancam pertumbuhan ekonomi.
Ini karena perekonomian Indonesia dapat tumbuh karena adanya konsumsi rumah tangga berupa orang yang jual-beli produk sehari-hari.
Ketika harga produk sehari-hari bertambah akibat kenaikan tarif PPN 12 persen, konsumsi rumah tangga dapat berkurang. Nantinya, perekonomian negara bisa berhenti tumbuh.
"Pertumbuhan ekonomi bahkan sulit capai 5 persen pada 2025," lanjut Bhima.
Baca juga: Tarif PPN Diwacanakan Naik 1 April 2022, Ini Dampaknya bagi Masyarakat
Solusi lebih baik dari kenaikan PPN
Lebih lanjut, Bhima menilai, langkah pemerintah untuk menaikkan tarif PPN sebagai usaha menaikkan pendapatan negara. Namun, ini bukan langkah yang tepat.
Dia menyarankan, pemerintah lebih baik memperluas objek yang dikenai pajak untuk memperbanyak rasio pendapatan dari pajak. Cara ini lebih baik daripada mengutak-atik tarif pajak yang harus dibayarkan masyarakat.
"Menaikan tarif pajak itu sama dengan beburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif," serunya.
Menurutnya, pemerintah bisa mulai membuka pembahasan pemberlakuan pajak pada sektor baru, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax), dan penerapan pajak karbon.
Pajak kekayaan dikenakan kepada setiap aset kekayaan milik seluruh wajib pajak. Objeknya dapat berupa tabungan, deposito, saham, dan logam mulia.
Baca juga: Pajak Hiburan Bioskop Turun Jadi 10 Persen, Apakah Harga Tiket Ikut Turun?
Sementara, pajak anomali keuntungan komoditas, dipungut dari wajib pajak yang mendapatkan keuntungan dan kondisi perekonomian baik.
Untuk pajak karbon, diterapkan terhadap pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Tiga jenis pajak ini, lanjutnya, dapat menjadi alternatif dibatalkannya tarif PPN 12 persen.
Bhima menambahkan, pemberlakuan ketiga pajak tersebut lebih mungkin tidak akan ditolak oleh publik.
"Cara itu tidak akan menimbulkan resistensi dari publik. Justru pajak kekayaan akan mengurangi ketimpangan secara signifikan," imbuhnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.